Saudari perempuan, dalam konteks relasi adat, dipandang sebagai simbol kehormatan dan nilai sakral bagi keluarga besarnya, terutama bagi saudara laki-lakinya. Ini bukan dalam arti kepemilikan, melainkan penjagaan terhadap martabat dan integrasi sosial.
Anak laki-laki () memikul beban moral dan tanggung jawab untuk menjaga kehormatan kampung. Tugas ini seringkali dianalogikan sebagai menjaga "saudari-tanah", yang berarti menjaga integritas dan keberlanjutan tanah leluhur sebagaimana mereka menjaga kehormatan saudara perempuan mereka.
Dengan demikian, menyerahkan tanah bukan hanya merupakan keputusan ekonomi atau transaksi jual-beli. Ia adalah tindakan sosial yang menyentuh inti dari tubuh adat itu sendiri, berpotensi merobek jalinan sosial, genealogis, dan spiritual yang telah terbangun berabad-abad. Keputusan ini memiliki implikasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar luasan areal atau nilai moneter.
Masyarakat Hubula melakukan ritual yang terkait dengan tanah dan adat mereka.
4. Mengapa Tanah Seperti Saham Emas?
Metafora "saham emas" digunakan untuk menangkap esensi nilai dan strategi yang dianut oleh masyarakat Hubula. Nilai suatu aset, terutama aset yang langka dan fundamental seperti tanah adat, tidak selalu terletak pada kecepatan penjualannya, melainkan pada kelangkaannya, kendali kepemilikan, dan potensi apresiasi nilainya di masa depan. Analogi ini dapat dielaborasi lebih lanjut dalam konteks Hubula:
Tanah yang belum dibuka atau dikelola secara intensif justru paling dihargai. Nilai intrinsiknya terjaga, potensinya belum tergarap oleh pihak luar, dan ia masih sepenuhnya berada dalam kontrol komunitas.
Kampung atau wilayah yang belum memberikan konsesi kepada investor besar menjadi titik perhatian utama. Daya tawar mereka tinggi karena mereka belum terikat oleh perjanjian yang mengikat.
Masyarakat yang menunjukkan kesabaran dan tidak terburu-buru dalam menerima tawaran pembangunan, seringkali mendapatkan posisi negosiasi yang lebih kuat. Mereka mampu menuntut syarat yang lebih baik atau bahkan menolak tawaran yang dianggap merugikan.
Strategi ini memperkuat gagasan bahwa masyarakat adat, dengan tetap memegang erat tanah mereka, pada dasarnya menjaga ruang negosiasi dan kemungkinan strategis, bukan sekadar menolak kemajuan secara apriori. Mereka menahan diri bukan karena ketakutan, tetapi karena pemahaman mendalam mengenai nilai sesungguhnya dari tanah mereka---nilai yang bersifat kultural, sosial, spiritual, dan strategis, yang jauh melampaui sekadar nilai pasar sesaat. Menahan tanah berarti menjaga potensi untuk menentukan masa depan sendiri.
Seorang tetua adat Hubula, simbol kebijaksanaan dalam menjaga tanah leluhur.