KRISIS IDENTITAS EKONOMI DI JAYAWIJAYA: ANTARA KEMAJUAN DAN KEHANCURAN, ANTARA PASIF DAN KRITIS
Oleh : Hun Flocky
Ditulis untuk refleksi dan advokasi
Di Persimpangan Arah dan Akar
Jayawijaya (Lembah Baliem) adalah rumah bagi tanah yang subur, budaya yang luhur, dan masyarakat yang selama berabad-abad hidup selaras dengan alam. Namun kini, wilayah ini berada di persimpangan antara mempertahankan akar atau mengejar arah baru yang belum tentu sesuai. Di tengah pembangunan infrastruktur dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), muncul satu gejala yang tak kasatmata namun sangat menentukan: cara berpikir yang terdistorsi.
Distorsi Cara Berpikir: Ketika Arah Pembangunan Tak Lagi Berakar
Distorsi ini bukan sekadar salah paham, melainkan pergeseran nilai kolektif yang membuat masyarakat---dan bahkan pemerintah---mulai mengukur kemajuan dengan parameter luar: gedung, jalan, jabatan, dan konsumsi. Beberapa bentuk distorsi yang kini tampak nyata:
Menganggap desa sebagai tempat yang harus ditinggalkan, bukan dikembangkan.
Melihat profesi petani, pengrajin, dan nelayan sebagai simbol keterbelakangan, bukan kekuatan ekonomi lokal.
Mengukur keberhasilan dari seberapa banyak bantuan diterima, bukan dari seberapa mandiri komunitas bisa bertahan.
Mengabaikan pendidikan berbasis budaya, padahal sekolah adat seperti di Sumunikama telah membuktikan bahwa identitas bisa menjadi fondasi masa depan[1].
Indikasi Distorsi dalam Masyarakat:
Generasi Muda yang Terputus dari Tanah
Banyak anak muda di Jayawijaya lebih bangga menjadi pegawai kontrak atau buruh proyek daripada mengelola kebun atau membuat noken. Padahal, Kampung Siep Kosi telah membuktikan bahwa buah naga bisa menjadi komoditas unggulan yang mengangkat ekonomi lokal[2].
Seorang wanita mengenakan pakaian berwarna-warni menampilkan kerajinan noken termasuk tas dan anyaman yang dipamerkan di depan mereka.
Normalisasi Ketergantungan
Bantuan sosial dan proyek instan menciptakan budaya menunggu. Inisiatif lokal melemah karena masyarakat terbiasa menerima, bukan mencipta.Krisis Harga Diri Profesi Lokal
Petani dan pengrajin noken mulai merasa malu dengan pekerjaannya. Padahal, Pemkab Jayawijaya sendiri mendorong ekonomi kreatif berbasis noken di 328 kampung[3].
Indikasi Distorsi dalam Pemerintahan:
Pembangunan Berbasis Simbol, Bukan Substansi
Fokus pada pembangunan fisik seperti KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan) sering kali tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas masyarakat[4].
Seorang pria di KIPP Jayawijaya sedang berbicara di depan kerumunan.
Minimnya Integrasi Kearifan Lokal dalam Kebijakan
Padahal, Wapres RI sendiri menegaskan bahwa pembangunan Papua Pegunungan harus selaras dengan kearifan lokal untuk menghindari konflik dan memperkuat penerimaan masyarakat[5].Modernisasi yang Keliru
Seperti yang dikatakan oleh Pj Gubernur Velix Wanggai, Papua Pegunungan harus menghindari modernisasi yang keliru---yakni pembangunan yang tidak kontekstual dan tidak berakar[6].
Refleksi: Antara Pasif dan Kritis
Masyarakat yang pasif akan menerima semua bentuk pembangunan tanpa bertanya: "Untuk siapa ini dibangun?" Masyarakat yang kritis akan bertanya: "Apakah ini sesuai dengan nilai kami? Apakah ini akan memperkuat atau justru menghapus jati diri kami?" Kita tidak menolak kemajuan. Tapi kita menolak kemajuan yang mencabut akar.
Penutup: Menata Ulang Pikiran, Menata Ulang Masa Depan
Papua Pegunungan tidak kekurangan potensi. Yang dibutuhkan adalah pemulihan cara berpikir ---dari pasif menjadi kritis, dari konsumtif menjadi produktif, dari bergantung menjadi berdaulat. Karena pada akhirnya, kemajuan sejati bukan soal seberapa tinggi bangunan berdiri, tapi seberapa dalam akar kita tertanam.
_Hun Flocky_
#JagaAkarKita #nyaiwerek #BaliemKritis
Referensi:
[1] Sekolah adat di Kampung Sumunikama, Kabupaten Jayawijaya resmi dibuka.
[2] Kampung Siep Kosi menjadi sentra buah naga di Papua Pegunungan.
[3] Pemkab Jayawijaya dorong ekraf 328 kampung melalui produk noken.
[4] Pemkab Jayawijaya hibahkan tanah 122,5 hektar untuk KIPP Papua Pegunungan.
[5] Wapres: Pembangunan di Papua Pegunungan berbasis pada konteks wilayah.
[6] Refleksi Velix Wanggai: Perjalanan Tahun 2024, Membangun Fondasi dan Identitas Pegunungan Papua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI