Minggu, 20 Oktober 2019, saya berjalan-jalan lagi di Car Free Day (CFD) Â Kota Solo, Jawa Tengah yang membentang di Jalan Slamet Riyadi. Saya selalu merasa segar dan antusias menyusuri kawasan ini pada Minggu pagi.
Meski sepanjang itu pula saya harus menjumpai satu potret yang memprihatinkan. Di depan sebuah hotel, menempati ruas trotoar yang lebar, tergelar sebuah lapak yang menjajakan buku-buku dari penulis terkenal, best seller, hingga judul-judul terbaru.
Tak jarang  pengunjung CFD yang tertarik kemudian menghampiri. Tentu saja jika ada kecocokan, transaksi jual beli bisa terjadi dan buku pun berpindah tangan.
Buku Bajakan di Ruang Publik
Lalu apa yang memprihatinkan dari pemandangan semacam itu? Bukankah hal bagus ada penjual buku di ruang publik seperti CFD yang bisa menarik pembeli?
Memang semestinya demikian. Masalahnya, buku-buku yang dijual adalah buku bajakan. Tidak sulit untuk menilai keaslian buku-buku itu. Dulu ketika pertama kali menjumpainya saya segera bisa mengenalinya sebagai buku bajakan berdasarkan rupa sampul, jilid, dan dimensi bukunya.
Keberadaan lapak buku bajakan di ruang publik seperti ini merupakan sebuah potret kelam dunia buku di Indonesia yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Paling tidak itu memperlihatkan bahwa buku bajakan di negeri ini diedarkan dan diperjualbelikan secara luas dan leluasa.
Penjualan buku bajakan secara terangan-terangan tanpa tersentuh penegakan hukum seperti di CFD Solo merupakan kenyataan yang buruk. Sedangkan di antara konsumen buku bajakan pastilah ada yang tahu bahwa buku-buku yang harganya sangat murah itu adalah produk ilegal. Namun, bagi mereka yang penting adalah keinginan untuk membeli dan minat untuk membaca. Itu dianggap sudah cukup positif meskipun buku-buku bacaannya adalah bajakan.
Dengan demikian daya rusak buku bajakan bukan saja menyangkut pelanggaran hak kekayaan intelektual atau hak cipta, tapi juga pada kerusakan moralitas publik terkait penyimpangan sikap serta cara pandang masyarakat.
Marketplace Indonesia Mendukung Pembajakan Buku?
Rusaknya moralitas publik oleh pembajakan buku sangatlah ironis karena di tengah minat baca masyarakat Indonesia yang masih kurang, ternyata buku bajakan laris manis. Tak diketahui angka pasti jumlah buku bajakan dan nilai penjualannya. Lagipula mana ada catatan resmi untuk kegiatan ilegal?
Buku-buku bajakan membanjiri sejumlah marketplace besar di Indonesia. Cobalah menjelajahi Bukalapak, Tokopedia, dan Shopee. Ketik sembarang buku yang populer di kolom pencarian, maka besar kemungkinan produk-produk bajakannya akan menyeruak dan bahkan mendominasi.
Tentu saja penjual buku bajakan tidak akan menuliskan keterangan "buku bajakan" pada produk yang dijual. Sebagai gantinya, mereka menyebutkan keterangan "non ori", "repro", atau "copy-an". Tidak perlu diulas lebih jauh karena semua label samaran itu menunjukkan hal yang sama, yakni "bajakan".
Jangan kaget juga jika produk terlaris dan terpopuler yang terpampang di halaman depan aplikasi Shopee adalah buku bajakan. Jangan terkejut jika banyak penjual buku bajakan mendapat predikat "Star Seller" di Shopee, "Super Seller" dan "Good Seller" di Bukalapak, serta "Power Merchant" di Tokopedia.
Itu memperlihatkan betapa buku bajakan dan penjualnya mendapatkan tempat istimewa di markeplace yang selama ini kita banggakan. Marketplace telah menjadi tempat paling aman sekaligus paling menguntungkan bagi para penjual buku bajakan.
Ambil contoh sebuah laporan saya di Bukalapak bernomor 16911511 yang sudah lebih dari 2 minggu sejak tanggal 14 Oktober 2019 tidak ditangani secara serius. Pelaporan melalui customer service Bukalapak hanya menjadi uji kesabaran dengan tanggapan yang justru memperkuat indikasi bahwa marketplace "mentoleransi" pembajakan buku. Dari waktu yang semula dijanjikan 4x24 jam, kemudian terus diperpanjang dan sampai detik ini penjual dan buku bajakan yang saya laporkan masih terpampang di Bukalapak.
Ketika saya menguji pelaporan yang saya buat, customer service Shopee justru menanyakan gelar pendidikan dan relasi saya. Respons semacam itu tentu tidak relevan dan hanya memperlihatkan cara-cara untuk menutupi kelemahan marketplace. Shopee tidak serius membasmi peredaran buku bajakan di lapak online mereka. Sebaliknya, penjual buku bajakan tetap eksis dan buku bajakan semakin laris.
Sikap marketplace yang menutup mata pada banjir buku bajakan di lapak online tentu layak dicurigai. Apakah marketplace-marketplace tersebut mendukung pembajakan buku?
Satu hal yang pasti pembiaran oleh marketplace telah memperparah kerusakan moralitas publik. Lama kelamaan masyarakat akan menganggap bahwa penjualan buku bajakan adalah praktik legal karena berlangsung di marketplace yang legal. Konsumen akan menganggap bahwa membeli buku bajakan adalah sah dan tidak melanggar apapun karena marketplace tempat mereka membeli adalah marketplace terkenal.
Sampai di sini sudah jelas terjadi kerusakan peradaban dan kebudayaan yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat hukum semestinya memiliki bersikap peduli dan tegas dalam menangani bisnis buku bajakan yang semakin subur.