Aku tidak membutuhkan secangkir kopi lagi. Melodi itu sudah rancak, mengajak jiwaku menari meski tubuhku hanya bisa diam, tetap saja seperti pertama kali datang. Aku mau meresapinya, harmoni yang dibawanya. Â
Dan hingga engkau datang dengan ayunan langkah yang bersemangat seakan mengejar penyesalan yang dipicu oleh pesawat yang tertunda. Melodi itu seakan mengantarkanmu padaku. Tak ada yang perlu dimaafkan, atau dipertanyakan mengapa terlambat, atau bagaimana lancar perjalanan. Aku sudah mengamatimu, memperhatikanmu yang seakan bingung, mencari tempatku duduk menunggu sembari meneleponku dengan gawaimu. Terlihat olehku beberapa kali menoleh bingung, hingga kau tersadar dengan pandanganmu yang menemukan diriku. Ya, akhirnya, kita bertemu usailah waktu menunggu.
Tak ada waktu yang berhenti, tak ada senja yang membisikkan kecantikanmu. Melodi itu juga tidak mengatakan bahwa engkaulah makhluk terindah. Cerita yang mengalir tentang kehidupanmu, tentang teman-teman, tentang perjalanan yang baru mengantarkanmu, dan masih banyak lagi. Dan aku menikmatinya, persis seperti ketika aku mendengar sebuah melodi yang rancak sekaligus menenangkan, yang tegas namun penuh dengan harmoni.Â
Ceritamu mengenai rencana pertunjukan musik itu, seakan sudah terbayang pasti, meski baru kau jelaskan keinginanmu sembari menikmati kudapan dan minuman yang seakan hanya menjadi figuran saja.
Engkau tak tahu, melodi yang sudah aku dengar dan rasakan, masih bisa kurasakan, kunikmati harmoni yang diciptakannya. Yang kulihat, apa yang aku rasakan dapat kulihat di rona wajahmu yang tenang namun menggambarkan keceriaan, Â yang tegas meskipun tawamu terdengar bebas apa adanya, sedikit mendayu tetapi membuat bersemangat kuping untuk mendengarkanmu, lembut tapi iramamu jelas terasa, tenang tetapi tidak membuatku terhanyut. Harmoni yang kurasakan, bisa aku lihat di wajahmu. Entah apa yang kau lihat dan rasakan tentang diriku, tetapi aku merasakan waktu menungguku tidaklah percuma. Dengan melodi itu aku mendapatkan keyakinan yang hangat meresap.
Dan setelah bercerita banyak, seakan kurang waktu, engkau mungkin harus berhenti sebentar, berpikir karena pertanyaanku.
"Menurutmu bagaimanakah jika seorang wanita diciptakan tidak dari tulang rusuk laki-laki tetapi dari satu melodi nyanyian yang ada di hatinya?"
Aku melihat kau berpikir sesaat. Sinar matamu yang sekejap menatapku menjelaskannya seakan balik bertanya mungkinkah itu. Yang aku tahu, engkaulah melodi itu.