Untuk keperluan siaran radio waktu itu Nh. Dini menggunakan nama "Hasri". Pernah ia beralih ke "H. Dini", tapi kurang disetujui oleh orang RRI.Â
Di sisi lain ketika bertemu dengan orang baru, kadang Nh. Dini memperkenalkan dirinya dengan "Sri Hardini". Teman-teman dan orang-orang sekeliling yang bergaul sehari-hari memanggilnya "Sri", "Nik", "Har", dan "Hardini". Sedangkan keluarga dan kerabat dekat memberi panggilan sayang "Puk".
Suatu hari pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Guru yang bernama Ramuno memanggil "Dini". Namun sang pemilik nama tidak merespons karena merasa bukan ia yang dipanggil. Guru pun mengulangi panggilan dan sang pemilik nama baru mengerti arah panggilan tersebut.Â
Semenjak hari itu, mengikuti panggilan yang diberikan oleh sang guru, nama "Dini" semakin populer. Terutama di lingkungan sekolah. Sri Hardini pun mengambil keputusan.
"Mulai dari hari itu pula nama yang kupergunakan sebagai tanda tangan di bawah karangan-karanganku kuganti, menjadi Nh. Dini", ungkapnya dalam Sekayu.
Jadi kesadaran untuk memiliki nama profesional sebagai seorang penulis telah muncul sejak SMP. Dari banyak nama keakraban yang bergantian digunakan untuk memanggil, Nurhayati Sri Hardini akhirnya memilih "Nh. Dini".
**
Minggu (19/2/2023) pagi di teras rumah Sekayu saya diperlihatkan sebuah potongan kertas oleh Oeti Adiyati, keponakan Nh. Dini.Â
Itu merupakan pembatas buku yang dibuat untuk pondok baca yang pernah didirikan oleh Nh. Dini. Tanda tangannya tergores di atas pembatas buku. Sementara namanya tercetak dalam huruf kapital: "N.H. DINI".
Sekarang artikel ini saya tayangkan sebagai cerita kedelapan dari "Menemui Nh. Dini". Menarik untuk dinanti bagaimana Kompasiana akan memoderasi judul artikel ini. Apakah diloloskan tayang dengan menggunakan "Nh. Dini", "NH Dini", "N.H. Dini" atau versi lainnya lagi.