Sarung Ayah dan Sandal Wudhu: Barang-Barang Biasa yang Paling Dirindukan
Oleh Wesnina Nawimar
Ada benda-benda sederhana yang tak pernah kita kira bisa menjadi sumber rindu paling dalam. Di sudut rumah, ada sehelai sarung ayah yang tergantung seadanya, atau sepasang sandal wudhu yang sudah aus di teras mushalla. Barang-barang itu, meski tampak biasa, ternyata menyimpan jejak keintiman, kasih sayang, dan nilai kehidupan yang sulit tergantikan bahkan tidak dapat tergantikan.
Sarung: Kain Sederhana, Pelukan Hangat
Bagi banyak anak, sarung ayah bukan sekadar kain panjang. Ia adalah simbol kehangatan keluarga. Kita ingat bagaimana ayah mengenakan sarung di sore hari, ketika ia pulang kerja lalu duduk santai sambil meneguk teh. Sarung menjadi pakaian rumah, pakaian ibadah, bahkan selimut darurat ketika listrik padam.
Dalam kajian antropologi, kain sarung di Indonesia bukan hanya busana, tetapi juga identitas budaya yang melekat pada keseharian masyarakat. Sarung dipakai dari masjid hingga pasar, dari upacara adat hingga acara santai keluarga. Penelitian Edi Sedyawati menegaskan bahwa sarung merepresentasikan keterhubungan antara fungsi praktis dan simbolis dalam kehidupan masyarakat Nusantara (lihat Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, 2006).
Sarung juga hadir dalam momen kebersamaan keluarga. Kita mungkin pernah tidur di pangkuan ayah yang bersarung, atau diajak ke masjid bersamanya sambil digandeng tangan kecil kita. Kini, ketika ayah sudah tiada, sarung yang tergantung itu seolah menghadirkan kembali suaranya, nasihatnya, bahkan aroma tubuhnya. Ia menjelma relik pribadi, sebuah benda warisan yang tak ternilai harganya.
Sandal Wudhu: Jejak yang Selalu Basah oleh Doa
Sementara itu, sandal wudhu mungkin tak pernah kita pandang istimewa. Hanya alas kaki yang dipakai sebentar sebelum melangkah masuk ke mushalla atau masjid. Namun, ketika kita dewasa dan ayah sudah tiada, sandal itu menjadi saksi perjalanan spiritualnya.
Sandal wudhu berhubungan erat dengan konsep kesederhanaan dalam ibadah. Rasulullah SAW sendiri menganjurkan umatnya untuk menjaga kesucian kaki dalam setiap langkah menuju masjid (HR. Bukhari-Muslim). Dari sinilah, sandal menjadi simbol bahwa setiap langkah seorang ayah menuju sajadah adalah bagian dari ibadah yang diwariskan pada anak-anaknya.
Kerap kali kita merindukan suara sandal itu di teras, suara gesekan sederhana yang menandakan ayah siap menunaikan shalat. Kini, suara itu hanya hadir dalam ingatan, namun justru itulah yang mengajarkan arti kehadiran: bahwa doa ayah terus mengalir bersama langkah-langkahnya.