Namun yang terjadi selama ini ialah kita membiarkan atap tetap bocor, sementara ember-ember tak pernah ditambah jumlah dan kapasitasnya. Bahkan, kita hanya mengandalkan kaleng bekas seadanya. Akhirnya saat hujan turun dan limpahan air dari atas tak tertampung, kita melampiaskan frustasi dengan mengutuk cuaca dan berharap semoga air meresap ke dalam tanah dengan cepat.
Pada akhirnya banjir yang berulang kali terjadi dan semakin parah kejadiannya akhir-akhir ini, bisa dimaknai sebagai kutukan dari alam untuk manusia-manusia yang hanya suka menyalahkan cuaca. Kita dikutuk dengan langganan banjir karena telah durhaka pada alam. Kita merusak alam, tapi menolak dipersalahkan atas kejadian bencana alam seperti banjir.
Kita mengeksploitasi alam, tapi balasan kita pada lingkungan amat buruk. Lalu setiap banjir melanda, dengan pongah kita menuduh cuaca sebagai penjahat utamanya, seolah kesalahan kita hanya sedikit perannya. Kita lemparkan kesalahan pada cuaca sembari mencuci dosa seolah kita tak andil dalam bencana yang terjadi.
Sementara kita dikutuk dengan banjir sebagai balasan atas kepongahan kita dalam melecehkan alam dan cuaca, kita pun dikutuk dengan ulah para koruptor yang tak pernah habis karena kita juga hanya terus menerus menyalahkan sistem.
Soal korupsi tak jauh beda sikap kita. Cukup sering terjadi saat ada pejabat tertangkap, banyak di antara kita terkejut. Ketika berulang kali koruptor dijerat oleh KPK, kita merasa tidak percaya.
Kita menganggap itu tidak mungkin. Rasanya sulit diterima bahwa mereka melakukan korupsi. Sebab mereka orang baik, sudah haji, terkenal santun, suka menolong, dan berprestasi.
Disadari atau tidak, sikap kita yang demikian telah membuat koruptor berkurang beban rasa bersalahnya. Sebab ternyata kita tetap membela mereka atas pertimbangan masa lalu. Kita mudah iba sekaligus gampang percaya bahwa jika seseorang di masa lalu berbuat baik, maka selamanya ia akan mulia dan tak ada cela. Nyatanya, hampir semua koruptor dikenal sebagai orang baik dan santun sebelum kejahatan korupsinya terbongkar.
Paling kentara ialah dalam kasus yang menjerat Gubernur Sulawesi Selatan saat ini. Sejak penangkapannya hingga hari ini banyak kita jumpai reaksi para tokoh yang kaget dan tak percaya sang gubernur melakukan korupsi.
Kalau hanya kaget tentu wajar dan bisa dimaklumi. Akan tetapi kekagetan itu diikuti oleh sikap yang persis sama ketika kita menyalahkan cuaca sebagai biang kerok banjir. Hampir kompak, para tokoh dan banyak orang dengan enteng menyalahkan sistem sebagai penyebab korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan.
Menggelikan bahwa dengan selalu menyalahkan sistem, kita justru telah bersikap toleran terhadap perbuatan korupsi. Kita menutup mata bahwa pelaku korupsi adalah manusia yang memiliki kuasa penuh atas kehendak dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dibekali pikiran dan kemampuan nalar untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Dengan kemampuan itu manusia menjadi makhluk paling bebas di muka bumi ini. Manusia bukan hanya bebas dan independen terhadap dirinya sendiri, tapi juga mampu mengatur apa yang ada di sekitarnya.