"Lebih dari sekadar keseleo lidah, pernyataan kontroversi para pejabat yang melukai perasaan rakyat bisa jadi cerminan pikiran yang tidak peduli terhadap keresahan rakyat. Bukannya melayani dan memberi solusi, para pejabat justru gemar mengutip kata-kata agamis".
Satu lagi pejabat melontarkan kata-kata yang menyinggung hati rakyat, terutama guru dan para pendidik. Kali ini giliran Menteri Agama Republik Indonesia yang "berkontribusi" menyumbang kontroversi.
Mungkin memang begini konsep kabinet sekarang. Kekompakan wajib dikedepankan, termasuk kompak dalam mencederai rasa keadilan rakyat. Semoga "kekompakan" ini bukan hasil dari retret di Magelang lalu.Â
Dalam pernyataannya yang viral kemarin, Menteri Agama menyinggung soal pengabdian guru yang telah diganjar amal jariyah sehingga tidak perlu mengejar uang. Lebih lanjut menurut Menag, guru tidak sama dengan pedagang yang berorientasi uang.
Meski tak lama kemudian Menag menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf atas ucapannya tersebut, banyak kalangan guru dan masyarakat terlanjur terluka. Di media sosial ramai ekspresi protes dan kemarahan terhadap pernyataan yang kurang bersimpati pada guru dan dunia pendidikan tersebut.
Sikap Menag yang segera meminta maaf memang layak diapresiasi. Namun, lapis-lapis masalah dan kesalahan di balik pernyataannya patut dicermati karena menyiratkan banyak kegagalan, baik dalam berpikir, berucap, maupun bertindak yang menjadi "khas" pejabat Indonesia selama ini.
Pertama, pernyataan Menag kembali memperlihatkan kegagalan pejabat dalam melihat, mendengar, Â dan merasakan situasi rakyat serta bangsanya terkini.Â
Rangkaian demontrasi yang meluas di banyak daerah sejak akhir Agustus lalu berpangkal dari masalah ketidakadilan. Ketika seruan ditujukan kepada rakyat dan massa aksi untuk menahan diri, saat para pejabat dan wakil rakyat sedang didorong untuk tidak berperilaku yang melukai rasa keadilan masyarakat, pernyataan Menag justru menyimpang dari pesan dan harapan yang ingin didengar oleh rakyat.
Kita bersyukur bahwa pernyataan Menag kemarin tidak segera menjadi bahan bakar yang menyulut amarah publik yang bisa liar ditunggangi jika diekspresikan di jalanan. Mungkin karena rakyat kita sudah terbiasa mendengar ujaran pejabat yang merendahkan guru dan meminggirkan pendidikan.
Kedua, pernyataan Menag menempatkan profesi guru dan pedagang pada posisi berhadap-hadapan sekaligus bersimpangan. Itu seperti mengingkari riwayat keteladanan Nabi Muhammad Saw yang merupakan seorang pedagang sekaligus pendidik.