Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melodi

5 Oktober 2017   13:29 Diperbarui: 5 Oktober 2017   16:39 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terdengar olehku sebuah lagu dengan melodi yang sederhana, hentakan nada  yang mudah ditangkap telinga dan rasa. Melodi yang dimainkan oleh orang-orang yang memahami musik, sehingga memperdengarkan melodi yang ringan sangat mudah diterima, seakan berjalan begitu saja, begitu santainya. Aku menikmati melodi itu, yang ada, mengalir, dan muncul begitu saja. Melodi yang dimainkan oleh pengamen jalanan itu sepertinya ia mengiringi pejalan-pejalan kaki, menambah indah sinar lampu yang semakin ramai. Melodi itu seperti mengingatkan pejalan kaki agar tak terlalu cepat, dan mengingatkan agar tetap menikmati keindahan kota. Mungkin melodi itu sebenarnya adalah roh yang menghidupi kota itu. Melodi itu membuatku nyaman, tenang, dan mungkin bahagia. Hentakan-hentakan nada dengan santainya merasuki logika yang tak mampu menolak, melainkan hanya menerimanya, dan mungkin menikmatinya. Melodi itu seperti muncul dan memberi suasana itu, "Nikmatilah, meskipun kota ini bersahaja." Para pengunjung, sepertiku, sepertinya telah bersepakat bahwa melodi itu ada menyelimuti kota, menghidupkan dan menciptakan suasana yang bersahaja namun bernilai.

Dan melodi itu alih-alih membuatku membenci suasana senja dengan suara dari kendaraan, dan celotehan manusia yang tetap ramai, dan juga dia yang tak kunjung sampai; ia membuatku sadar cahaya dan bising itu tak bisa mengalahkan kesadaranku, keadaanku. Ia tak bisa mengusik kedamaian. Keindahan dan harmoni terasa di sekitarku. Tidak peduli; ya, sekali lagi, cahaya yang ramai di kota itu membuat menarik dan silau mata, suara manusia dan kendaraan yang ramai terdengar, harmoni tetap bisa kurasakan.

Melodi itu sudah menguasai diriku, waktuku. Sekali lagi, hentakan-hentakan nada yang santai seperti orang santai berjalan, membawa masuk dalam irama yang membuat tenang, rileks, dan perlahan menarik, membuai untuk ikut bernyanyi; tentang keindahan, kedekatan, kebersamaan, dan terutama tentang rasa damai, harmoni.

Aku beruntung sekali hari itu, bisa mendengarkan melodi itu. Senang sekali, atau bahagia, menggugah rasaku; mengikuti pandanganku yang menyapu menyusuri memperhatikan sepanjang jalan di kota itu, dan mereka yang berjalan kaki tak lagi merasa lelah, tetapi menggembirakan; toko-toko yang berjajar dengan warna-warna yang dijualnya masing-masing. Mereka seakan saling tersenyum dengan keramahannya, baik yang menjajakan dagangan di lapak-lapak sepanjang jalan, dan bertemu pandang dengan anak-anak muda yang menikmati sore hari dengan bercengkerama antar teman.

Dan aku ada di ujung jalan, di bawah payung tenda dengan kursi kayu pendek yang membuatku dengan santainya merasakannya, tak ada pertanyaan, tak ada kebingungan, tak ada kegelisahan. Aku duduk di sana, menikmati semuanya, dan melodi yang masih mengalun. Mungkin jiwaku telah tertidur, sejenak tertidur oleh lantunan melodi itu meskipun mataku tetap saja terjaga, mengikuti tawaran melodi untuk menikmati senja dan kota dan manusia yang tenang, damai.

Namun, ia juga menyadarkan, memberi tahu kesendirianku, tak perlu risau, tak perlu takut. Sayang sekali, aku mengerti melodi itu sendirian. Kedekatan yang aku rasakan itu entah dengan siapa. Yang jelas aku sendiri saja. Keindahan itu aku nikmati sendiri, tak ada yang menemani, berbagi. Dan rasa yang membahagiakan, menyenangkan itu adalah kesendirian, kesenyapan yang ada pada diriku.

Aku pikir, beginilah dahulu Adam, yang tanpa Hawa, di Firdaus. Seperti Adam yang juga sendirian pada awalnya. Ternyata tidak perlu dipermasalahkan ketika harus sendiri, ibarat Adam yang tanpa seorang Hawa. Sendiri, tak berteman, namun tak merasa sepi, kesepian. Ya, aku pikir dia tidak merasa sepi karena sekelilingnya adalah mereka, hewan-hewan ciptaan, yang harus dia beri nama dan pepohonan yang menyanyikan kesunyian di sela-sela melodi dari suara binatang yang berjumlah ribuan di Firdaus itu.

Begitulah Adam. Ia sendiri tanpa teman sebelum Hawa diciptakan. Sebelum ia tertidur dan diambil tulang rusuknya dan dijadikanlah Hawa. Betapa Adam merasakan sepi itu. Tetapi ia memiliki keindahan yang asli, murni, harmoni. Pepohonan seakan hijau saja, begitulah adanya, tak perlu berdandan, tak menarik mata. Air sungai yang berkilatan oleh cahaya matahari menawarkan kesederhanaan yang pasif, apa adanya, tak dibuat-buat. Dan suara-suara burung bukan sesuatu yang membuat bising, merusak suara dari alam yang meninabobokan makhluk yang ada. Namun semua yang di Firdaus memberi rasa kehangatan dan harmoni pada diri Adam.

Aku merasa menjadi Adam, yang tidak merasakan sepi. Kesendirian tidak sama dengan kesepian. Adam sangat bahagia. Ia tidak perlu seorang Hawa. Ia sudah cukup dengan keadaannya, yang sederhana, apa adanya. Sendiri di antara alam, yang luas, tak terhingga, tak bertepi, tak membuatnya merasa sepi. Ia memiliki banyak tempat untuk dituju, gunung, lembah, sungai, ngarai, pantai. Terasa benar ada harmoni di segalanya. Dan semua terserah pada Adam. Ia mau kesepian, atau kebahagiaan semua terserah padanya. Tidak ada cahaya, lampu yang dibuat berwarna-warni menarik mata. Tidak ada bising yang mengganggu kuping.

Dan itu semua aku rasakan. Melodi itu membuatku merasakan yang Adam rasakan. Seakan-akan sungai, ngarai, lembah, bukit, gunung, ada di balik melodi itu. Melodi itu lukisan dari lembah dan gunung, sungai dan pantai, hijau dan pepohonan, angin. Hanya saja, pepohonan dan semuanya sudah digantikan oleh bangunan, jalan-jalan, kendaraan. Oleh melodi itu, harmoni benar terasa.

Selintasan aku berpikir, bagaimana bisa aku merasakannya? Apa yang terjadi di senja yang berjalan semakin tua dan aku yang telah duduk lama menunggu? Melodi itu mengajakku merasakan, menikmati keindahan; lampu-lampu sepanjang jalan berpendaran menikmati kota yang semakin ramai, orang-orang yang tertawa, yang tersenyum, yang bahagia, persis dikatakan melodi itu, yang menikmati senja dengan beragam hidangan makanan kesukaan, minuman kesukaan. Kesederhanaan manusia yang tidak mau diburu lagi oleh waktu, tetapi menikmatinya. Semua menciptakan harmoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun