Christopher Columbus mewakili kutub yang berbeda, risiko ambisi. Di abad ke-15, ketika pengetahuan geografi masih didominasi dogma, Columbus percaya bahwa bumi itu bulat dan sebuah kapal bisa mencapai Timur bumi. Tujuan Columbus melakukan penjelajahan adalah untuk menemukan rute dari Eropa ke Asia, tetapi ia justru menemukan Amerika.
Untuk mewujudkan visinya, Columbus harus meyakinkan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand dari Spanyol untuk membiayai empat pelayaran dengan risiko kegagalan, kehilangan nyawa, dan kebangkrutan yang sangat tinggi.
Ini adalah contoh ekstrem dari keberanian risk-taking dan meyakini visi yang anti-mainstream.
Columbus mengajarkan kita tentang visi dan risiko. Dalam konteks modern, ia adalah representasi sempurna dari founder startup yang berani mengambil risiko finansial dan reputasi demi ide yang belum terbukti.
Kisahnya menantang kita, seberapa besar risiko yang kita rela ambil untuk mewujudkan visi yang mungkin akan ditertawakan orang lain?
Dilema Sentral Prinsip vs Risiko Ambisi
Dilema ini memuncak ketika kita harus memilih salah satu, seperti Ali, kita mungkin harus mengorbankan potensi keuntungan (risiko ambisi) demi memegang teguh standar etika (prinsip). Seperti Columbus, kita mungkin harus menoleransi risiko moral atau etika (risiko ambisi) demi mencapai tujuan ambisius (visi).
Dalam praktik karier, dilema ini terjadi saat kita dihadapkan pada proyek yang menjanjikan profit besar, tetapi secara etika melanggar prinsip bisnis yang sehat (misalnya, menipu konsumen) atau mengorbankan standar integritas pribadi (misalnya, korupsi dan suap).
Mereka yang Berani Mengambil Kedua Pilihan
Meskipun keduanya tampak kontradiktif, ada tokoh-tokoh yang berhasil menemukan bahwa prinsip dan resiko ini menjadi sebuah kekuatan besar.