Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanah Adat Seperti Saham Emas: Strategi Kultural (Hun flocky)

3 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 3 Juli 2025   19:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hun flocky 

Pemahaman mengenai strategi kultural masyarakat Hubula dalam menghadapi tawaran pembangunan dapat diperkaya melalui lensa pemikiran beberapa tokoh kunci dalam ilmu sosial.

2.1 Karl Polanyi dan Kritik atas Komodifikasi Tanah

Karl Polanyi, dalam karyanya yang monumental The Great Transformation (1944), mengkritik keras kapitalisme liberal yang memperlakukan elemen-elemen fundamental kehidupan manusia---tenaga kerja, alam (termasuk tanah), dan uang---sebagai "komoditas fiktif." Menurut Polanyi, tanah bukanlah sekadar barang yang diciptakan untuk dijual-belikan di pasar. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sejarah, dan tatanan sosial. Ketika tanah dikomodifikasi dan dipisahkan dari konteks sosial-budayanya (fenomena yang ia sebut "disembedded economy"), maka tatanan sosial, spiritual, dan ekologis yang lebih dalam akan terancam rusak. Pendekatan ini relevan untuk melihat bagaimana tawaran pembangunan yang berfokus pada nilai ekonomi semata dapat merusak struktur sosial masyarakat Hubula.

2.2 James C. Scott dan Logika Rakyat Tertindas

James C. Scott, dalam Seeing Like a State (1998), mengemukakan bahwa negara seringkali cenderung menyederhanakan realitas sosial yang kompleks agar mudah diatur dan dikendalikan. Skema pembangunan yang terpusat dan mengabaikan pengetahuan lokal serta praktik adat seringkali gagal atau bahkan menimbulkan bencana karena tidak memahami kerumitan sistem yang ada. Bagi Scott, sistem lokal yang adaptif dan kontekstual seringkali tidak terlihat oleh kacamata negara yang mencari efisiensi dan keseragaman. Dalam konteks Hubula, praktik pembangunan yang tidak didasarkan pada persetujuan adat atau yang mengabaikan sistem kepemilikan dan pengelolaan tanah lokal dapat dilihat sebagai bentuk "invisibilisasi" otoritas adat, yang berpotensi memicu resistensi dan perlawanan kultural.

2.3 Amartya Sen dan Pilihan sebagai Kesejahteraan

Pendekatan "capability" Amartya Sen (1999) menawarkan perspektif lain yang penting. Sen berargumen bahwa pembangunan sejati bukanlah sekadar peningkatan pendapatan atau kepemilikan barang, melainkan perluasan kebebasan dan kemampuan (capabilities) individu untuk mencapai kehidupan yang mereka hargai. Kesejahteraan diukur dari apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh seseorang (functionings). Ketika masyarakat adat terpaksa melepaskan tanah mereka karena tekanan ekonomi, ketidaktahuan akan nilai jangka panjang, atau kurangnya pilihan, mereka kehilangan agensi---kemampuan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Oleh karena itu, mempertahankan tanah dapat dipandang sebagai tindakan strategis untuk mempertahankan dan memperluas otonomi memilih dan menentukan arah pembangunan yang diinginkan.

3. Tanah dan Tubuh Sosial: Perspektif Budaya Hubula

Dalam struktur sosial masyarakat Hubula, tanah bukanlah entitas yang terisolasi. Ia terjalin erat dengan relasi kekerabatan, simbolisme tubuh, dan ritual-ritual adat yang menjaga kohesi sosial. Tanah di sini adalah perpanjangan dari tubuh sosial itu sendiri, di mana nilai-nilai budaya dan identitas komunitas terwujud.

Ayah dalam struktur keluarga seringkali melambangkan garis kuasa terhadap tanah. Hak ini diperoleh tidak hanya dari keturunan, tetapi juga dari sejarah penguasaan teritorial, kemampuan mempertahankan wilayah (termasuk melalui perang adat), dan penjagaan sumber daya.

Ibu mewakili hak waris tanah yang berbasis pada garis keturunan dan asal-usul kampung. Tanah yang diwariskan melalui jalur ibu memiliki makna genealogis yang kuat, menghubungkan generasi kini dengan leluhur pendiri komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun