Setelah krisis, Indonesia mengadopsi sistem kurs mengambang bebas, di mana nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar. Secara teori, sistem ini memberikan keleluasaan dalam kebijakan moneter dan memperkuat daya saing ekspor saat nilai tukar melemah. Namun dalam praktiknya, sistem ini membuat rupiah sangat rentan terhadap gejolak global. Arus modal jangka pendek yang bersifat spekulatif membuat nilai tukar fluktuatif, memicu imported inflation dan tekanan terhadap neraca pembayaran.
Bank Indonesia menghadapi dilema klasik: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menguras cadangan devisa, atau membiarkan fluktuasi nilai tukar yang dapat mengganggu stabilitas harga. Dalam situasi seperti ini, BI sering menerapkan dirty floating atau intervensi selektif untuk meredam volatilitas.
Namun, sistem ini tetap menyimpan risiko struktural. Ketergantungan pada dolar dalam perdagangan dan pembayaran utang luar negeri membuat Indonesia harus terus menjaga pasokan dolar. Setiap penguatan dolar, seperti saat kenaikan suku bunga The Fed, menyebabkan tekanan besar terhadap rupiah dan pasar keuangan domestik.
Menuju Kedaulatan Ekonomi: Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Dalam menghadapi dominasi mata uang global dan ketidakstabilan sistem kurs mengambang, Indonesia dituntut untuk membangun strategi jangka panjang menuju kedaulatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui diversifikasi mata uang dalam perdagangan internasional. Saat ini, sebagian besar transaksi perdagangan dan utang luar negeri Indonesia masih bergantung pada dolar AS, yang menjadikan perekonomian nasional sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang tersebut. Untuk itu, penggunaan mekanisme local currency settlement (LCS) dengan negara mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN menjadi langkah penting. Bank Indonesia telah memulai inisiatif ini, namun implementasinya perlu diperluas dan diperdalam agar transaksi internasional dalam rupiah dan mata uang mitra bisa menjadi alternatif yang benar-benar efektif.
Di sisi lain, penguatan pasar keuangan domestik juga menjadi prasyarat penting dalam upaya memperkuat fondasi moneter nasional. Indonesia harus membangun pasar obligasi yang likuid dan kredibel dalam denominasi rupiah agar pelaku ekonomi memiliki lebih banyak pilihan pembiayaan domestik tanpa harus tergantung pada pinjaman luar negeri dalam bentuk dolar. Selain itu, peningkatan penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) bagi eksportir, importir, dan sektor keuangan juga sangat krusial. Dengan cara ini, risiko nilai tukar dapat diminimalkan, dan pelaku usaha menjadi lebih tahan terhadap guncangan eksternal.
Langkah strategis berikutnya adalah membangun cadangan devisa yang tidak hanya berbasis dolar atau surat berharga asing, tetapi juga dalam bentuk komoditas strategis. Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki peluang untuk menjadikan cadangan nikel, batu bara, atau bahkan emas sebagai bagian dari instrumen ketahanan devisa nasional. Dengan pendekatan ini, negara tidak semata-mata bergantung pada pasar keuangan global untuk menjamin stabilitas makroekonomi.
Terakhir, reformasi pada sektor fiskal dan industri juga menjadi fondasi penting dalam menciptakan ekonomi yang lebih mandiri. Mendorong substitusi impor dengan produk dalam negeri, memperkuat sektor manufaktur, dan mempercepat hilirisasi industri---terutama dalam sektor sumber daya alam, merupakan langkah jangka panjang yang dapat memperbaiki neraca transaksi berjalan. Ketika struktur ekonomi menjadi lebih berorientasi pada nilai tambah domestik, ketergantungan pada mata uang asing akan berkurang, dan nilai tukar rupiah dapat menjadi lebih stabil dan mencerminkan kekuatan ekonomi nasional yang sesungguhnya.
Penutup
Transformasi sistem moneter internasional menunjukkan bahwa nilai tukar bukan hanya refleksi dari kekuatan pasar, tetapi juga struktur kekuasaan global yang tidak simetris. Bagi Indonesia, tantangannya bukan hanya bagaimana menjaga stabilitas rupiah, tetapi juga bagaimana membangun kedaulatan ekonomi dalam sistem yang didominasi oleh negara maju dan mata uang kuat.
Dengan memperkuat posisi tawar dalam perdagangan internasional, mengembangkan instrumen keuangan domestik, serta mengurangi ketergantungan pada dolar, Indonesia dapat perlahan menata ulang posisi dalam arsitektur ekonomi global. Dalam jangka panjang, kedaulatan ekonomi adalah prasyarat bagi kemandirian bangsa dan keadilan sosial ekonomi yang berkelanjutan.