Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Ada "Tan" di Buku Sejarah Bangsa

7 Maret 2018   12:49 Diperbarui: 7 Maret 2018   13:08 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya tidak setenar Soekarno ataupun Hatta. Banyak anak bangsa yang tidak mengenalnya. Kran informasi yang disaring Orde Baru hamper saja melenyapkan kisah-kisah tokoh yang tidak sejalan. Sehingga, sosok mereka menjadi misterius atau jadi legenda.

Di hadapan Tuhan, ia seorang muslim. Sementara di depan manusia, ia seorang komunis. Ia tewas ditembak mati tentara republiknya sendiri. Republik yang bahkan sudah lama ia idam-idamkan berdiri.

"Orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya."

Itulah salah satu kalimat terkenal yang sering kita dengar. Kata-kata itu disampaikannya dalam pidato Rapat Pertama Persatuan Perjuangan ke-1 di Purwokerto, 1922.

Dialah Tan Malaka. Lahir dengan nama Ibrahim, 2 Juni 1897 di Lembah Pandan Gadang, Suliki. 23 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Datuk Tan Malaka sendiri merupakan gelar adat yang disematkan pada dirinya di tahun 1912 sebagai pemimpin kaum.

Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang telah meneliti Tan Malaka sejak 1972 menceritakan, selesai Sekolah Kelas Dua, Tan terdaftar di Sekolah Guru Negeri di Fort de Kock, Bukittinggi 1907.

Tidak mudah masuk "Sekolah Raja" ini. Harus keturunan ningrat atau anak dari pegawai tinggi. Untung saja kecerdasan Tan membuat gurunya di Sekolah Kelas Dua tak putus asa memperjuangkannya. Ditambah dari pihak ibu, Tan Malaka senior adalah salah satu pendiri Pandan Gadang sekaligus membawahi beberapa datuk (suku).

Oktober 1913, datuk muda berangkat ke Belanda lewat pelabuhan teluk Bayur, Padang. Sejak kepergian itu, Tan Malaka putus hubungan dengan keluarganya. Dua kali menyambangi Suliki, yakni pada tahun 1919 dan 1942. Itupun hanya sebentar.

Usia 16 tahun di negeri kincir angin, dia melanjutkan pendidikan di Rijkweekschool distrik Harleem. Dari sinilah nantinya petualangan politik Ibrahim Datuk Malaka bermula, dari Macan Suliki menjadi Revolusioner Asia. Gejolak perang yang sedang melanda dunia kala itu megenalkannya pada sosialis, marxis, fasis, komunis, dan borjuis.

Sumber: https://www.gramedia.com
Sumber: https://www.gramedia.com
Melansir Tempo dalam Tan Malaka, sepanjang hidupnya Ibrahim sudah menjelajahi 11 negara di dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer. Sama dengan dua kali mengelilingi bumi atau dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara tokoh revolusioner Amerika Latin.

Pernah merasakan 13 penjara, Filipina (1937), Hong Kong (1932) dan 11 penjara di Jawa (1922, 1946-48). Menguasai 8 bahasa, Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin dan Tagalog. Memiliki 23 nama samaran diantaranya, Elias Fuentes, Hasan Gozali, Ossorio, Legas Hussein, Cheung Kun Tat dan Howard Lee.

Pernah mendaftar Legiun Asing Tentara Jerman karena ketertarikan pada dunia militer, namun tidak berhasil karena ditolak. Menderita penyakit kronis radang paru-paru. Melahirkan 26 buah pikir. Di antaranya, Naar de Republiek Indonesia (1924), Massa Actie (1926), Islam Dalam Tinjauan Madilog dan Gerpolek(1948). Pekerjaan yang pernah dilakoni, guru, penulis lepas, kerani, mandor dan tukang jahit.

Dia aktor di balik Rapat Raksasa Lapangan Ikada. Pertemuan yang mirip dengan aksi demontrasi menentang penjajahan itu menjadi titik balik keberanian rakyat Indonesia. Ketika itu, para pemuda tak lagi takut dengan moncong senjata mesin tentara penjajah yang ditodongkan.

Tentara Republik Indonesia menangkap Ibrahim pada 21 Februari 1949 di Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kediri. Tuduhan melawan Soekarno Hatta membuat Datuk Tan Malaka Pandan Gadang dieksekusi mati. Kala itu ia sedang bergerilya bersama Jenderal Soedirman melawan agresi Belanda.

Fakta-fakta diatas tentunya bisa ditemukan di berbagai buku dan artikel. Berterimakasihlah buat mereka yang sudah membagikan wawasan dan hasil penelitian mereka. Terkhusus si pria Belanda, Harry A Poeze.

Tulisan ini bukan sekedar untuk berbagi informasi. Tetapi juga mengingatkan bahwa ada sosok Tan Malaka yang layak kita sandingkan dengan Bung Tomo, Soedirman, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan bapak-bapak bangsa Indonesia lainnya.

Sudah waktunya kita membuka kran informasi yang selama ini terkesan ditutupi. Memasukkan biografi Tan Malaka dalam buku-buku sejarah, sehingga dapat dikenal anak-anak Indonesia dan diidolakan layaknya Sukarno, dan tokoh lainnya.

Memberitahukan bahwa komunis itu bukanlah G30S PKI saja, bukan tentang Musso dan DN Aidit melulu. Tapi di tahun-tahun awalnya, PKI ikut memikirkan konsep bangsa Indonesia agar terlepas dari penjajahan. Mereka juga ikut berjuang bersama pan-islam dan kelompok nasionalis lain demi kemerdekaan Indonesia.

Terimakasih Datuk, semoga Allah subhanahuwata'ala merahmati-mu. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun