Cerita ini diinspirasikan oleh kedua sahabat baik Jepang saya di sini.
Pertama kali saya dengar nama penyakit ini, ketika sahabat saya yang sudah lama tidak bertemu menceritakan tentang penyakit yang dirinyapun sendiri tidak sadar dan mengetahuinya.
Lalu setelah memeriksakan keadaanya ke Rumah Sakit, yang ternyata dia dinyatakan terkena Utsubyou. Dan kasus lainnya adalah suami teman Jepang saya yang harus diistirahatkan dulu dari kantornya selama beberapa bulan untuk menjalani terapi Utsubyou, dan kemudian diharapkan bisa kembali bekerja di kantor setelah sembuh.
Utsubyou adalah penyakit jiwa akibat depresi yang berkepanjangan karena tekanan-tekanan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas-aktifitas sosial sehari-harinya.
Kalau melihat dari Berita TV, surat kabar, ataupun dari cerita-cerita di Drama Jepang, sepertinya, ini bukan sesuatu hal yang aneh lagi sekarang, apalagi ditambah pernyataan dari Departement of Psychiatry, Saitama University Hospital bahwa sudah semakin meningkatnya orang-orang yang terkena penyakit jiwa ini.
Kehidupan masyarakat di Jepang yang keras mengharuskan masyarakat untuk tangguh dalam kehidupan sehari-harinya, baik itu wanita yang gigih mengurus rumah tangga tanpa bantuan siapapun, harus mengurus anak, memasak, apalagi kalau sang ibu juga bekerja,aduh saya tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya mengatur itu semua.
Begitupun sang suami yang bekerja (terlalu) giat sampai larut malam, dan keesokan paginya harus sudah bersesak sesak di dalam kereta, ditambah misalnya, adanya tekanan dari kantornya, seperti atasan yang galak dan pekerjaan yang membuat stress.
Keadaan-keadaan seperti itulah yang memungkinkan mereka terkena stress dan apabila tidak cepat diketahui dan ditanggulangi bisa menjadikan depresi/gangguan jiwa atau Utsubyou untuk istilah Jepangnya.
Kita mungkin pernah dengar bahwa selain masyarakat jepang terkenal dengan gigih, giat dan uletnya, mereka adalah masyarakat yang sangat individual. Terutama di daerah perkotaan, untuk berteman, mereka bukanlah sosok yang mudah untuk bisa langsung menerima dan terbuka terhadap orang baru. Butuh pendekatan yang kontinyu, dan apabila sudah dekat barulah mereka mau menerima kita sebagai teman.
Dan itupun bisa dikatakan tetap masih adanya jarak dimana mereka tidak akan merepotkan atau kalau tidak terpaksa mereka tidak akan meminta tolong kepada orang lain. Dengan kata lain mereka juga tidak ingin diganggu oleh kita. Istilahnya, I won`t disturb you but please don’t disturb me. Yang kadang tersirat seperti itu dalam kehidupan di sini.
Tapi saya pikir itu bukanlah sesuatu yang buruk, karena memang dari jaman dahulu masyarakat Jepang adalah invidu-individu yang independen, mereka akan berusaha sekuat tenaga (sesuai dengan kata kebanggan masyarakat Jepang yaitu, Ganbaru, berusaha sampai titik akhir) berusaha sampai pada titik mereka tidak sanggup, barulah mereka berusaha mencari jalan lain, seperti meminta bantuan orang lain.
Namun, dibalik ketangguhannya dalam menjalani kehidupannya sendiri itu, terbukalah kemungkinan kalau individu-individu itu terkena stress dan depresi, yang akhirnya mereka malah tidak bisa menjalankan aktifitas di rumah ataupun di lingkungan sekitar.