Beban datang dan berdiam,
pada siapa yang membencinya,
pada tempat yang tak pernah disediakan,
mengikat pundak yang tak lagi tegak,
yang tak berharap mimpi kehadirannya.
Seorang bapak pulang tanpa tawa,
berlumur beban di wajahnya,
pulang tanpa kata,
ditanya pintu yang bertanya tentang angka.
Terbaca lelah dalam wajah,
beban terbahak merasa tak berdosa.
Nyanyian elegi diparodikan,
berpesta dansa dalam tarian langit,
sementara si tanah menjerit terinjak,
dari penanam yang tak pernah panen,
terpukul cangkul yang terrgadai,
oleh derunya traktor yang berlumur beban.
Seorang beban berbisik,
"Aku yang tak kau minta,
aku masa lalu yang tak pernah selesai,
aku masa depan yang takkan tiba."
Darimana beban ini datang,
yang kau sematkan padaku
agar aku tak leluasa bergerak?
Siapa sesungguhnya beban, aku atau kamu?
yang selalu menuntut,
yang harus peduli?
yang memikul,
atau yang dipikul,
tak mau pada mengaku?
Aku tahu,
kita semua memikul beban yang sama,
hanya saja, sebagian dari kita
menjual dengan senyum,
sementara yang lain
menguburnya dalam sesak.
Hingga tiba saatnya di ujung jalan,
tujuh lapis tanah yang menemani sepi.
Berharap pulang tak memikul beban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI