Mohon tunggu...
Salwa Ghaisani
Salwa Ghaisani Mohon Tunggu... mahasiswa

like to watch thriller movie

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Transformasi Sistem Moneter Internasional: Antara Hegemoni Dolar dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia

2 Mei 2025   08:46 Diperbarui: 2 Mei 2025   08:46 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam lanskap ekonomi global, mata uang bukan sekadar alat tukar, melainkan juga instrumen kekuasaan. Sistem Moneter Internasional (SMI) bukan hanya soal teknis nilai tukar, tetapi mencerminkan arsitektur kekuatan politik dan ekonomi global yang berubah-ubah. Dari sistem emas klasik, ke era Bretton Woods yang berpusat pada dolar AS, hingga kurs mengambang saat ini, setiap fase transformasi SMI membawa dampak besar bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Isu strategis yang muncul kemudian adalah bagaimana Indonesia, sebagai negara dengan keterbukaan ekonomi tinggi, dapat mempertahankan kedaulatan ekonominya dalam kerangka sistem moneter global yang cenderung tidak seimbang. Tulisan ini akan membahas dinamika transformasi SMI dan bagaimana Indonesia perlu menyikapinya dengan kebijakan yang adaptif, namun tetap menjaga kemandirian ekonomi nasional.

Dinamika Sistem Moneter Internasional: Dari Standar Emas hingga Dominasi Dolar

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dunia mengenal sistem standar emas klasik yang memberikan stabilitas nilai tukar melalui konversi langsung mata uang ke emas. Dalam kerangka ini, perdagangan dan arus modal internasional berkembang pesat karena stabilitas nilai tukar meminimalkan risiko. Namun sistem ini tidak fleksibel dalam menghadapi guncangan eksternal, terbukti ketika Perang Dunia I memaksa negara-negara besar meninggalkan konversi emas demi kebutuhan pembiayaan perang.

Pasca Perang Dunia II, sistem Bretton Woods memperkenalkan dominasi dolar AS sebagai mata uang utama dunia. AS menjadi satu-satunya negara yang menambatkan mata uangnya ke emas, sementara negara lain menambatkan nilai tukarnya terhadap dolar. Melalui International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, sistem ini menata kembali tatanan ekonomi global. Namun, sistem ini bersifat asimetris, memberikan keuntungan luar biasa bagi AS sebagai penerbit mata uang cadangan dunia.

Krisis kepercayaan terhadap dolar pada 1971 yang ditandai dengan keputusan Presiden Nixon menghentikan konversi dolar ke emas, membawa dunia ke sistem kurs mengambang. Meskipun lebih fleksibel, sistem ini membawa ketidakpastian yang lebih besar bagi negara berkembang, karena nilai tukar menjadi sangat sensitif terhadap spekulasi pasar dan aliran modal jangka pendek. 

Analisis Teori: Hegemoni Moneter dan Ketimpangan Struktural Global

Dalam memahami ketimpangan ini, teori ekonomi politik internasional memberikan alat analisis yang tajam. Perspektif neomerkantilisme melihat dominasi dolar sebagai bentuk hegemoni ekonomi, di mana AS mendapatkan privilege luar biasa untuk mencetak uang yang digunakan dalam perdagangan global tanpa harus menanggung risiko inflasi eksternal. Sementara negara-negara seperti Indonesia harus terus menjaga cadangan devisa dalam bentuk dolar demi stabilitas nilai tukar dan kepercayaan pasar.

Sementara itu, perspektif strukturalis menyoroti bagaimana institusi seperti IMF dan Bank Dunia yang lahir dari Bretton Woods berperan dalam mempertahankan ketimpangan tersebut. Negara berkembang sering dipaksa tunduk pada kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment) saat krisis, yang mengorbankan kesejahteraan domestik demi stabilitas eksternal dan pembayaran utang.

Bagi Indonesia, hal ini sangat relevan, terutama ketika menghadapi krisis 1998. Saat itu, sebagai syarat bantuan IMF, Indonesia harus menjalankan liberalisasi keuangan, pencabutan subsidi, dan pengetatan fiskal yang memperdalam resesi. Ini menjadi pelajaran penting bahwa sistem moneter global bukanlah arena yang netral, melainkan sarat kepentingan negara hegemon.

Rupiah dan Dilema Sistem Kurs

Setelah krisis, Indonesia mengadopsi sistem kurs mengambang bebas, di mana nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar. Secara teori, sistem ini memberikan keleluasaan dalam kebijakan moneter dan memperkuat daya saing ekspor saat nilai tukar melemah. Namun dalam praktiknya, sistem ini membuat rupiah sangat rentan terhadap gejolak global. Arus modal jangka pendek yang bersifat spekulatif membuat nilai tukar fluktuatif, memicu imported inflation dan tekanan terhadap neraca pembayaran.

Bank Indonesia menghadapi dilema klasik: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menguras cadangan devisa, atau membiarkan fluktuasi nilai tukar yang dapat mengganggu stabilitas harga. Dalam situasi seperti ini, BI sering menerapkan dirty floating atau intervensi selektif untuk meredam volatilitas.

Namun, sistem ini tetap menyimpan risiko struktural. Ketergantungan pada dolar dalam perdagangan dan pembayaran utang luar negeri membuat Indonesia harus terus menjaga pasokan dolar. Setiap penguatan dolar, seperti saat kenaikan suku bunga The Fed, menyebabkan tekanan besar terhadap rupiah dan pasar keuangan domestik.

Menuju Kedaulatan Ekonomi: Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

Dalam menghadapi dominasi mata uang global dan ketidakstabilan sistem kurs mengambang, Indonesia dituntut untuk membangun strategi jangka panjang menuju kedaulatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui diversifikasi mata uang dalam perdagangan internasional. Saat ini, sebagian besar transaksi perdagangan dan utang luar negeri Indonesia masih bergantung pada dolar AS, yang menjadikan perekonomian nasional sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang tersebut. Untuk itu, penggunaan mekanisme local currency settlement (LCS) dengan negara mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN menjadi langkah penting. Bank Indonesia telah memulai inisiatif ini, namun implementasinya perlu diperluas dan diperdalam agar transaksi internasional dalam rupiah dan mata uang mitra bisa menjadi alternatif yang benar-benar efektif.

Di sisi lain, penguatan pasar keuangan domestik juga menjadi prasyarat penting dalam upaya memperkuat fondasi moneter nasional. Indonesia harus membangun pasar obligasi yang likuid dan kredibel dalam denominasi rupiah agar pelaku ekonomi memiliki lebih banyak pilihan pembiayaan domestik tanpa harus tergantung pada pinjaman luar negeri dalam bentuk dolar. Selain itu, peningkatan penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) bagi eksportir, importir, dan sektor keuangan juga sangat krusial. Dengan cara ini, risiko nilai tukar dapat diminimalkan, dan pelaku usaha menjadi lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

Langkah strategis berikutnya adalah membangun cadangan devisa yang tidak hanya berbasis dolar atau surat berharga asing, tetapi juga dalam bentuk komoditas strategis. Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki peluang untuk menjadikan cadangan nikel, batu bara, atau bahkan emas sebagai bagian dari instrumen ketahanan devisa nasional. Dengan pendekatan ini, negara tidak semata-mata bergantung pada pasar keuangan global untuk menjamin stabilitas makroekonomi.

Terakhir, reformasi pada sektor fiskal dan industri juga menjadi fondasi penting dalam menciptakan ekonomi yang lebih mandiri. Mendorong substitusi impor dengan produk dalam negeri, memperkuat sektor manufaktur, dan mempercepat hilirisasi industri---terutama dalam sektor sumber daya alam, merupakan langkah jangka panjang yang dapat memperbaiki neraca transaksi berjalan. Ketika struktur ekonomi menjadi lebih berorientasi pada nilai tambah domestik, ketergantungan pada mata uang asing akan berkurang, dan nilai tukar rupiah dapat menjadi lebih stabil dan mencerminkan kekuatan ekonomi nasional yang sesungguhnya.

Penutup

Transformasi sistem moneter internasional menunjukkan bahwa nilai tukar bukan hanya refleksi dari kekuatan pasar, tetapi juga struktur kekuasaan global yang tidak simetris. Bagi Indonesia, tantangannya bukan hanya bagaimana menjaga stabilitas rupiah, tetapi juga bagaimana membangun kedaulatan ekonomi dalam sistem yang didominasi oleh negara maju dan mata uang kuat.

Dengan memperkuat posisi tawar dalam perdagangan internasional, mengembangkan instrumen keuangan domestik, serta mengurangi ketergantungan pada dolar, Indonesia dapat perlahan menata ulang posisi dalam arsitektur ekonomi global. Dalam jangka panjang, kedaulatan ekonomi adalah prasyarat bagi kemandirian bangsa dan keadilan sosial ekonomi yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun