Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengalaman dengan Ojek Daring, Dari Ponsel Terbanting hingga Kurang Tidur

13 September 2018   14:27 Diperbarui: 16 September 2018   18:20 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ojek online (dok. pri).

Kian hari, rasanya kian sering saya memanfaatkan jasa transportasi online berbasis aplikasi. Entah itu Go-Jek, entah itu Grab. Baik layanan ojek sepeda motor, taksi, maupun pemesanan makanan.

Sejak pertama kali menggunakannya pada 2015, ada beberapa "pengalaman jalanan" yang saya alami dan rasakan saat menumpang ojek atau taksi online. Sebagian dari pengalaman itu menghadirkan perenungan atau kesan lainnya yang membekas di ingatan. Berikut ini adalah dua di antaranya.

Peristiwa yang pertama baru terjadi tiga hari yang lalu saat saya memesan GrabBike.

Tidak ada alasan khusus untuk menentukan apakah harus menggunakan Grab atau Go-Jek.

Kebetulan saat itu saldo GoPay saya tidak cukup, sementara saldo Ecash di aplikasi Grab masih lebih dari cukup. Dengan demikian menumpang Grab sore itu saya anggap lebih praktis.

Pengemudi Grab yang saya pesan tiba tidak terlalu lama. Dengan sepeda motor jenis matic, kami menempuh perjalanan.

Tapi belum lama melaju terjadi peristiwa yang lumayan membuat saya terkejut. Saat melintasi Jalan Persatuan kampus UGM, ponsel atau smartphone milik sang pengemudi tiba-tiba terjatuh.

Mengetahui hal itu saya spontan menepuk pundak pengemudi sambil berkata agak keras, "hapenya jatuh, Pak!".

Bukan tanpa sebab ponsel itu terjatuh dan terbanting. Polisi tidur yang melintang di Jalan Persatuan rupanya menghentak laju sepeda motor. Hentakan yang keras membuat smartphone yang semula tertempel di kaca speedometer terlepas dari perekat yang sepertinya sudah kehilangan daya rekatnya.

Setelah mengambil ponselnya yang jatuh, pengemudi Grab langsung memeriksanya. Untunglah smartphone tersebut masih bisa dihidupkan dan tetap berfungsi. Sekilas saya tidak melihat ada kerusakan fisik di bagian luar.

Meski reaksi pengemudi Grab itu terkesan biasa, tapi dari raut mukanya saya melihat ada sesal dan cemas. Hal yang wajar karena smartphone yang terjatuh, apalagi di jalan raya, sangat mungkin mengalami kerusakan berat atau bahkan hancur terlindas oleh kendaraan lainnya.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Saat pengemudi berusaha untuk menempelkan lagi ponselnya ke kaca speedometer, buru-buru saya menyarankan untuk menyimpannya ke saku atau tas. Jika hanya untuk keperluan melihat GPS dan panduan rute, saya sudah hafal.

Sambil meneruskan perjalanan, bapak pengemudi Grab tiba-tiba bercerita. Barangkali hal itu ia lakukan untuk melepaskan kecemasan dan rasa sesalnya setelah ponselnya terjatuh.

"Saya sudah habis satu hape kaya gini, Mas", ucapnya di atas laju sepeda motor.

Saya segera menangkap maksudnya. Kejadian jatuhnya ponsel saat sedang berkendara bukan pertama kali ia alami.

Pada kejadian sebelumnya ia mendapat nasib sial karena ponselnya jatuh tidak bisa digunakan lagi alias rusak total. Ia pun harus membeli ponsel lagi agar bisa terus menjadi tukang ojek online.

"Ini sudah yang lebih kecil. Yang dulu agak besar jadi agak susah ditempel", tambahnya. Mungkin yang ia maksud susah ditempel adalah ditempel di kaca speedometer.

Saat mendengarkan ia bercerita,  ingin rasanya saya menanggapinya dengan berkata, "Besar atau kecil ponsel  sebaiknya tidak ditempel di kaca speedometer karena sangat mungkin akan jatuh".

Tapi itu tidak saya ucapkan demi menjaga perasaannya. Lagipula saat itu ia sudah tidak menempelkan ponselnya. Mungkin ia menuruti saran saya sesaat setelah ponselnya terjatuh di Jalan Persatuan. Mungkin juga ia insaf saat mengingat ponsel lamanya dulu yang barangkali juga jatuh dan rusak akibat kesalahannya sendiri menempel ponsel di kaca speedometer.

Meski peristiwa ini sudah lewat beberapa hari, tapi hingga sekarang saya masih terusik dan sedikit cemas saat mengingatnya. Bagi seorang tukang ojek online, smartphone adalah aset yang paling berharga selain kendaraan yang digunakan. Tanpa benda itu ia akan kesulitan bekerja.

Smartphone itu semakin bernilai manakala ojek online telah menjadi pekerjaan utama. Maka bisa dibayangkan betapa nelangsanya apabila smartphone itu sampai rusak. Bapak itu akan kehilangan pendapatan karena tidak bisa bekerja.

Selanjutnya bukan hanya ia yang akan menderita, tapi juga anggota keluarganya yang harus dihidupi. Semoga ponsel yang jatuh sore itu benar-benar tidak mengalami kerusakan dan tidak kembali terjatuh.

Peristiwa kedua sudah berlalu lebih lama lagi. Mungkin sudah lebih dari setahun, tapi cerita perjalanannya sangat berkesan bagi saya hingga tetap melekat di benak dan ingatan.

Suatu pagi saya harus berangkat ke Bandara Adisutjipto Yogyakarta dengan jadwal penerbangan pukul 6 kurang. Untuk menuju bandara saya memesan Go-Jek pukul empat pagi.

Oleh karena hari masih sangat pagi, dingin, dan matahari pun belum bersinar, saya mendapatkan pengemudi Go-Jek yang jaraknya lumayan jauh.

Pengemudi itu berada di tempat yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat saya berada. Saya pun menunggu sekitar 15 menit sampai akhirnya seorang bapak pengemudi Go-Jek muncul di hadapan saya.

Setelah mengenakan helm dan sepeda motor mulai bergerak, saya mengucapkan permintaan. "Yang agak cepat ya, Pak". Permintaan itu kemudian agak saya sesali.

Dari obrolan selama perjalanan saya jadi tahu bahwa bapak pengemudi Go-Jek itu adalah seorang petugas keamanan di sebuah kantor di kawasan Condong Catur, Sleman.

Pagi itu saat menerima pesanan Go-Jek dari saya ia baru selesai berjaga malam. Ia menjadi tukang ojek online di luar jam kerjanya sebagai petugas keamanan untuk mendapat penghasilan tambahan.

Dari obrolan itu juga saja jadi tahu ia baru tidur sekitar 3 jam. Kenyataan itu membuat saya merasa agak bersalah karena memintanya untuk memacu laju sepeda motor lebih kencang.

Tentu ia sedang merasakan kantuk atau lelah setelah berjaga semalaman. Cukup berisiko jika harus melaju kencang karena akan membahayakan dirinya dan saya.

Menyadari hal itu saya segera memintanya untuk melambatkan laju. Toh, lalu lintas masih sepi dan dan hampir tidak pernah terjadi kemacetan yang merintangi perjalanan pada waktu sepagi itu. Tapi laju sepeda motor tidak berkurang.

Sambil melintasi Jalan Solo, sang pengemudi malah mengatakan kalau rumahnya ada di daerah Kalasan yang searah dengan rute menuju bandara. Pagi itu setelah mengatar saya ke bandara ia berkata akan pulang ke rumah.

Perasaan saya antara lega dan tidak enak hati. Lega karena ternyata sambil mengantar saya ke bandara ia bisa sekalian pulang. Kurang enak hati karena barangkali ia memilih langsung pulang agar bisa melanjutkan menyambung waktu istirahatnya.

Di kantor tempatnya berjaga tadi ia menyudahi lebih awal waktu istirahatnya demi menerima pesanan Go-Jek saya.

***

Selain dua peristiwa di atas, masih ada beberapa pengalaman lain yang berkesan. Kesan yang kemudian mengubah cara saya mengapresiasi pengemudi ojek online.

Dulu saya jarang sekali memberikan bintang 5. Keputusan itu dilatarbelakangi oleh pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan. Mulai dari pengemudi yang datang terlalu lama padahal di aplikasi lokasinya sangat dekat, pengemudi yang tidak hafal jalan, pengemudi yang meminta pembatalan dengan alasan masih di toilet, makanan yang tidak sesuai pesanan, hingga pengemudi  yang membelikan makanan lain yang lebih murah tapi memotong saldo GoPay dengan harga yang lebih mahal.

Namun, pengalaman-pengalaman yang muncul belakangan saya berjumpa dengan beberapa pengemudi ojek online yang mengundang simpatik.

Selain pengemudi yang harus kehilangan ponselnya dan penjaga malam yang menerima pesanan di waktu istirahat, pernah juga saya menumpang pengemudi yang setiap hari berangkat dari rumahnya di Wates dan Magelang menuju Yogyakarta.

Saya pun pernah  terpaksa membatalkan pesanan karena semua menu yang saya pesan ternyata sudah habis dan saya tidak berniat menggantinya dengan menu yang ada.

Hal yang berkesan adalah si pengemudi ojek online melalui telpon tidak keberatan saya membatalkan pesanan meski ia sudah berada di tempat penjual.

Hal-hal semacam itulah yang membuat saya lebih berkeinginan untuk memberikan bintang 5 dengan sesekali menambahkan uang tip dan mengisi saldo GoPay langsung kepada pengemudi. Semua itu bukan karena iba, tapi apresiasi sewajarnya kepada orang-orang yang telah memudahkan saya.

Kiranya apresiasi maksimal itu bisa sedikit mengurangi keterusikan hati saat mengetahui tukang ojek online yang mengantar saya adalah orang yang harus kehilangan ponselnya akibat jatuh di jalan atau orang yang sebenarnya sedang kelelahan tapi saya memintanya melaju lebih cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun