Di Halmahera, orang-orang Maba Sangaji masih menyebut hutan dan sungai sebagai ibu yang memberi hidup. Sejak lama, mereka hidup berdampingan dengan alam: dari tanah mereka menanam, dari laut mereka melaut, dari sungai mereka minum.
Tapi sejak konsesi tambang nikel masuk, ibu itu mulai sakit. Kebun mereka digusur, sungai yang dulu jernih kini keruh, ikan-ikan mati. Perahu nelayan yang dulu penuh hasil tangkapan, kini pulang dengan jaring kosong. Lebih parah lagi, sebelas warga yang berani menolak malah ditangkap.
"Saya hidup dengan air mata," kata Kamaria Malik, istri seorang warga yang dipenjara. "Anak saya yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menggantikan ayahnya mengerjakan kopra. Semestinya ia belajar, bukan menanggung beban orang dewasa." Suara lirih itu adalah potret luka: hilirisasi yang dibanggakan pejabat di Jakarta, di tanah Maba Sangaji berubah menjadi kriminalisasi dan kemiskinan.
Kisah Maba Sangaji hanyalah satu wajah dari banyak yang dilupakan dalam gegap gempita hilirisasi. Di Morowali Utara, Januari 2023, ratusan buruh PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) mogok menuntut hal yang sederhana: alat keselamatan kerja dan upah yang layak. Tuntutan itu berujung ricuh. Dua buruh tewas, puluhan luka-luka, barak pekerja terbakar. "Kami hanya minta selamat bekerja, tapi malah kehilangan kawan," ujar seorang buruh lokal yang selamat.
Setahun berselang, tepat malam Natal, tungku peleburan di Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) meledak. Ledakan itu menelan belasan nyawa. Mereka yang malam itu dijadwalkan pulang lebih cepat, justru pulang tinggal nama. Seorang rekan korban berkata dengan getir, "Kami tahu bekerja di tungku itu berbahaya, tapi siapa peduli? Nyawa kami lebih murah dari bijih yang mereka lebur."
Tetapi lihat lebih dekat: kapasitas listrik di provinsi ini didominasi 5.535 MW captive hanya untuk pabrik smelter, sementara untuk kebutuhan publik hanya 406 MW. "Listrik di kampung kami sering padam, tapi di pabrik tak pernah mati," keluh seorang warga Morowali. Kampung-kampung tetap gelap, sementara tungku peleburan menyala siang-malam.
Luka ekologisnya pun menganga. Data menunjukkan lebih dari 500 ribu hektare hutan di Sulawesi Tengah dan Tenggara hilang hanya dalam satu dekade. Deforestasi itu meruntuhkan benteng alam yang selama ini melindungi warga dari banjir dan longsor. Emisi gas rumah kaca pun melonjak karena 83 persen listrik kawasan industri nikel masih berbasis PLTU batubara. Target energi baru terbarukan 30 persen pada 2025 hanya tinggal retorika, sebab kenyataannya baru sembilan persen tercapai. Sawah-sawah gagal panen karena irigasi tercemar limbah. Sungai yang dulu nadi kehidupan kini berubah menjadi aliran air asam.
Kontras ini semakin tajam ketika melihat siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan. Kiki Barki, seorang taipan batu bara dengan harta lebih dari Rp26 triliun, kini merambah bisnis nikel lewat PT Harum Energy Tbk. Konsesinya tersebar di Halmahera Timur dan Sulawesi Tengah, memproduksi nickel pig iron dan nickel matte. Ia menguasai hampir 80 persen saham HRUM melalui perusahaan keluarga.
Dari batu bara ke nikel, lingkaran kekayaan itu terus berputar, mengukuhkan dominasi oligarki lama di sektor energi dan tambang. Di satu sisi, komunitas adat seperti Maba Sangaji kehilangan kebun, sawah, dan sungai; di sisi lain, harta para pengusaha tambang terus bertambah.
Rantai pasok global makin menegaskan paradoks ini. Indonesia kini menyumbang 41 persen produksi nikel dunia, sebagian besar dikendalikan perusahaan Tiongkok lewat Tsingshan, Huayou, dan CATL. Produk akhir nikel dari Morowali dan Halmahera masuk ke baterai Tesla, Volkswagen, BMW, hingga Mercedes-Benz.
Mobil listrik mereka dipuja sebagai simbol transisi hijau di Eropa dan Amerika. Tapi hijau di jalanan Berlin atau San Francisco lahir dari hitam di sungai Halmahera dan debu di langit Morowali. "Kami diminta bangga karena nikel kami dipakai Tesla," kata seorang mahasiswa di Ternate, "tapi yang kami lihat hanya hutan hilang dan kawan-kawan kami masuk penjara."