Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanah Adat Seperti Saham Emas: Strategi Kultural (Hun flocky)

3 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 3 Juli 2025   19:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hun flocky 

4. Implikasi dan Diskusi: Menjadi Investor Identitas

Analisis strategi kultural masyarakat Hubula dalam menghadapi tawaran pembangunan mengungkapkan potensi unik mereka untuk bertransformasi dari sekadar objek pembangunan menjadi subjek aktif yang mengelola aset strategis mereka. Tanah adat, yang diibaratkan sebagai "saham emas", bukan sekadar kiasan puitis, melainkan sebuah ajakan untuk menyusun strategi jangka panjang yang berpijak pada nilai-nilai budaya dan kedaulatan komunal.

Menjadi "Investor Identitas" berarti masyarakat adat memposisikan diri mereka sebagai pemegang saham utama dalam proyek-proyek yang memanfaatkan sumber daya alam atau wilayah adat mereka. Investasi mereka bukan hanya berupa lahan, tetapi juga pengetahuan lokal, kearifan ekologis, dan kohesi sosial yang telah teruji oleh waktu. Nilai dari 'saham emas' ini akan terus meningkat jika dikelola dengan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak-hak adat. Dengan demikian, mereka tidak hanya 'menjual' aset, tetapi juga berpartisipasi dalam 'memperdagangkan' masa depan komunitas mereka, dengan syarat yang menguntungkan secara holistik, tidak hanya secara ekonomi.

Strategi menjaga ruang negosiasi ini sangat selaras dengan kritik Karl Polanyi terhadap komodifikasi penuh atas alam dan tenaga kerja. Dengan tidak terburu-buru melepaskan tanah, masyarakat Hubula mempertahankan posisi tawar yang kuat, membatasi dampak negatif dari "disembedded economy" yang dapat merusak tatanan sosial mereka. Ini juga sejalan dengan pandangan James C. Scott mengenai bahaya penyederhanaan negara atas sistem lokal; dengan mempertahankan otonomi atas tanah, mereka menolak agenda penyederhanaan tersebut dan mempertahankan kompleksitas serta kekayaan sistem adat mereka.

Lebih lanjut, dari perspektif Amartya Sen, mempertahankan tanah adalah wujud nyata dari perluasan capability. Kemampuan untuk mengontrol tanah berarti kemampuan untuk menentukan cara hidup, menjaga keberlanjutan lingkungan, melestarikan warisan budaya, dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan visi komunitas. Kehilangan tanah sama dengan kehilangan kapasitas fundamental untuk membentuk kehidupan yang bermakna. Oleh karena itu, keputusan untuk menahan tanah adalah keputusan strategis yang memperkuat agensi dan otonomi masyarakat Hubula dalam menghadapi kekuatan eksternal.

Tantangan tentu saja tetap ada. Bagaimana menjaga nilai "saham emas" ini di tengah tekanan globalisasi, perubahan iklim, dan dinamika politik internal Indonesia? Bagaimana memastikan bahwa strategi ini tidak disalahartikan sebagai penolakan total terhadap segala bentuk pembangunan, melainkan sebagai tuntutan akan pembangunan yang berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta hak-hak adat? Diskusi ini perlu terus berlanjut, menggali lebih dalam bagaimana kearifan lokal dapat bersinergi dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Keberagaman budaya di tanah Papua mencerminkan kekayaan yang melekat pada tanah adat.

5. Kesimpulan

Masyarakat Hubula di Lembah Baliem menunjukkan sebuah strategi kultural yang cerdas dan bernilai dalam menghadapi arus pembangunan yang seringkali meminggirkan hak-hak adat. Dengan menganalogikan tanah adat sebagai "saham emas", mereka tidak hanya memberikan nilai ekonomi yang tinggi pada aset mereka, tetapi juga menekankan pada kelangkaan, kontrol kepemilikan, dan potensi strategis jangka panjang. Ini adalah sebuah ajakan untuk memahami bahwa nilai tanah adat tidak dapat diukur semata-mata dengan meter persegi atau rupiah, melainkan dalam ukuran martabat, kedaulatan, dan kemampuan untuk menentukan arah masa depan komunitas secara mandiri.

Pendekatan ini memposisikan masyarakat adat Hubula sebagai investor identitas yang aktif, bukan sekadar korban pembangunan yang pasif. Dengan menjaga tanah mereka seperti memegang saham emas yang berharga, mereka menahan diri dari tindakan gegabah, memelihara ruang negosiasi, dan memperkuat agensi mereka dalam menentukan bentuk pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur mereka. Pemahaman ini, yang diperkaya oleh pemikiran Polanyi, Scott, dan Sen, menunjukkan bahwa menunggu dan menjaga adalah bentuk tertinggi dari kuasa ketika dilakukan dengan kesadaran penuh akan nilai yang dimiliki.

Pada akhirnya, strategi ini bukan hanya relevan bagi masyarakat Hubula, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi upaya pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan di berbagai belahan dunia, di mana hak-hak masyarakat adat dan nilai-nilai budaya mereka harus menjadi fondasi, bukan sekadar tambahan, dalam setiap proses pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun