Mohon tunggu...
Falyas Taslim
Falyas Taslim Mohon Tunggu... Lainnya - Time traveler

Tentang Pulau Wawonii

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepenggal Sejarah dan Adat di Pulau Wawonii

22 Juni 2014   02:34 Diperbarui: 2 Maret 2024   06:07 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalapaeya (Sumber; koleksi pribadi Pirkan, 2003)

Salah satu adat kerajaan Wawonii yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah KALAPAEYA.

Kalapaeya (Sumber; koleksi pribadi Pirkan, 2003)
Kalapaeya (Sumber; koleksi pribadi Pirkan, 2003)

Kalapaeya hanya dipersembahkan untuk turunan mokole Wawonii atau untuk keluarga kerajaan saja dengan tingkatan tangga yang berbeda-beda. Sebenarnya penggunaan Kalapaeya sangatlah sakral. Tapi tidak sedikit dari masyarakat Pulau Wawonii yang mengerti betul bagaimana pembuatan dan penggunaannya dengan tepat. Tiga hal yang kebanyakan orang tidak lagi ketahui dalam persembahan adat kalapaeya, pertama; sebelum meletakkan hasil-hasil bumi di atas Kalapaeya, terlebih dahulu dinaikkan seorang anak bangsawan perempuan di atasnya. Kedua, kamu tidak perlu protes saat orang yang membuat Kalapaeya memilih untuk tidak menutup kaki/tangga kalapaeya, bahkan itu lebih baik dibanding menutupnya, sebab tangga itulah tanda kedudukan/strata seseorang keturunan mokole. Ketiga, dulunya kalapaeya tidak hanya digunakan untuk sarana sedekah bagi orang yang telah meninggal dunia, tetapi juga digunakan untuk membagikan hasil panen kepada masyarakat.

Sekitar abad ke-16, di masa pemerintahan Raja Mbeoga, Keluarga mokole juga telah mengenal tulisan buri Laembo (huruf/ejaan laembo). Sayangnya tulisan ini tidak hanya dibatasi pada masyarakat luas tetapi juga terbatas pada beberapa keturunan Mokole saja. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai hal tersebut.

Makam Raja Mbeoga (Sumber; koleksi pribadi Pirkan, 2013)
Makam Raja Mbeoga (Sumber; koleksi pribadi Pirkan, 2013)

Dalam adat pernikahan, Mahar yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita bukanlah berupa uang melainkan berupa Pohon Kelapa. Semakin tinggi derajat seorang wanita maka semakin banyak pula pohon kelapa yang disebutkan sebagai mahar perkawinan. Tapi sebenarnya, sebelum pohon kelapa menjadi mahar utama bagi orang wawonii, syarat laki-laki untuk bisa meminang seorang perempuan adalah berupa emas, tempat tinggal dan kewajiban bagi pihak laki-laki untuk memberi makan seluruh keluarga dan undangan yang hadir di pesta perkawinan. Maka jangan heran di masa yang lampau kita masih menemukan sebuah pesta pernikahan yang dimana meskipun pestanya di kampung mempelai perempuan, tapi pihak laki-laki juga turut mengurus/menyediakan makanan di tempat pesta. Yaah, kalau sekarang sebahagian orang tinggal cari gampangnya saja, lelaki bawa uang pesta, sisanya pihak perempuan yang mengatur pestanya.

Setelah berakhirnya sistem kerajaan, beberapa orang memutuskan untuk menyetarakan nilai mahar perkawinan dengan alasan kemanusiaan. Dijaman sekarang ini kedudukan strata berdasarkan silsilah ke-mokole-an tidak lagi menjadi patokan utama pihak mempelai wanita dalam meminta jumlah pohon kelapa sebagai mahar. Meskipun demikian sebagian masyarakat adat masih memegang teguh ketentuan pada nilai mahar yang sudah ditentukan sesuai penyetaraan. Entah pada tahun1964 atau tahun 1974, H. Bustamin Sanggiri dan Nuhun (kepala distrik Wawonii tahun 1950-1962) bersama-sama datang ke kediaman H. Muh. Mahdy bin H. Muh. Ghazali untuk memperoleh persetujuan dalam penyetaraan mahar adat perkawinan. Dari pertemuan tersebut disepakati tidak ada lagi istilah mahar ‘golongan ata’. Mahar sesuai kesepakatan adalah 30 pohon kelapa untuk keturunan bangsawan dan 20 pohon kelapa untuk masyarakat umum. Terlepas dari kesepakatan tersebut, sampai saat ini pun tidak ada larangan bagi siapa saja yang tidak mau mengikuti kesepakatan tersebut, namun tidak sedikit pula yang masih memegang teguh adat yang sudah disepakati.

Yang paling banyak tidak diketahui dalam adat perkawinan adalah perihal kain kaci. Kain kaci adalah symbol penyetaraan kedudukan laki-laki terhadap kemokolean perempuan. 

"Seharusnya, dalam perkawinan sesama keturunan bangsawan, jika seorang perempuan lebih kurang darah kemokoleannya dibanding mempelai laki-laki maka tidak boleh meminta kain kaci. Sebaliknya, jika kedudukan perempuan dalam silsilah bangsawan lebih tinggi maka mempelai wanita berhak meminta kain kaci dalam prosesi adat pelamaran". (Pirkan, komunikasi pribadi, 2019)

Dijaman dahulu, saat seorang bangsawan wanita menikah dengan keturunan yang jauh dibawahnya maka seseorang atau beberapa budak harus dibunuh. Namun seiring pemahaman syariat islam yang berkembang, penyetaraan kedudukan melalui pengorbanan nyawa seorang ata tidak lagi dilakukan sehingga digantilah dengan kain kaci sebagai symbol pengganti nyawa dan sekarang ini lebih kepada tanda penghargaan untuk kedudukan bangsawan perempuan yang lebih tinggi dari kedudukan bangsawan laki-laki.

Demikian sedikit pengetahuan yang dapat saya bagi. Beda suku, beda pula adat dan budayanya.

Sobat Kompasiana, apa bahasa daerah “kelapa” di daerah kalian? Jangan lupa komen ya!

Salam Bhineka Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun