Hingga detik ini masih banyak orang yang tidak percaya adanya Corona. Sementara sebagian lainnya sangat percaya bahwa kesalehan ritual di tempat ibadah akan memberi perlindungan terhadap bahaya apapun, termasuk ancaman Corona.
Pemahaman tersebut tak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa agama harus lebih dipercaya dibanding sains. Maka ramailah kembali tempat ibadah, ramailah pengajian, dan ramailah acara-acara silaturahmi tanpa orang merasa perlu menggunakan masker. Bahkan, salat sambil menggunakan masker dianggap sesat.
Ketidakpercayaan bahwa Corona itu ada justru membuat virus ini semakin eksis. Sementara semakin banyak orang yang percaya bahwa Corona tidak berbahaya membuat Corona semakin leluasa merenggut nyawa manusia.
Kepercayaan yang ketiga ialah kepercayaan terkait relasi sosial. Banyak orang percaya bahwa saudara, kawan dekat, dan rekan kantor tidak akan menularkan virus Corona.Â
Maka di tempat kerja, di acara kelurga, dan di tempat-tempat nongkrong, orang tidak merasa terancam ketika membuka masker. Mereka merasa sangat "mengenal" serta "percaya" bahwa kerabat dan teman-temannya adalah orang-orang yang sehat.
Gambarannya jelas terlihat dari kecenderungan orang yang patuh menggunakan masker dan menjaga jarak saat berangkat dari rumah, tapi saat tiba di kantor atau di tempat tujuan, mereka segera melepas masker dan merasa aman dengan orang-orang yang telah dikenalnya. Akibatnya muncul banyak klaster keluarga dan klaster perkantoran.
Pandemi Covid-19 sebenarnya mengajari kita bahwa "terlalu percaya" pada orang terdekat justru bisa berdampak buruk. Sedangkan "tidak mudah yakin" dengan keberadaan orang lain ternyata tidak selalu buruk. Sebab dengan demikian kita bisa lebih waspada dan bisa menjaga satu sama lain.
Kepercayaan yang keempat ialah rasa percaya diri berlebihan yang diperlihatkan oleh para pemimpin di tingkat pusat dan daerah.
Kepercayaan diri yang berlebihan itu tampak pada banyak hal. Ambil contoh dalam mengizinkan acara hajatan. Banyak kepala daerah percaya diri menetapkan "boleh menggelar hajatan, asalkan mematuhi protokol kesehatan".
Padahal sangat jarang hajatan yang digelar dengan protokol kesehatan yang ketat. Kenyataannya sulit menjumpai acara hajatan di kampung-kampung di mana para tamunya diukur suhunya terlebih dahulu dan harus menjaga jarak.