Mulai hari ini protokol kesehatan hanya kata-kata. Segala aturan mengenai pembatasan aktivitas keramaian diberlakukan suka-suka.
Mulai hari ini ancaman pandemi hanya hiasan di spanduk yang boleh dirobek kapan saja. Sebab hari ini kita melihat negara dan aparatnya telah menjadi pelayan yang baik hati.
Melayani dengan banyak. Diawali dengan menghibahkan seruas jalan raya sebagai tempat berpesta.
Jalan milik umum. Namun, demi prinsip melayani diberikan saja kepada yang mulia sebagai area privat. Boleh ditutup sesuka hati. Bisa dipasangi tenda pribadi. Pokoknya untuk yang mulia segalanya akan difasilitasi.
Pesta di tengah pandemi tidak apa-apa. Asal dilakukan oleh yang mulia. Tidak apa-apa berkerumun tanpa jaga jarak. Asal berbau agama, malah mendatangkan manfaat.
Semakin keras doa, apalagi dilakukan oleh keturunan nabi, malah berguna. Semakin banyak massa, semakin takut Corona, semakin takut pula aparat.
Kalau mau berkerumun hubungi saja negara. Niscaya aparat akan datang membantu. Menghadiahkan masker dan hand sanitizer. Dan kalau perlu dibantu pula pengamanannya. Lalu lintasnya diatur agar segalanya lancar tanpa hambatan.
Tak ada hukuman pembubaran karena negara dan aparat melayani dengan ikhlas. Beda ceritanya kalau razia kepada pedagang di pasar dan masyarakat di jalan. Mereka layak didenda dan pantas dihukum.
Bagi yang mulia, aturan itu tidak diperlukan. Protokol kesehatan silakan dilakukan. Tapi kalau tidak pun tidak apa-apa.
Pemimpin satgas bencana melakukan konfrensi pers. Mengatakan kalau acara keramaian sangat berisiko. Membawa-bawa nama Tuhan. Tampak meyakinkan. Tapi ternyata ikut melayani juga.
Bukannya dicegah, pesta justru difasilitasi. Bukannya dibubarkan dan diberi pelajaran, pesta corona itu malah dibuat semakin nyaman. Namanya juga tugas negara dan aparat yang sudah semestinya melayani yang mulia.
Tidak masalah yang mulia sering menghina Pancasila dan para bapak bangsa. Ucapan yang mulia adalah bunyi-bunyian yang indah.
Tidak masalah yang mulia sering menghina agama-agama. Yang penting yang mulia punya massa mayoritas. Itu adalah berkah dan aparat tidak berani melawan yang mulia. Takut kualat.
Di dalam istana, sang pemimpin tertinggi berkali-kali marah. Ia marah karena birokrasinya lamban. Marah karena para pembantunya tak punya kepekaan terhadap krisis. Mengancam akan mengganti pembantunya yang tak becus.
Tapi ia hanya bisa marah. Tak pernah serius menyingkirkan yang lamban dan tak becus itu. Jangan-jangan bukan hanya pembantunya yang tak punya "sense of crisis", tapi pemimpin itu pun tak jauh beda.
Katanya dulu, "Lima tahun ke depan sudah nggak ada beban, yang terbaik akan saya lakukan". Katanya lagi pada suatu hari siap memecat menteri dan membubarkan lembaganya yang tak cakap.
Tapi itu katanya. Tak seiya sekata dengan kenyataannya.
Pandemi adalah ancaman nyata. Protokol kesehatan tidak bisa ditawar-tawar. Tapi itu katanya. Hanya ditujukan kepada orang-orang di pasar, di jalanan, di pabrik-pabrik dan di warung-warung makan.
Kalau di hajatan pesta yang mulia, apalagi dibarengi doa-doa yang membuncah ke langit, aturan hanya kata-kata. Hukum tak berlaku.
Sekarang masa pandemi. Tempat-tempat ibadah hanya boleh diisi separuhnya saja. Tapi demi yang mulia, boleh disesaki. Kalau perlu ditambah lagi tenda di luar.
Sekarang masa pandemi. Restoran dan warung yang buka penuh dan makan tanpa jaga jarak akan didenda dan ditutup. Tapi kalau untuk yang mulia, hajatan dan makan besar tentu boleh dilayani sampai puas.
Sekarang masa pandemi. Liga sepakbola jelas kharam. Kecuali kalau yang mulia dan pengikutnya ikut turun main sepak bole di jalan. Maka itu dibolehkan. Negara dan aparat siap melayani.
Sekarang masa pandemi. Bahaya sekali kalau berpesta. Tapi kalau untuk yang mulia, pesta malah bisa mendatangkan manfaat karena diisi lantunan dari sang keturunan nabi. Kalau perlu jalan di depan sana ditutup lagi untuk menampung jamaah yang setia. Kalau masih kurang akan disiapkan jalan tol yang lebih lega.
Cukup bilang saja pada pak Gubernur. Sebab pak Gubernur juga pecinta yang mulia. Sebab pak Gubernur ingin balas jasa.
Mulai hari ini para pemimpin hanya akan melayani yang mulia. Tanggung jawab pada keselamatan rakyat nomor dua, tiga, dan empat.
Mulai hari ini kalau kena razia masker dan ditilang di jalan, cukup katakan, "saya pecinta  yang mulia habib". Niscaya aparat akan mengerti lalu menghadiahkan masker dan hand sanitizer. Kalau beruntung ditambahi uang saku untuk berangkat umroh.
Pokoknya, negara dan para pemimpin negeri ini siap melayani tanpa beban.
Baca juga: Indonesia Lebih Takut Massa Ulama Dibanding Corona