Seperti saat bertemu dengan tiga pendaki di dekat pos dua, kami pun saling menyapa dan menanyakan asal masing-masing dan ternyata mereka dari tangerang, semuanya masih pendaki lokal.
Trak dari pos tiga menuju pos empat semakin mendekati puncak, arenanya juga makin sulit dan sempit juga curam. Tapi keindahan pemandangannya juga sebanding, apalagi di pos tiga itu kita bisa menemukan banyak bunga Kantung Semar.
Akhirnya, saya menyadari satu hal bahwa kepuasan  mendaki gunung itu bukan saat kita berhasil mencapai puncak, tapi perjalanan (proses) mencapainya itu. Lelah yang terbayarkan, keringat yang bercucuran, tubuh yang seakan remuk redam hingga berkali-kali terjatuh di jalan yang terjal, membuat saya malah merasa lebih senang lagi.
Namun, jika hanya puncak yang jenengan nikmati, mungkin panjenengan belum selesai menaklukan ego sendiri. Terlebih sepanjang perjalanan pulang saya berkali-kali bertemu dengan ragam orang yang berbeda. Ada yang sama ramah dan akrabnya. Sehingga saling bertukar semangat bahkan nomor ponsel untuk kemudian menambah tali silaturahmi dan mengagendakan pendakian bersama di kemudian hari.
Namun ada juga yang ketika saya dan kawan saya sapa hanya membalas sekedarnya, bahkan senyum saja tidak, ya mungkin mereka sedang lelah dan ingin segera mendirikan tenda.
Tapi sepanjang perjalanan itu saya berpikir, bahwa nampaknya mendaki gunung ndak cocok untuk orang yang cuekan dan apatis. Di gunung, kita tak pernah tahu apa yang akan kita hadapi, penting sekali kita saling mengakrabkan diri dengan sesama pendaki lain. Bukankah mempererat ukhuwah bisa dimana saja?
Dengan mendaki, kita akan faham esensi dari 'saudara tapi tak sedarah'. Sekian kisah pertama kali saya mendaki.
Serang, 26 maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI