Di atas meja, sepiring potongan ikan segar berwarna merah muda berpadu dengan cabai rawit, bawang, dan daun kemangi. Aromanya segar dan pedas, seolah mengajak lidah untuk segera menyelam ke dalam cita rasa laut Maluku Utara. Inilah gohu ikan---hidangan sederhana yang menyimpan sejarah panjang pelaut dan jejak budaya Jepang.
Dari Laut ke Piring Tanpa Api
Masyarakat Morotai dan Ternate hidup berdampingan dengan laut sejak dahulu kala. Laut bukan hanya sumber rezeki, tetapi juga ruang jelajah. Para pelaut dan nelayan yang berhari-hari di laut tentu tak selalu bisa memasak dengan api. Dari keterbatasan itu, lahirlah ide sederhana: ikan segar yang baru ditangkap dipotong kecil, diberi perasan jeruk, garam, bawang, dan cabai, lalu langsung disantap.
Gohu ikan bukanlah makanan mewah. Ia tumbuh dari kebutuhan bertahan hidup, dari kreativitas orang laut yang ingin tetap menikmati protein segar tanpa repot memasak. Justru kesederhanaan itu membuat rasa ikan mentah semakin menonjol, berpadu dengan pedas-asam segar yang khas.
Sentuhan Jepang di Maluku Utara
Sekilas, gohu ikan mengingatkan pada sashimi Jepang. Potongan ikan mentah, cara penyajian yang sederhana, dan filosofi menjaga rasa asli ikan menjadi ciri yang mirip. Dugaan bahwa ada pengaruh Jepang dalam gohu semakin kuat jika menengok sejarah: sejak Perang Dunia II, Morotai memang sempat menjadi basis penting militer Jepang, sementara jalur maritim sudah lama mempertemukan bangsa-bangsa di wilayah ini.
Meski begitu, gohu tetaplah otentik Maluku. Bedanya dengan sashimi, gohu menggunakan bumbu lokal: daun kemangi, cabai rawit, jeruk calamansi atau lemon cui, bahkan kadang diberi minyak kelapa panas untuk rasa gurih hangat. Karena itu, tak berlebihan jika banyak yang menyebut gohu sebagai "sashimi Ternate"---sebuah pertemuan budaya di meja makan.
Rasa yang Menyimpan Cerita
Suapan pertama gohu ikan memberi pengalaman yang unik. Daging ikan---biasanya tuna atau cakalang---terasa kenyal, segar, dengan jejak asin alami laut. Sensasi itu segera ditimpa pedas cabai rawit yang menggigit, disusul segar-asam dari jeruk khas Maluku, lalu ditutup aroma harum kemangi yang menenangkan.
Di beberapa tempat, minyak kelapa panas dituangkan sedikit di atasnya. Kontras rasa dingin daging mentah dengan gurih hangat minyak menciptakan pengalaman berbeda, seakan memeluk lidah dengan harmoni sederhana.