Realitas yang dilihat generasi muda sering kali dipenuhi bukti-bukti kegagalan moral yang tidak dapat disembunyikan. Hal ini seringkali bertentangan dengan apa yang disampaikan dalam buku teoritis.
Arketipe korupsi global yang lolos hukum: kasus Panama Papers dan temuan serupa, menunjukkan bahwa elit politik dan figur berwenang global bisa secara sistematis menyembunyikan kekayaan dan menghindari kewajiban moral. Realitas ini adalah pelajaran yang menyakitkan: etika dalam teori dikalahkan oleh kekuasaan dan jaringan yang meloloskan tindakan imoral.
Kemunafikan isu global: ada pula pemimpin yang lantang beretorika tentang pentingnya penanganan perubahan iklim di forum internasional, namun di saat yang sama membuat pilihan kebijakan domestik yang mengorbankan kelestarian lingkungan demi keuntungan jangka pendek. Kontradiksi ini secara telanjang memperlihatkan kemunafikan moral pada level tertinggi.
Prioritas pragmatis di atas etika: realitas mengajarkan bahwa kekuasaan sering kali didapatkan melalui pilihan manipulatif, post-truth, atau fear mongering. Fenomena ini merusak kepercayaan generasi muda pada proses demokratis itu sendiri.
Inkonsistensi moral yang terjadi secara massal dan tersiar secara global ini yang merupakan realitas sehari-hari telah menyebabkan generasi muda kehilangan keyakinan pada janji-janji yang tertulis rapi di Buku Tekstual.
Dilema Generasi Muda: Antara Realitas dan Buku Teks
Mengapa generasi muda sering kali menunjukkan sikap sinis terhadap politik? Akar masalahnya adalah dilema kognitif yang dipicu oleh patahan antara teori dan praktik.
Buku Teks mengajarkan prinsip moral yang absolut: keadilan, integritas, dan transparansi. Namun, realitas yang dilihat oleh generasi muda seringkali berbeda.
Mereka melihat pemimpin membuat pilihan yang didorong oleh pragmatisme, kepentingan diri, atau populisme. Perbedaan antara apa yang dibaca dan apa yang dilihat inilah yang menciptakan krisis kepercayaan.
Secara psikologis, fenomena ini diperkuat oleh Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura. Bahwa pembelajaran yang paling efektif datang dari observasi dan peniruan model sosial berotoritas.
Saat seorang pemimpin, sebagai model otoritas tertinggi, menunjukkan inkonsistensi moral, Generasi muda tidak lagi percaya pada prinsip tertulis (Buku Teks), melainkan menginternalisasi perilaku fungsional yang diamati (Realitas).Â