***
“Dua minggu yang lalu, mama memanggil saya. Ia berbicara banyak hal pada saya. Mungkin ia ingin memberikan bekal-bekal pernikahan. Di ujung percakapan itu, mama.....,” tiba-tiba ia terisak dan tak mampu membendung lagi air matanya. Saya menyodorkan kotak tissue di ruang kerja. Kotak tissue yang menjadi saksi setia betapa air mata akrab dengan derita dan bahagia.
Hening kembali menyapa ruangan kerja. Ada jeda yang tak nyaman bagi saya, tetapi nampaknya perlu bagi perempuan itu untuk menuntaskan tangisnya.
“Mama bilang.... saya bukan anak kandungnya,” katanya setelah menghela nafas panjang.
“Oh ya, jadi siapa papa-mama kandung Anda? Apakah mama Anda mengatakannya?” tanya saya.
“Ya, mama saya mengatakannya. Orang yang selama ini saya sebut papa adalah benar papa kandung saya, beliau sudah meninggal dunia, sedangkan mama kandung saya adalah....” tangisnya pecah kembali.
Keheningan yang kembali menyapa dengan tanya yang tak terjawab.
“Mama kandung saya sebenarnya adalah pembantu bisu tuli yang selama ini mengasuh saya. Saya adalah buah hasil pemerkosaan papa terhadap pembantu itu,” tuturnya sambil menundukkan kepalanya.
Astaga. Saya tak bisa menyembunyikan keterkejutan saya lagi. “Apakah Anda sudah melakukan konfirmasi kisah ini kepada pembantu eh ... orang yang disebut sebagai mama kandung Anda?” tanya saya segera.
“Beberapa hari yang lalu, saya mengajak pembantu itu duduk bersama. Saya menuliskan beberapa kata di selembar kertas, yang intinya menanyakan apakah saya memang adalah anaknya, dan apakah betul almarhum papa memerkosanya dua puluhan tahun yang lalu,” jawab perempuan itu.
“Apa jawabnya?” tanya saya segera ingin tahu.