Untuk menjawab tekanan publik atas krisis iklim, muncul istilah yang disebut green capitalism, yakni upaya untuk membuat ekonomi tetap tumbuh sambil terlihat "ramah lingkungan". Contohnya adalah perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi pada energi terbarukan, menjual produk berlabel "eco-friendly", atau membuat iklan tentang kepedulian terhadap planet.
Namun, banyak kritik menyebutkan bahwa ini hanyalah bentuk greenwashing atau usaha untuk menutupi praktik bisnis eksploitatif di balik citra ramah lingkungan. Marxisme melihat fenomena ini sebagai bagian dari strategi kapitalis untuk mempertahankan legitimasi sistem, sambil tetap memanfaatkan alam dan tenaga kerja untuk akumulasi modal.
Penggunaan teknologi hijau seperti mobil listrik atau energi surya memang penting, tetapi jika tetap dilakukan dalam kerangka ekonomi pasar bebas dan keuntungan maksimal, maka akar permasalahan tidak pernah tersentuh. Produksi besar-besaran tetap terjadi, eksploitasi tenaga kerja masih berjalan, dan ketimpangan tetap melebar.
Marxisme dan Jalan Alternatif
Marxisme tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga pandangan alternatif tentang bagaimana dunia bisa diatur secara lebih adil dan berkelanjutan. Dalam kerangka ini, solusi terhadap krisis iklim tidak cukup hanya melalui perubahan gaya hidup individual atau teknologi hijau. Yang dibutuhkan adalah transformasi struktural, yakni perubahan sistem produksi, distribusi, dan kepemilikan.
Beberapa prinsip Marxis yang bisa dijadikan dasar perubahan antara lain:
Salah satu tawaran penting dari Marxisme dalam menjawab krisis iklim adalah gagasan tentang sosialisasi alat produksi. Dalam kerangka ini, sumber daya alam dan alat produksi tidak boleh menjadi milik segelintir korporasi yang hanya mengejar keuntungan. Sebaliknya, pengelolaannya harus berada di tangan masyarakat secara kolektif. Dengan kepemilikan yang bersifat sosial, proses produksi dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan nyata manusia dan menjaga kelestarian lingkungan, bukan sekadar untuk memaksimalkan laba. Sosialisasi ini memungkinkan terciptanya kontrol demokratis atas keputusan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan keberlangsungan bumi.
Prinsip kedua yang diajukan adalah pentingnya perencanaan ekonomi yang demokratis. Marxisme menolak pandangan bahwa pasar bebas adalah mekanisme terbaik dalam mengatur ekonomi. Sebaliknya, sistem produksi dan distribusi harus dirancang melalui partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, perencanaan ekonomi dilakukan secara demokratis, di mana rakyat dapat menentukan prioritas pembangunan seperti transisi ke energi terbarukan, penguatan pertanian berkelanjutan, serta penyediaan transportasi publik yang ramah lingkungan. Melalui mekanisme ini, kebutuhan sosial dan ekologis dapat diseimbangkan, dan keputusan ekonomi tidak lagi didominasi oleh kepentingan pemilik modal semata.
Selain itu, Marxisme juga menekankan pentingnya keadilan iklim global sebagai bagian dari solusi struktural. Negara-negara maju yang selama berabad-abad membangun industrinya dengan merusak lingkungan, memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk memberikan dukungan kepada negara-negara berkembang. Dukungan ini tidak hanya dalam bentuk dana adaptasi dan mitigasi, tetapi juga transfer teknologi serta penghapusan utang yang membelenggu banyak negara di Global South. Keadilan iklim berarti mengakui ketimpangan sejarah dan mengupayakan reparasi nyata terhadap mereka yang paling terdampak, tetapi paling sedikit berkontribusi pada krisis ini. Inilah wujud solidaritas internasional yang tak bisa dilepaskan dari analisis kelas dan sejarah kolonialisme yang dikritik oleh Marxisme.
Penutup: Dari Kritik Menuju Aksi
Krisis iklim bukanlah takdir alamiah. Ia lahir dari sistem yang menempatkan keuntungan di atas keberlangsungan hidup manusia dan alam. Marxisme menunjukkan bahwa jika akar persoalan terletak pada struktur ekonomi kapitalis, maka solusi sejati pun harus menyasar perubahan fundamental pada sistem itu sendiri.