Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Yang Tertulis Itu Abadi

18 November 2022   18:50 Diperbarui: 18 November 2022   18:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 T: 

YANG TERTULIS ITU ABADI

Oleh Weinata Sairin

"Vox audita perit, littera scripta manet. Suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal." Selalu ada perbedaan antara "suara" dan "kalimat tertulis". Dari "suara", kita bisa terbantu untuk membaca apa yang sebenarnya terjadi pada kedalaman nurani seseorang. Dari pilihan kata yang diucapkan, dari intonasi pengucapannya, dapat "terbaca" kadar emosi yang melatari suara itu. Dari situ, si pendengar dapat membayangkan peta peristiwa yang sedang terjadi. Namun, suara itu hanya terdengar sekejap; selanjutnya akan hilang ditelan waktu, digerus zaman, tanpa kita dibantu kecanggihan teknologi.

Berbeda kasusnya dengan sebuah "kalimat tertulis". Sesuatu yang tertulis bisa bertahan jauh lebih lama ketimbang "suara". Artinya, andaikan dalam kalimat tertulis itu ada kata atau istilah yang bernuansa kebencian, penghakiman, atau kata-kata yang vulgar dan tak elegan, semuanya akan tetap tersimpan sebagai dokumen tertulis yang masih bisa dibaca bertahun, berpuluh, bahkan beratus tahun kemudian---kecuali bukti autentik itu dimusnahkan. Realitas itu tentu tidak menguntungkan bagi citra sang penulis dokumen tersebut di masa-masa mendatang. Jadi, suara maupun kalimat tertulis memiliki nilai positif dan negatif.

Kedua aspek itu mesti dikelola dengan hati-hati dan dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat atau pribadi. Suara-suara yang dikumandangkan melalui pidato, ceramah, kampanye, pengarahan, atau aksi massa, ungkapan-ungkapan di ruang publik, bahkan dalam ruang-ruang kehidupan yang besar ini, mestinya tidak bersifat mendiskreditkan pihak lain, tidak mencela, tidak menghina pribadi/lembaga/organisasi, maupun menghina agama-agama dan/atau aliran keagamaan yang ada. Suara-suara, kata-kata yang dikumandangkan memenuhi udara NKRI yang majemuk ini (seyogianya) adalah suara penuh harmoni, ramah, sopan santun, yang tecermin melalui suara indah dan merdu yang mengapresiasi kemajemukan agama-agama, suara-suara dengan nada dasar "toleransi".

Bergaul dengan kawan-kawan lintas agama sejak masa kecil adalah masa yang indah bagi saya. Ayah-ibu saya saat itu mengajarkan bagaimana hidup bertoleransi dengan kawan-kawan yang berbeda agama. Terkadang kawan-kawan sebaya saya semasa kecil mengajak ke langgar untuk memperingati Hari Raya Maulid Nabi Muhammad SAW, menikmati makan bersama. Pengalaman masa kecil itu amat membekas, yang kemudian makin matang dan dimantapkan dalam tugas pelayanan saya hingga kini.

Pelajaran agama Islam yang saya terima sejak Sekolah Rakyat (SR) sampai dengan SMA amat membantu memberikan pemahaman elementer terhadap agama Islam. Sikap inklusif, pemahaman dasar tentang agama agama, pengembangan etika hidup bersama, ramah tamah, dan sopan santun adalah unsur-unsur penting dalam mengembangkan kehidupan beragama yang kondusif.

Di zaman dulu, sikap sopan santun atau tata krama itu tidak saja diajarkan oleh orangtua tetapi juga oleh para guru di sekolah. Sopan santun amat penting dalam membangun relasi antarsesama dalam sebuah masyarakat yang majemuk. Dalam bentuk yang lebih luas, hal-hal tentang sopan santun itu bahkan diajarkan oleh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pengembangan kepribadian, misalnya John Robert Powers atau Yayasan Duta Bangsa. Sopan santun dan tata krama memerlukan penataan dan pemilihan kata tanpa membuat orang lain tersinggung.

Inilah cerita khazanah internasional. Jenderal Evan F. Carlson, seorang komandan marinir, selalu merokok di mana pun ia berada, kapan pun ia menginginkannya. Suatu saat ia berkunjung ke Boston, ke kantor editor The Christian Science Monitor. Sang jenderal mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya sambil bertanya:
"Apakah ada yang keberatan jika aku merokok di sini?"
"Silakan," jawab si editor, "tapi seorang pun belum pernah melakukannya."
Carlson memasukkan kembali sebungkus rokok itu ke sakunya.

Sebuah penolakan amat halus melalui permainan kata yang interesan. Aspek sopan santun dan tata krama dalam bersahabat tecermim dengan baik pada kisah itu, yang bisa menjadi inspirasi bagi kekinian kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun