Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM, Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendiri

28 Januari 2022   23:50 Diperbarui: 29 Januari 2022   08:07 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Pada masa-masa "normal", perempuan di Indonesia sudah mengalami tingkat kekerasan yang tinggi.

Hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengakui definisi dan kompleksitas kekerasan seksual. Misalnya, KUHP hanya mengakui penetrasi paksa penis ke dalam vagina wanita sebagai pemerkosaan. Undang-undang tidak mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya termasuk pelecehan seksual. Inilah salah satu alasan mengapa UU tindak pidana kekerasan seksual sangat penting untuk meningkatkan perlindungan perempuan di seluruh negeri.

Jika ada "kesulitan", pembuat undang-undang harus melihat masyarakat, terutama pada perempuan yang telah bertahun-tahun menunggu dengan sia-sia agar RUU itu disahkan, bersama dengan kesulitan  yang dihadapi oleh para penyintas pelecehan seksual dan keluarga mereka.

Baca: Kapan Kekerasan terhadap Perempuan akan Berakhir?

Pembahasan RUU antara Komisi VIII DPR dan pemerintah sudah berlangsung sejak tahun 2019. Dari proses perencanaan awal sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, RUU tersebut resmi masuk dalam daftar prioritas Prolegnas tahun 2017. Dalam rapat paripurna diputuskan RUU tersebut akan dibahas di Baleg yang menyepakati bahwa isi RUU itu penting dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kekerasan seksual.

Sebagai proses legislasi normal sebuah undang-undang, DPR kemudian mengirimkan RUU tersebut kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Melalui surat presiden, tertanggal 2 Juni 2017, Presiden menugaskan perempuan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kesehatan, sosial, reformasi administrasi dan birokrasi, hukum dan hak asasi manusia, serta menteri dalam negeri, baik secara perseorangan maupun kelompok, untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Segera setelah itu, pada Juni 2017, pemerintah mengajukan daftar inventaris masalah sebagai dokumen pendamping RUU untuk pembahasan lebih lanjut.

Setelah jeda yang lama, pada Agustus 2019 pembahasan RUU dimulai. Selama periode itu, dari 2017 hingga 2019 ribuan korban kekerasan seksual ditolak keadilan dan haknya, sementara upaya pencegahan dan penegakan hukum terhenti.

RUU tersebut kemudian dialihkan dari Baleg ke Komisi VIII. Ada beberapa kali rapat pembahasan antara pemerintah dan Komisi VIII, hingga akhirnya diputuskan RUU tersebut tidak bisa disahkan. Sebagai oposisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menentangnya, dengan alasan bahwa RUU tersebut mempromosikan legalisasi perzinahan dan orientasi seksual lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), meskipun RUU tersebut sama sekali tidak menyebutkan masalah LGBT.

Menariknya, meski dengan minimnya perwakilan dalam panitia kerja (Panja) RUU tersebut, yang hanya terdiri dari seorang wakil ketua dan satu anggota, di antara 26 anggota Panja, kekuatan pengaruh PKS terhadap anggota Panja lainnya dapat dilihat tanpa "kesulitan".

Sungguh masa yang "sulit" bagi masyarakat yang memperjuangkan RUU tersebut, terutama para korban. Selain itu, juga terjadi kesimpangsiuran mengenai apakah RUU tersebut akan diteruskan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Perubahan Tahun 2019 atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sayangnya, pasal ini tidak mengatur secara jelas teknis pelaksanaan RUU tersebut. Masyarakat pendukung RUU ini harus menghadapi "kesulitan" lagi.

Dapat diartikan bahwa proses musyawarah harus dimulai lagi dari nol. Apakah DPR akan menggunakan kembali RUU versi 2017 atau mengusulkan RUU yang baru? Ini tetap tidak jelas. Hal lain yang tidak banyak diungkap ke publik, pada 31 Maret lalu Ketua Komisi VIII mengirimkan surat kepada Ketua DPR terkait penghapusan RUU dari inisiatif Komisi VIII. Sejak tanggal itu, KPU secara efektif membatalkan posisinya sebagai pemrakarsa RUU tersebut. Karena itu, Ketua DPR harus berkoordinasi dengan Baleg untuk mengklarifikasi apakah masih bersedia melanjutkan pembahasan RUU tersebut.

Sayangnya, sementara proses penggagas RUU di Baleg masih belum jelas, rapat koordinasi Baleg dengan ketua komisi pada 30 Juni memutuskan untuk menghapus RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual dari daftar prioritas 2020, dan akan menjadi masih akan dibahas lebih lanjut tentang kemungkinan memasukkannya ke dalam Prolegnas tahun depan. 

Perjuangan selanjutnya adalah memastikan RUU tersebut bisa masuk dalam daftar prioritas 2021. 

Ada beberapa isu krusial terkait hal ini. 

Pertama , siapa yang akan menjadi penggagas RUU tersebut? Itu bisa anggota parlemen individu, bersama-sama sebagai kelompok, atau dalam faksi. 

Kedua, proses internal DPR sendiri, apakah RUU itu akan dibahas Komisi VIII atau Baleg? 

Ketiga, naskah akademik dan RUU versi mana yang akan ditetapkan atas inisiatif DPR, kemudian dikirim ke Presiden? Untuk diketahui, naskah akademik dan RUU versi saat ini tertanggal 10 Februari 2017, gagal menemukan kesepakatan untuk diundangkan, karena banyak isu kontroversial dalam pembahasannya. Kemungkinan besar, inisiator akan berpikir dua kali sebelum mengirimkan versi ini lagi. Alternatif mungkin lebih tepat. 

Naskah akademik dan RUU versi apa yang diharapkan, khususnya oleh para korban kekerasan seksual? Yang diperlukan dari naskah akademik tersebut setidaknya adalah: kajian teoritis yang komprehensif tentang praktik empiris untuk membentuk kerangka urgensi RUU, evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait kekerasan seksual dan terakhir filosofis, yuridis dan yuridis yang kuat. landasan sosiologis sebagai dasar RUU tersebut.  

Sejalan dengan itu, RUU tersebut setidaknya harus memuat unsur pencegahan, pengobatan, perlindungan, dan penyuluhan korban, serta pemidanaan bagi pelaku, yang dibingkai sebagai bentuk kehadiran negara dalam menghapus kekerasan seksual dan menegakkan hak-hak korban. RUU itu juga harus mengatur definisi kekerasan seksual dan sembilan jenisnya, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, kawin paksa, pelacuran paksa, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.  

Berkenaan dengan perdebatan apakah RUU tersebut perlu menunggu pengesahan RUU KUHP, hal ini tidak boleh dianggap sebagai "kesulitan". Tidak ada norma hukum yang menuntut pembahasan suatu RUU, RUU apapun harus menunggu pembahasan RUU yang lain, apalagi karena kedudukan hukum suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain sebagaimana diatur dalam UU No. 12/2011 adalah persamaan, tidak ada lebih tinggi dari yang lain. 

Jadi, apakah ini "sulit"?

Di sisi lain, semakin banyak korban kekerasan seksual di Indonesia yang angkat bicara. Seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri ternama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) berinisial VDPS menumpahkan curhatannya di media sosial tentang kasus pemerkosaan yang menimpanya. Curhatan itu kemudian viral dan menjadi perhatian publik Banjarmasin. Bagaimana tidak, pelakunya adalah oknum anggota polisi berpangkat Bripka yang sehari-hari bertugas di Satuan Reserse Narkoba Polresta Banjarmasin.

Baca: Darurat Kekerasan Seksual di Kampus, di Mana Anda Tanya Korban

VDPS menceritakan secara detil awal mula hingga ia diperkosa oleh pelaku. Menurut VDPS, perkenalan dirinya dengan pelaku bermula saat dia melaksanakan magang di Satres Narkoba Polresta Banjarmasin pada 4 Juli sampai dengan 14 Agustus 2021. Usai melaksanakan magang, pelaku ternyata sering menghubungi korban dan mengajaknya jalan-jalan. "Kenapa aku mau diajak kenalan karena posisinya waktu itu aku segan dengan beliau. Apalagi aku anak magang," ujar VDPS seperti yang ditulisnya di media sosialnya.

Walaupun sering diajak jalan oleh pelaku, korban selalu menolak dengan mengeluarkan berbagai alasan. Namun pada kesempatan lain, pada 18 Agustus 2021, korban akhirnya mau diajak jalan oleh pelaku menggunakan sebuah mobil. Pelaku rupanya sudah merencanakan akan memperkosa korban setelah minuman energi yang dibelinya disebuah supermarket yang telah dicampur dengan anggur merah yang telah dibuka. Korban awalnya curiga tetapi terpaksa meminum minuman itu hingga akhirnya tak berapa lama korban lemas dan berdaya. VDPS mengingat, ketika dirinya lemas, pelaku ternyata membawanya ke sebuah hotel. Tim Advokasi Keadilan menemukan fakta bahwa pelaku mengangkutnya ke sebuah  hotel di KM 6 Banjarmasin. Karena lemas, pelaku membawa korban ke kamar menggunakan kursi roda.

Akhirnya korban diperkosa sebanyak dua kali. "Aku dimasukkan ke dalam kamar hotel, pada semalaman itu dia telah menyetubuhi aku sebanyak dua kali dalam kondisiku yang tak berdaya," tulis dia lagi. 

Seiring berjalannya waktu, proses hukum terhadap pelaku akhirnya berjalan setelah korban melayangkan laporan. Sampai pada akhirnya, vonis pengadilan hanya menjatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara terhadap pelaku.

Hukuman yang dinilai sangat ringan itu membuat VDPS kecewa dan meminta keadilan. "Aku korban pemerkosaan oleh oknum aparat, tapi terdakwa hanya dihukum 2 tahun 6 bulan. Di manakah letak keadilan. Pelaku telah menghancurkan fisikku dan psikisku seumur hidup," kesal VDPS. Mengetahui vonis pengadilan sangat ringan, pihak kampus langsung bereaksi dengan mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi Kalsel dan membawa Tim Advokasi VDPS. Kedatangan mereka untuk mempertanyakan kenapa jaksa tidak menuntut hukuman yang berat terhadap terdakwa.


VDPS mengalami trauma berat dan dalam pendampingan psikolog guna memulihkan kejiwaannya. Tim Advokasi Keadilan menemukan kejanggalan perkara, antara lain: 

Pertama, kasus berlangsung sejak Agustus 2021, tapi tidak satu pun ada pemberitahuan dari pihak berwenang kepada pihak universitas maupun fakultas sebagai penyelenggara program magang, lantaran pelaku dan korban berada dalam tempat kerja yang sama. 

Kedua, tidak ada pendampingan hukum terhadap korban, tapi hanya pendampingan secara psikologis oleh dinas terkait. Hal ini mengakibatkan proses hukum tidak dikawal optimal. 

Ketiga, persidangan berlangsung sangat cepat, yakni sidang pertama pada 30 November 2021 dan sidang vonis pada 11 Januari 2022. Artinya persidangan dilakukan dalam waktu 31 hari kerja atau 43 hari kalender. 

Keempat, dalam tuntutannya, jaksa mencantumkan Pasal 286 KUHP, sementara tim advokasi berpendapat seharusnya jaksa mencantumkan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman yang lebih berat. Penyidik dan jaksa tidak menggunakan ketentuan Pasal 89 KUHP yang merupakan perluasan makna 'kekerasan' dalam Pasal 285 KUHP. 

Kelima, pada saat pembacaan putusan tanpa dihadiri oleh korban, jaksa langsung menyatakan menerima dan menolak saat tim advokasi meminta upaya banding yang akan berakhir 25 Januari. 

Keenam, hakim menjatuhkan hukuman yang sangat ringan, yakni pidana penjara 2 tahun 6 bulan dari 7 tahun ancaman maksimum dalam Pasal 286 KUHP. Artinya hukuman yang dijatuhkan hakim kurang lebih seperempat dari ancaman maksimum, tepatnya 27,7 persen.

Perempuan, aktivis, dan penyintas kekerasan seksual berjuang tanpa henti untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih aman. Aktivis juga  telah memperingatkan "epidemi" pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan bahwa pemerintah tidak berbuat cukup untuk memeranginya.

Kekerasan terhadap perempuan datang dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual. Pelakunya, selain individu, bisa juga lembaga pemerintah atau non-pemerintah -- budaya, agama, dan pendidikan. Kekerasan terhadap perempuan mengarah pada kekerasan terhadap hak asasi manusia, seringkali dalam bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap perempuan.

Selama pandemi ini, perempuan Indonesia cenderung mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada rekan laki-laki mereka. Meski belum ada kajian rinci, survei Komnas Perempuan tahun 2020 dapat memberikan gambaran tentang fenomena ini. Studi tersebut melaporkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami, dengan kekerasan fisik dan seksual yang paling sering dialami diikuti oleh kekerasan psikologis.

Perjalanan sejarah ini menunjukkan betapa sulitnya mencari instrumen khusus hak asasi manusia untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan mengakui hak perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Sementara itu, kita terus melihat korban kekerasan seksual yang menderita tanpa pendampingan, dan pelaku yang menikmati impunitas.

Di masa lalu, negara telah memainkan peran kunci dalam mendefinisikan peran gender, konstruksi sosial kewanitaan dan ideologi nasional tentang perempuan. Ibuisme Negara adalah bagian dari konsep kewanitaan Orde Baru dan menurunkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bergantung dan tidak produktif yang menyediakan tenaga kerja 'gratis' untuk suami dan keluarga. 

Menurut Julia Suryakusuma dalam The State and Sexuality in New Order Indonesia tahun 1996. Ibuisme Negara diciptakan untuk mendukung kepentingan Orde Baru dan diturunkan dari dua konsep utama: Ibuisme Negara = Ibu Rumah Tangga + Ibuisme. Maria Mies menggambarkan hal ini sebagai konstruksi ibu rumah tangga sebagai mitra sosial bagi laki-laki, yang dipandang sebagai pencari nafkah terlepas dari kontribusi nyata mereka kepada keluarga. Ibuisme menentukan peran perempuan dalam reproduksi dan keluarga, sementara juga mengecualikan mereka dari ranah publik dan politik.

Ini adalah bagian dari upaya negara untuk mengontrol masyarakat dan mengatur perempuan di sepanjang garis sosial dan hirarkis. Seperti yang ditulis Suryakusuma, kepemimpinan negara terdiri dari ' klub anak laki -laki ' yang sangat patriarki dalam pengambilan keputusan. Status seorang istri terkait erat dengan suaminya, seperti yang terlihat di bekas organisasi perempuan nasional, Dharma Wanita. Selain itu, dalam mempromosikan Ibuisme, negara menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga mereka. Ini berfungsi untuk mengasingkan perempuan dari kekuatan politik dan ekonomi, menyerahkan pengambilan keputusan kepada laki-laki.

Meskipun ide ini merupakan warisan Orde Baru, banyak politisi dan birokrat saat ini yang disosialisasikan dalam sistem ini dan pemikiran semacam ini tetap lazim. Ini memberikan dasar bagi cita-cita sosial bahwa perempuan bergantung dan tunduk pada, suami serta keluarga mereka. Menurut Ibuisme Negara, seorang wanita yang baik dan patuh memiliki kehidupan keluarga yang harmonis untuk diharapkan dan kekerasan dalam rumah tangga atau seksual tidak akan pernah menjadi masalah. Dalam situasi ini, perempuan lebih cenderung bertahan dalam pernikahan yang berbahaya dan menanggung kekerasan, daripada menghadapi alternatif dan mengundang rasa malu publik.

Apakah pemerintah memiliki kemauan politik untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk anak perempuan, untuk perempuan, untuk semua orang melawan segala rintangan?

Mampukah pemerintah menghadapi tantangan untuk memenuhi komitmen global untuk mewujudkan kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi bagi kita semua?

Karena waktu yang singkat, rencana yang berani dan inovatif sangat dibutuhkan untuk memicu perubahan dan memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi melalui kemitraan strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan --- mulai dari pemuda, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat hingga sektor swasta, dan meningkatkan pembiayaan untuk memastikan implementasi yang efektif dan dipercepat dari semua upaya. 

Yang terbaik adalah tidak pernah melupakan siapa yang kita perjuangkan --- untuk melindungi dan mempromosikan hak semua orang, terutama perempuan dan anak perempuan. Sebaiknya kita memastikan bahwa janji yang dibuat adalah janji yang ditepati.

Kita percaya bahwa hubungan kekuasaan yang tidak setara adalah penyebab utama pelecehan seksual dan dalam banyak kasus memberikan impunitas kepada para pelaku. Ini harus berakhir. Lebih penting lagi, komitmen negara terhadap perlindungan mereka yang rentan harus diwujudkan dalam kebijakan yang menghormati hak-hak mereka dan menjamin kesejahteraan mereka.

Pada 8 September 2021, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mengubah nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Tidak hanya mengubah nama, anggota parlemen hanya mengakui lima jenis kekerasan seksual dari sembilan jenis aslinya. Diantaranya adalah Pelecehan Seksual, Penggunaan Alat Kontrasepsi Secara Paksa dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disertai Kejahatan Lain. 

Amandemen ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan, tetapi juga kecemasan akan nasib para korban kekerasan seksual. Beberapa pasal sudah mewakili keinginan para aktivis hak dan masyarakat.

Tak heran jika RUU TPKS menuai kontroversi, apalagi menjadi undang-undang khusus. Jika ada RUU khusus, aturan umum akan diabaikan, seperti pemulihan korban. Perubahan ini sebenarnya merupakan langkah mundur dalam melindungi dan membela korban kekerasan. 

Tuntutan keadilan restoratif bagi penyelesaian kasus kekerasan seksual membuat banyak korban kekerasan seksual menemui jalan buntu dalam membela diri. Mediasi antara pelaku dan korban dapat memperburuk trauma korban. Inilah yang terjadi pada VPDS. 

Korban sangat membutuhkan perlindungan dan pemulihan yang biayanya juga tidak sedikit. Keluarga para korban membutuhkan dukungan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan. 

Kini, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disetujui DPR menjadi RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna, Selasa (18/1/2022). 

Meski baru menjadi RUU Inisiatif DPR, setidaknya kabar ini menjadi angin segar bagi langkah-langkah selanjutnya menuju RUU TPKS disahkan menjadi Undang-undang (UU). 

Bagaimana tidak, RUU ini bahkan telah berusia enam tahun dan berganti-ganti nama. Sebelumnya, publik tidak asing dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

RUU ini membutuhkan kemarahan kita. Marah pada kekerasan seksual, dan jangan biarkan para wanita ini berjuang sendiri. "Bagaimana jika ini terjadi pada putri Anda? Untuk saudara perempuanmu?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun