Penggemar sepak bola di seluruh dunia sedang merayakan hari rayanya saat ini. Rusia menjadi pusat perayaannya.
Tapi Piala Dunia di mana saja dan kapan saja adalah pesta bagi seluruh umat. Di Indonesia, meskipun pengalaman menunjukkan siaran langsung Piala Dunia seringkali tayang di waktu-waktu yang "berat" untuk membuka mata dan bahkan pernah berlangsung di jam-jam kerja, orang Indonesia tetap menjadi penggemar sejati Piala Dunia.Â
Euforia dan antusiasmenya mengalir hingga ke desa-desa dan kampung-kampung, menulari siapapun, tak terkecuali anak-anak.
***
Selasa (19/6/2018) malam, Dimas, pelajar kelas 1 MAN Purbalingga duduk di pos ronda tak jauh dari persimpangan jalan raya Desa Brobot, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Bersama temannya, Kiki, yang masih duduk di bangku SMP ia menyaksikan laga Piala Dunia 2018 antara Jepang melawan Kolombia dari layar TV berukuran 14 inch yang ada di pos ronda.
"Aku jagoin Brasil, mas", kata Dimas menjawab pertanyaan saya. Meskipun malam itu bukan Brasil yang bertanding, tapi ia tetap menonton.
Beberapa menit kemudian tiga orang temannya, yaitu Hanif, Ayub, dan Zoya, datang lalu ikut bergabung. Suasana pun semakin menghangat. Apalagi, masing-masing dari mereka memiliki tim favorit yang berbeda.Â
Selain Dimas yang menggemari Brasil, Hanif menyukai Inggris karena sering menonton Liga Inggris. Sementara itu, Ayub yang saat saya tanya siapa pemain favoritnya, kemudian menjawab Christiano Ronaldo, tak perlu diungkap lagi siapa tim yang ia jagokan.Â
Hanya Kiki dan Zoya yang sepakat untuk menjatuhkan hati pada tim yang sama, yakni Argentina. Itu pun alasannya mudah ditebak. Mereka berdua telah lebih dulu tersihir Messi dan Barcelona.
![Euforia Piala Dunia menular kepada anak-anak yang menonton siaran langsung pertandingan Kolombia melawan Jepang melalui layar TV di pos ronda pada Selasa (19/62018) malam (dok. pri).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/26/20180619-201533-fotor-5b31eb29cf01b46e7962b456.jpg?t=o&v=770)
Demikian pula saat ada tendangan bebas. Mereka saling menebak apakah tendangan bebas itu akan masuk atau tidak. Juga terdengar tebak-tebakkan siapa yang akan jadi pemenang malam itu. Jepang ataukah Kolombia.
Menonton pertandingan Piala Dunia 2018 dan menyaksikan aksi pemain-pemainnya mengolah bola rupanya membuat Dimas dan teman-temannya tidak tahan untuk berkomentar tentang sepakbola negerinya sendiri.Â
Mereka membandingkan permainan tim-tim dunia itu dengan tim Indonesia. "Nggak kaya pemain Indonesia ya?", kata Ayub seolah ingin mengatakan perbedaan kualitas permainan yang sedang ditontonnya malam itu dengan tim dan pemain Indonesia.
***
Dimas dan teman-temannya memang senang dengan sepak bola. Selain memainkannya di lapangan desa, mereka pun sering menonton pertandingan melalui TV di rumah atau melihat cuplikan melalui Youtube.
Pada Piala Dunia kali ini mereka lebih suka menonton bersama. Pos Ronda mereka pilih sebagai tempat menonton karena lokasinya berada di tengah desa dan tidak jauh dari rumah mereka. Selain itu, dekat dengan masjid dan yang penting ada TV di sana. Sekalian berkumpul dan bermain mengisi waktu liburan.
Selepas Maghrib atau Isya di masjid mereka langsung menuju pos ronda. Ada juga yang pulang lebih dulu untuk makan malam atau berpamitan kepada orang tua dan setelah itu menyusul ke pos ronda.
Menurut Dimas, ia diizinkan bermain di pos ronda pada malam hari karena orang tuanya tahu ia menonton Piala Dunia bersama teman-temannya. Sekolah juga masih libur sehingga ia bisa tidur lebih malam tanpa khawatir terlambat esok harinya.
![Kiki, pelajar SMP ikut menonton pertandingan Piala Dunia yang berlangsung pada malam hari di pos ronda (dok. pri).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/26/picsart-06-19-08-fotor-5b31ecc25e137348411861d2.jpg?t=o&v=770)
Siaran-siaran langsung ditayangkan di televisi pada jam yang lebih nyaman dan bisa disaksikan setelah jam-jam sibuk. Memang ada pertandingan yang lebih malam, tapi bisa ditonton sambil beristirahat. Dan, yang menyenangkan bagi anak-anak penggemar sepak bola adalah Piala Dunia kali ini bertepatan dengan hari libur sekolah dan lebaran.Â
Itulah yang membuat Dimas dan teman-temannya bisa keluar rumah dan menonton bersama pada malam hari. Orang tua mereka memaklumi dan memberikan kelonggaran.
Meskipun demikian, Dimas dan teman-temannya mengerti waktu. Aktivitas berkumpul dan nonton bersama di pos ronda mereka sudahi sebelum pukul 22.00 atau saat siaran langsung pertandingan pertama berakhir.Â
Setelah itu pos ronda diambil alih oleh orang-orang dewasa dan para bapak yang juga menonton siaran langsung Piala Dunia sambil melaksanakan siskamling hingga dini hari.
***
Malam itu saya bergabung bersama Dimas dan teman-temannya menonton Jepang melawan Kolombia selama sekitar 40 menit. Menyaksikan sebentuk antusiasme terhadap Piala Dunia dalam diri Dimas dan teman-temannya, sempat muncul pertanyaan dalam hati.Â
Adakah mereka menyimpan mimpi bisa menyaksikan tim merah putih di pertandingan Piala Dunia?
![Kacang Garuda, teman menikmati pertandingan piala dunia 2018 (dok. pri).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/26/img-20180616-215412-hdr-fotor-5b31e9d8bde57516ce6aa4c2.jpg?t=o&v=770)
Namun, sekalipun bagi Indonesia pentas Piala Dunia masih sebatas mimpi yang kelamaan, melewatkan pertandingan-pertandingan Piala Dunia jelas sebuah kesalahan. Piala Dunia tetaplah Piala Dunia. Pentas yang bukan hanya milik para kontestan yang bertanding. Piala Dunia adalah milik kita semua dan hanya ada satu pilihan, yakni merayakannya.
![Libur sekolah dan lebaran dimanfaatkan oleh anak-anak untuk menonton pertandingan Piala Dunia hingga malam hari di pos ronda (dok. pri).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/26/20180619-202348-fotor-5b31ea00ab12ae66c3511552.jpg?t=o&v=770)
Seperti yang Dimas, Kiki, Ayub, Hanif, dan Zoya lakukan, menonton melalui layar TV adalah cara sederhana namun menyenangkan untuk merayakan Piala Dunia. Dan, satu hal lagi jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda.