Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanah Adat Seperti Saham Emas: Strategi Kultural (Hun flocky)

3 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 3 Juli 2025   19:14 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hun flocky 

Tanah Adat Seperti Saham Emas: Strategi Kultural (Hun flocky)

Oleh: Hun flocky

Wara, Kamis 3 Juli 2025

Abstrak

Dalam kebijakan pembangunan nasional, tanah adat kerap diposisikan sebagai sumber daya potensial yang siap dikelola. Namun bagi masyarakat adat Hubula di Lembah Baliem, Papua, tanah merupakan pusaka sakral yang melekat pada sistem sosial, memori genealogis, dan spiritualitas komunitas. Artikel ini mengusulkan bahwa konsep tanah adat dalam masyarakat Hubula dapat dianalogikan sebagai "saham emas"---aset bernilai tinggi, langka, dan semakin mahal ketika tidak sembarangan dilepas. Dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh seperti Karl Polanyi, Amartya Sen, dan James C. Scott, tulisan ini menyoroti bahwa mempertahankan tanah bukanlah tindakan pasif, melainkan strategi aktif untuk menjaga kedaulatan dan arah pembangunan yang adil. Analog ini menekankan pada nilai intrinsik dan strategis tanah adat yang melampaui komodifikasi ekonomi semata, memposisikan masyarakat adat sebagai pemegang kendali atas masa depan mereka.

1. Pendahuluan

Tanah dalam pandangan masyarakat adat tidak sekadar lahan atau komoditas. Ia merupakan ruang kultural, spiritual, dan politis yang menentukan arah hidup komunitas. Bagi masyarakat Hubula, yang mendiami Lembah Baliem di pegunungan tengah Papua, tanah memiliki relasi yang tak terpisahkan dengan identitas, sejarah, dan eksistensi mereka. Sistem waris mereka yang unik, yang tidak hanya melalui jalur keturunan tetapi juga melalui jalur penguasaan teritorial yang seringkali dibuktikan melalui sejarah peperangan dan pertahanan, menegaskan betapa tanah adalah jantung dari tatanan sosial dan politik mereka.

Di tengah gelombang pembangunan nasional dan ekspansi ekonomi yang kerap mengatasnamakan kemajuan, masyarakat adat seperti Hubula sering dihadapkan pada tawaran-tawaran investasi yang tampak menggiurkan. Namun, di balik janji kesejahteraan ekonomi, seringkali tersimpan jebakan ketergantungan struktural dan hilangnya kontrol atas tanah leluhur. Di sinilah metafora "saham emas" menjadi relevan dan krusial. Tanah adat bagi masyarakat Hubula justru memperoleh nilai yang semakin tinggi dan strategis ketika ia dijaga, dikelola dengan bijak, dan tidak dilepas secara gegabah. Ini bukan tentang penolakan terhadap pembangunan, melainkan tentang kedaulatan dalam menentukan bentuk dan arah pembangunan yang selaras dengan nilai-nilai dan aspirasi komunitas.

Masyarakat adat Hubula di Lembah Baliem, Papua, menjaga tradisi dan tanah leluhur mereka.

2. Kerangka Teoretis

Pemahaman mengenai strategi kultural masyarakat Hubula dalam menghadapi tawaran pembangunan dapat diperkaya melalui lensa pemikiran beberapa tokoh kunci dalam ilmu sosial.

2.1 Karl Polanyi dan Kritik atas Komodifikasi Tanah

Karl Polanyi, dalam karyanya yang monumental The Great Transformation (1944), mengkritik keras kapitalisme liberal yang memperlakukan elemen-elemen fundamental kehidupan manusia---tenaga kerja, alam (termasuk tanah), dan uang---sebagai "komoditas fiktif." Menurut Polanyi, tanah bukanlah sekadar barang yang diciptakan untuk dijual-belikan di pasar. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sejarah, dan tatanan sosial. Ketika tanah dikomodifikasi dan dipisahkan dari konteks sosial-budayanya (fenomena yang ia sebut "disembedded economy"), maka tatanan sosial, spiritual, dan ekologis yang lebih dalam akan terancam rusak. Pendekatan ini relevan untuk melihat bagaimana tawaran pembangunan yang berfokus pada nilai ekonomi semata dapat merusak struktur sosial masyarakat Hubula.

2.2 James C. Scott dan Logika Rakyat Tertindas

James C. Scott, dalam Seeing Like a State (1998), mengemukakan bahwa negara seringkali cenderung menyederhanakan realitas sosial yang kompleks agar mudah diatur dan dikendalikan. Skema pembangunan yang terpusat dan mengabaikan pengetahuan lokal serta praktik adat seringkali gagal atau bahkan menimbulkan bencana karena tidak memahami kerumitan sistem yang ada. Bagi Scott, sistem lokal yang adaptif dan kontekstual seringkali tidak terlihat oleh kacamata negara yang mencari efisiensi dan keseragaman. Dalam konteks Hubula, praktik pembangunan yang tidak didasarkan pada persetujuan adat atau yang mengabaikan sistem kepemilikan dan pengelolaan tanah lokal dapat dilihat sebagai bentuk "invisibilisasi" otoritas adat, yang berpotensi memicu resistensi dan perlawanan kultural.

2.3 Amartya Sen dan Pilihan sebagai Kesejahteraan

Pendekatan "capability" Amartya Sen (1999) menawarkan perspektif lain yang penting. Sen berargumen bahwa pembangunan sejati bukanlah sekadar peningkatan pendapatan atau kepemilikan barang, melainkan perluasan kebebasan dan kemampuan (capabilities) individu untuk mencapai kehidupan yang mereka hargai. Kesejahteraan diukur dari apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh seseorang (functionings). Ketika masyarakat adat terpaksa melepaskan tanah mereka karena tekanan ekonomi, ketidaktahuan akan nilai jangka panjang, atau kurangnya pilihan, mereka kehilangan agensi---kemampuan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Oleh karena itu, mempertahankan tanah dapat dipandang sebagai tindakan strategis untuk mempertahankan dan memperluas otonomi memilih dan menentukan arah pembangunan yang diinginkan.

3. Tanah dan Tubuh Sosial: Perspektif Budaya Hubula

Dalam struktur sosial masyarakat Hubula, tanah bukanlah entitas yang terisolasi. Ia terjalin erat dengan relasi kekerabatan, simbolisme tubuh, dan ritual-ritual adat yang menjaga kohesi sosial. Tanah di sini adalah perpanjangan dari tubuh sosial itu sendiri, di mana nilai-nilai budaya dan identitas komunitas terwujud.

Ayah dalam struktur keluarga seringkali melambangkan garis kuasa terhadap tanah. Hak ini diperoleh tidak hanya dari keturunan, tetapi juga dari sejarah penguasaan teritorial, kemampuan mempertahankan wilayah (termasuk melalui perang adat), dan penjagaan sumber daya.

Ibu mewakili hak waris tanah yang berbasis pada garis keturunan dan asal-usul kampung. Tanah yang diwariskan melalui jalur ibu memiliki makna genealogis yang kuat, menghubungkan generasi kini dengan leluhur pendiri komunitas.

Saudari perempuan, dalam konteks relasi adat, dipandang sebagai simbol kehormatan dan nilai sakral bagi keluarga besarnya, terutama bagi saudara laki-lakinya. Ini bukan dalam arti kepemilikan, melainkan penjagaan terhadap martabat dan integrasi sosial.

Anak laki-laki () memikul beban moral dan tanggung jawab untuk menjaga kehormatan kampung. Tugas ini seringkali dianalogikan sebagai menjaga "saudari-tanah", yang berarti menjaga integritas dan keberlanjutan tanah leluhur sebagaimana mereka menjaga kehormatan saudara perempuan mereka.

Dengan demikian, menyerahkan tanah bukan hanya merupakan keputusan ekonomi atau transaksi jual-beli. Ia adalah tindakan sosial yang menyentuh inti dari tubuh adat itu sendiri, berpotensi merobek jalinan sosial, genealogis, dan spiritual yang telah terbangun berabad-abad. Keputusan ini memiliki implikasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar luasan areal atau nilai moneter.

Masyarakat Hubula melakukan ritual yang terkait dengan tanah dan adat mereka.

4. Mengapa Tanah Seperti Saham Emas?

Metafora "saham emas" digunakan untuk menangkap esensi nilai dan strategi yang dianut oleh masyarakat Hubula. Nilai suatu aset, terutama aset yang langka dan fundamental seperti tanah adat, tidak selalu terletak pada kecepatan penjualannya, melainkan pada kelangkaannya, kendali kepemilikan, dan potensi apresiasi nilainya di masa depan. Analogi ini dapat dielaborasi lebih lanjut dalam konteks Hubula:

Tanah yang belum dibuka atau dikelola secara intensif justru paling dihargai. Nilai intrinsiknya terjaga, potensinya belum tergarap oleh pihak luar, dan ia masih sepenuhnya berada dalam kontrol komunitas.

Kampung atau wilayah yang belum memberikan konsesi kepada investor besar menjadi titik perhatian utama. Daya tawar mereka tinggi karena mereka belum terikat oleh perjanjian yang mengikat.

Masyarakat yang menunjukkan kesabaran dan tidak terburu-buru dalam menerima tawaran pembangunan, seringkali mendapatkan posisi negosiasi yang lebih kuat. Mereka mampu menuntut syarat yang lebih baik atau bahkan menolak tawaran yang dianggap merugikan.

Strategi ini memperkuat gagasan bahwa masyarakat adat, dengan tetap memegang erat tanah mereka, pada dasarnya menjaga ruang negosiasi dan kemungkinan strategis, bukan sekadar menolak kemajuan secara apriori. Mereka menahan diri bukan karena ketakutan, tetapi karena pemahaman mendalam mengenai nilai sesungguhnya dari tanah mereka---nilai yang bersifat kultural, sosial, spiritual, dan strategis, yang jauh melampaui sekadar nilai pasar sesaat. Menahan tanah berarti menjaga potensi untuk menentukan masa depan sendiri.

Seorang tetua adat Hubula, simbol kebijaksanaan dalam menjaga tanah leluhur.

4. Implikasi dan Diskusi: Menjadi Investor Identitas

Analisis strategi kultural masyarakat Hubula dalam menghadapi tawaran pembangunan mengungkapkan potensi unik mereka untuk bertransformasi dari sekadar objek pembangunan menjadi subjek aktif yang mengelola aset strategis mereka. Tanah adat, yang diibaratkan sebagai "saham emas", bukan sekadar kiasan puitis, melainkan sebuah ajakan untuk menyusun strategi jangka panjang yang berpijak pada nilai-nilai budaya dan kedaulatan komunal.

Menjadi "Investor Identitas" berarti masyarakat adat memposisikan diri mereka sebagai pemegang saham utama dalam proyek-proyek yang memanfaatkan sumber daya alam atau wilayah adat mereka. Investasi mereka bukan hanya berupa lahan, tetapi juga pengetahuan lokal, kearifan ekologis, dan kohesi sosial yang telah teruji oleh waktu. Nilai dari 'saham emas' ini akan terus meningkat jika dikelola dengan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak-hak adat. Dengan demikian, mereka tidak hanya 'menjual' aset, tetapi juga berpartisipasi dalam 'memperdagangkan' masa depan komunitas mereka, dengan syarat yang menguntungkan secara holistik, tidak hanya secara ekonomi.

Strategi menjaga ruang negosiasi ini sangat selaras dengan kritik Karl Polanyi terhadap komodifikasi penuh atas alam dan tenaga kerja. Dengan tidak terburu-buru melepaskan tanah, masyarakat Hubula mempertahankan posisi tawar yang kuat, membatasi dampak negatif dari "disembedded economy" yang dapat merusak tatanan sosial mereka. Ini juga sejalan dengan pandangan James C. Scott mengenai bahaya penyederhanaan negara atas sistem lokal; dengan mempertahankan otonomi atas tanah, mereka menolak agenda penyederhanaan tersebut dan mempertahankan kompleksitas serta kekayaan sistem adat mereka.

Lebih lanjut, dari perspektif Amartya Sen, mempertahankan tanah adalah wujud nyata dari perluasan capability. Kemampuan untuk mengontrol tanah berarti kemampuan untuk menentukan cara hidup, menjaga keberlanjutan lingkungan, melestarikan warisan budaya, dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan visi komunitas. Kehilangan tanah sama dengan kehilangan kapasitas fundamental untuk membentuk kehidupan yang bermakna. Oleh karena itu, keputusan untuk menahan tanah adalah keputusan strategis yang memperkuat agensi dan otonomi masyarakat Hubula dalam menghadapi kekuatan eksternal.

Tantangan tentu saja tetap ada. Bagaimana menjaga nilai "saham emas" ini di tengah tekanan globalisasi, perubahan iklim, dan dinamika politik internal Indonesia? Bagaimana memastikan bahwa strategi ini tidak disalahartikan sebagai penolakan total terhadap segala bentuk pembangunan, melainkan sebagai tuntutan akan pembangunan yang berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta hak-hak adat? Diskusi ini perlu terus berlanjut, menggali lebih dalam bagaimana kearifan lokal dapat bersinergi dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Keberagaman budaya di tanah Papua mencerminkan kekayaan yang melekat pada tanah adat.

5. Kesimpulan

Masyarakat Hubula di Lembah Baliem menunjukkan sebuah strategi kultural yang cerdas dan bernilai dalam menghadapi arus pembangunan yang seringkali meminggirkan hak-hak adat. Dengan menganalogikan tanah adat sebagai "saham emas", mereka tidak hanya memberikan nilai ekonomi yang tinggi pada aset mereka, tetapi juga menekankan pada kelangkaan, kontrol kepemilikan, dan potensi strategis jangka panjang. Ini adalah sebuah ajakan untuk memahami bahwa nilai tanah adat tidak dapat diukur semata-mata dengan meter persegi atau rupiah, melainkan dalam ukuran martabat, kedaulatan, dan kemampuan untuk menentukan arah masa depan komunitas secara mandiri.

Pendekatan ini memposisikan masyarakat adat Hubula sebagai investor identitas yang aktif, bukan sekadar korban pembangunan yang pasif. Dengan menjaga tanah mereka seperti memegang saham emas yang berharga, mereka menahan diri dari tindakan gegabah, memelihara ruang negosiasi, dan memperkuat agensi mereka dalam menentukan bentuk pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur mereka. Pemahaman ini, yang diperkaya oleh pemikiran Polanyi, Scott, dan Sen, menunjukkan bahwa menunggu dan menjaga adalah bentuk tertinggi dari kuasa ketika dilakukan dengan kesadaran penuh akan nilai yang dimiliki.

Pada akhirnya, strategi ini bukan hanya relevan bagi masyarakat Hubula, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi upaya pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan di berbagai belahan dunia, di mana hak-hak masyarakat adat dan nilai-nilai budaya mereka harus menjadi fondasi, bukan sekadar tambahan, dalam setiap proses pembangunan.

Referensi (Singkat)

Polanyi, K. (1944). The Great Transformation. Boston: Beacon Press.

Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State. Yale University Press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

Federici, S. (2004). Caliban and the Witch. Autonomedia.

Li, Tania Murray. (2014). Land's End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier. Duke University Press.

Boellstorff, T. (2008). The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton University Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun