Mohon tunggu...
Wawan Hermawan
Wawan Hermawan Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, Blogger

Hobi jalan-jalan, membaca, menulis dan membahagiakan orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hatiku Ditawan Senyuman

14 April 2024   15:28 Diperbarui: 14 April 2024   15:40 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatiku ditawan senyuman

 

Buuggg......Braakkkkk...suaranya begitu keras terdengar, saya yang duduk diteras depan rumah, sedang melepas penat sambil menikmati semilir angin menjelang malam, sayup-sayup dikejauhan terdengar kumandang suara adzan Isya, pertanda waktu shalat Isya sudah tiba, aku duduk ditemani pisang goreng hangat, sebatang rokok serta segelas kopi hitam panas begitu terperanjat kaget "suara apa ituuu"...bibirku spontan berucap, lalu mencari dimana sumber suara itu berasal. 

Aku yang sedang duduk, langsung bergegas menuju lokasi kejadian, awalnya hanya untuk melihat saja, orang-orang dari berbagai penjuru mata angin pada datang ke lokasi kejadian, "apa yang sedang terjadi?", ternyata sudah tergeletak seorang wanita, dan tak seorangpun menghampiri apalagi menolongnya, saya seolah tergerak langsung menuju korban, dan membawanya kebahu jalan ditempat yang saya anggap aman untuk memastikan korban apakah masih hidup atau tidak, saya coba raba lengan kanannya ternyata denyut nadinya masih terasa bergetar, "oh masih hidup", bisikku.

Kejadian itu ternyata adalah awal saya mengenali dirinya, wanita perparas  cantik, berbadan tinggi, bertubuh semampai dan sedikit padat berisi, wanita itu baru saja mengalami kecelakaan, tepat di samping rumahku, motornya tersenggol sebuah mobil yang melaju kencang dari arah yang berlawanan, supir mobil sudah tahu menabrak bukannya berhenti memberikan pertolongan, malah kabur tancap gas enggak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. 

Melihat kondisi korban yang tak sadarkan diri saya tak berfikir panjang lalu membawanya ke klinik terdekat untuk di periksa dan berobat dari segala sakit yang menimpanya. Ada-ada saja ternyata "Klinik Waluya" tak sanggup menangani korban karena keterbatasan alat dan dokter jaga sedang cuti tidak ada ditempat, hingga merujuknya ke RSUD Sentosa, tak menunggu waktu saya bergegas membawa korban dengan menggunakan mobil pribadi. Sedangkan motor yang ditumpangi korban sekarang sudah diamankan oleh pihak kepolisian setempat.                                    


@@@

 

Beberapa jam setelah di Rumah Sakit korban mulai siuman, sambil mengerang menahan sakit yang menimpanya. "Ahhh"...sergerahnya. "Auwwww"...terus mengerang kesakitan. "Dimana aku", dengan terbata dan suara perlahan agak parau "tanyanya". Perlahan mata terbuka, "di RS. Sentosa" jawab dokter Beti, mbak tenang aja dulu yah, "nanti tim kami akan periksa dan berikan pengobatan terbaik buat mbak ya" lanjutnya, korban yang berbaring kepalanya sedikit bergerak sebagai tanda setuju.

Saya mencoba ikut menenangkan "tenang saja mbak", "mas ini siapa?" balik bertanya, "saya yang tadi membawa mbak dari tempat kecelakaan ke RS ini", sambil tersenyum, "oh ia" dengan suara agak berat tak jelas dan terputus, hanya gerakan bibirnya yang bisa diterka maksudnya itu, Senyuman tulus yang mampu menahan hati ini dipenjaranya.

"Pasien tabrak lari ini siapa namanya", dokter Husni yang baru datang ke ruangan menanyakan identitas korban, tak ada yang menjawab, karena semua sedang fokus pada kerjaannya masing-masing. "Abang suaminya...?" sergah dokter Husni Tawainela, sedikit membuyarkan lamunanku, saya yang sedang berdiri mematung di pinggir korban, tersentak kaget, spontan menjawab "buk..bukk...bukaan dok",  saya agak gugup, "oh, kirain abang suaminya". Kenapa bapak ada disini, saudaranya atau siapanya?, "saya yang menolongnya dok", jawab saya singkat. 'ohh"...timpal dokter Husni.

"Abang tahu gak nama korban ini siapa?", lanjut dokter Husni bertanya padaku, "enggak dok" jawabku. Coba cek identitasnya, bu mohon izin ya dokter Husni bicara pada pasien, saya akan periksa dulu identitas ibu, bibirnya tergerak dan bisa diterka jawabnya "ia dok", pelan.  

Lalu dokter Husni memerintahkan ke perawat yang lain dan mereka sigap membuka dompet kecil yang berada didalam tasnya, lalu dibuka perlahan untuk mencari identitas korban, di loket terdapat beberapa kartu, namun pencarian waktu itu hanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, berada dalam deret kartu-kartu yang lain ketemulah Kartu Tanda Penduduk KTP pasien ini, dan tertulis dengan jelas nama dikartu itu.

  • Nama                                          : Ni Wayan Novia
  • Tempat tanggal lahir          : Bali, 30 Maret 1997
  • Jenis kelamin                          : Wanita
  • Alamat                                      : Jln. Erlangga  Rt. 01/08
  •                                                       Kecamatan Gianyar Kab. Gianyar
  • Agama                                       : -
  • Status perkawinan              : Belum Kawin
  • Pekerjaan                               : PNS
  • Kewarganegaraan              : WNI
  • Berlaku Hingga                     : Seumur Hidup

@@@

Saya ingin sekali memberi kabar soal Novia kekeluarganya, namun harus ke siapa karena tak punya kontak yang bisa di hubungi, ternyata pihak RSUD Sentosa sudah menghubungi keluarga Novia lebih awal dan menyampaikan berita bahwa Novia sekarang sedang dirawat dan dokter telah memberikan perawatan yang intensif dan maksimal.   

Tak lama berselang keluarga Novia datang menjenguk ke RSUD Sentosa, tentu mereka bertanya ke dokter dan perawat perihal kejadian yang menimpa anaknya. Melihat didalam ruang Perawatan ada saya yang sedang duduk dikursi di pinggir tempat berbaring Novia, ibunya terlihat panik dengan mata memerah dan langsung bicara dengan nada tinggi, tanpa bertanya sebelumnya atau konfirmasi "kamu apakan anak saya?" belum sempat saya jawab, "kamu harus tanggung jawab, kalau ada apa-apa dengan Novia saya tak segan akan menunutut bahkan memenjarakan kamu", tidak hanya itu caci maki pun begitu deras mengalir dari bibirnya. saya tak  mampu menjawab semua cacian itu, di diamkan saja, "sudah capek nolongin anaknya dapat damprat lagi", bukanya terimakasih, gumam hatiku, ya sudahlah.

"Kamu kan pelakunya?" desak ibunya Novia padaku seolah belum puas, tak terima anaknya menderita, dan menyangka bahwa saya penyebab dari semua kecelakaan itu, memang ibu mana sih yang tega melihat anak kesayangnya berbaring kaku dirumah sakit dan kejadian itu bagai petir di siang bolong bagi orangtuanya.

Saya yang mereka anggap sebagai pelaku dari kecelakan yang menimpa Novia, menarik nafas lalu membuangnya secara perlahan menenangkan hati dan pikiran mencoba tetap tenang menguasai keadaan agar tak terbawa suasana panas penuh luapan lahar emosi, dalam diam kususun kata dengan teliti agar menjadi kalimat yang enak dikonsumsi dan tak terjadi salah paham, semuanya saya sampaikan perihal kejadian itu dari A sampai Z.

"ahh, kamu jangan berkelit", timpalnya, dengan mata mendelik, saya tetap tak percaya, ibunya tak terima bahkan semakin memuncak amarahnya, belum bisa menerima keadaan ini, "harus apa lagi yang saya sampaikan bu, sudah bicara apa adanya dan memang itu nyatanya tak dilebihkan dan kurangi", tandas saya meyakinkan.

"Ah, pokoknya saya tak terima dengan kejadian ini", kamu harus tanggung jawab, tetap saja orangtua Novia bersikukuh menyalahkan diri saya dan ingin melaporkan saya ke polisi. "Ya silahkan, kalau ibu masih tak percaya dan belum puas", jawab saya sedikit menantang.

@@@ 

Dikantor dihadapan polisi saya tak bisa bicara banyak apalagi punya kesempatan membela diri, hanya terdiam mengikuti alur yang seakan ikut menghakimi pula, "bicara pun saya pikir tak akan ada gunanya", nafas ini semakin sesak. Membisu saja dalam situasi terpojokan itu sesekali saya menarik napas panjang, waktu di BAP terus saja berjalan, bagi saya waktu terasa lamban, ingin cepat-cepat kelar dari segala masalah yang sedang menimpa.  Saya sudah pasrah dengan keadaan sekalipun argument telah di sampaikan tetap dibantahkan oleh keluarga Novia, dan saya seakan bersalah di mata mereka.

Dalam suasana yang diselimuti rasa tegang ini, polisi kemudian membuka bukti lain dari kejadian itu, dengan membedah tayangan CCTV yang terpasang dibibir jalan.

Semua keluarga Novia tak bisa mengelak dan membantahnya bahwa Novia korban tabrak lari, kemudian Polisi memutuskan saya tidak bersalah dalam kejadian itu, posisi saya hanya membantu Novia dengan membawanya ke rumah sakit untuk memberikan pertolongan dan membantu menyelamatkan nyawanya.

Setelah diputuskan tak bersalah oleh pihak kepolisian, tak basa-basi saya langsung bergegas keluar ruangan RS Sentosa meninggalkan semua yang ada, terlihat dengan ujung mata ibunya Novia tertunduk dengan muka merah padam, menahan malu karena menuduhku mentah-mentah sudah melakukan dan mencelaki anaknya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari keluarganya Novia, apapun itu saya tak peduli.

@@@

Saya bergegas pulang menuju rumah, sesampainya lalu membaringkan tubuh dikasur karena badan terasa lemas sekali, menarik napas agak panjang menatap langit-langit rumah, bayangan-bayangan di rumah sakit menghiasi lamunan, tak percaya apa yang barusan dialami, namun kantuk begitu kuat menyerang hingga mata tak mampu lagi dibukakan, alam mimpi begitu indah menemani panjangnya malam.

Seolah tak pernah ada kejadian apa-apa esok pagi saya tetap melakukan aktifitas seperti biasanya, berangkat menuju tempat kerja tanpa beban apapun, termasuk ketika saya sudah dikantor.

Waktu istirahat tiba, pak Dwi selaku manager perusahaan dimana saya bekerja memanggil, "pak ditunggu di ruangan ya" katanya, saya sedikit kaget "ada apa ya"? "perasaan saya tak pernah berbuat dosa" bisik dalam hati., pak Dwi menenangkanku. Begitu saya sampai diruangannya, "santai saja pak" Seolah tahu kalau saya agak gundah "sengaja saya panggil bapak, karena ada informasi bagus pak", seketika beban dipundak ini hilang mendengar itu, kebetulan perusahaan kita buka cabang, bapak dapat promosi jabatan, untuk menjadi kepala cabang disana, "bagaimana pak siap", "siap" jawabku tegas. Menjadi kepala cabang memaksaku pindah tempat tinggal karena jarak kantor dan rumah terlalu jauh.

@@@

Setelah kejadian kecelakaan itu dan saya dapat promosi jabatan, saya tak pernah ketemu lagi sama Novia, lagian juga Novia belum tahu dimana saya tinggal, ah sudahlah saya-kan hanya menolong, tapi bagaimanapun tetap harus diakui ternyata senyum tulusnya ketika di RS Sentosa sudah "menawan hati, senyuman yang membuat saya mabuk kepayang", saya coba buang racun di pikiran yang tak karuan itu, hah itu "hanya numpang lewat", pikirku.

Suatu hari saat saya jalan-jalan ditempat wisata menikmati suasana liburan dan mencari udara segar untuk membuang semua penat beban kerja, tak sengaja saya di pertemukan lagi sama Novia, rupanya Novia juga sedang tamasya, "Mas Hakim kan?", tanyanya. "i..ii-iiia" jawabku, rasa gugup mulai menghinggapi pertemuan itu, saltingpun terjadi, padahal saya hanya sekali bertemu waktu kejadian dan menunggu Novia di rumah sakit Sentosa sesaat setelah kecelakaan.

Novia memulai melanjutkan percakapan, "mas Hakim, pindah kemana aku cari-cari kamu lho"?, dengan membuka obrolan, Novia berusaha mencairkan suasana,  aku kan belum sempat mengucapkan terimakasih  sama mas Hakim juga permohonan maaf atas segala tuduhan keluargaku pada mas Hakim, sekali lagi mohon maaf atas segala kesalahpahaman ini.  

Saya pindah rumah Nov, "apakah hatimu juga pindah mas?", mendapat pertanyaan itu saya agak kelabakan menjawab, "ko Novia seperti itu pertanyaannya" Novia hanya tersenyum, seolah menggoda.

"Kamu maafkan kan mas?" lanjut Novia dengan santainya, saya terdiam tak menjawab, eh mas kamu ko melamun, eng..enggak ko Nov, saya mengalihkan persoalan. Saya belum bisa menjawab hanya diam.

Atas permohonan maaf dan rasa terimakasihku, bagaimana kalau kita makan siang bersama, novia menawarkan, gimana?, lanjutnya. saya hanya menganggukan kepala tanda setuju, seolah terhipnotis menuruti saja ajakan Novia.

Semenjak petemuan itu saya jadi lebih intens menjalin komunikasi sama Novia, dari pertemuan itu kembali menumbuhkan bunga-bunga liar yang seolah telah menemukan tempatnya berlabuh.  

Tak pernah terbersit dalam angan, kalau dari menolong kejadian kecelekaan itu suatu hari Tuhan ternyata menakdirkan kita bersatu merajut mahligai dan membangun asa bersama, semua itu tak pernah terbayang apalagi ada dalam programku.

Setinggi apapun standar kita tentang calon pasangan hidup, suatu hari nanti ternyata akan kalah saat kita jatuh cinta dengan seseorang dan itu terjadi tanpa alasan, seperti yang saya alami kini, karena cinta datang tanpa paksaan dari pihak manapun, mengalir bagai air.

Bila pada saat kejadian kecelekaan keluarganya mencaci maki saya habis-habisan lain halnya pada kesempatan ini semua keluarganya sepakat menyetujui kami menyatukan niat bersama. 

Serasa berada dalam sebuah cerita di sinetron semua telah tertulis, memang demikian hidup, kita hanya menjalani skenarionya, tak mampu berbuat apa-apa, gerakpun karena di gerakan, pun demikian hidup itupun karena di hidupkan. Jadi tidak ada yang mesti kita banggakan!, segala romantisme dalam hidup yang kita rasakan ini pada dasarnya hanya untuk menguji sejauh mana dan sekuat mana tingkat keimanan kita dalam menghadapainya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun