Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Sesusah-susahnya Hidup, Paling Enak Tanpa Utang

5 Januari 2022   01:55 Diperbarui: 6 Desember 2022   11:18 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berutang | Dokumentasi Shutterstock

Lebih besar pasak daripada tiang

Itulah kutipan favorit bagi mereka yang sudah bekerja keras, tuntas dan ikhlas tapi belanga masih saja bolong. Termasuk aku, hehe. 

Tapi, biar gaji seseorang berkali lipat dari UMR, bisa saja tetap terjerat utang jika tidak dikelola dengan baik.

Bolehkah kita berutang?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada pertanyaan lebih mendasar untuk dikupas, "utangnya untuk apa?" Semoga bukan untuk "nafas" harian, padahal sudah ada gaji bulanan. Berutang untuk biaya atau kebutuhan sekolah anak, wajar. Itu jalan ninja orang tua agar anaknya mendapat masa depan yang lebih baik.

Tapi utang untuk HP, mobil baru, rumah mewah, pesta pernikahan atau sekedar memoles diri? Berlebihan, karena toh kita tak langsung kenyang dengan itu. Bahkan jadi kerugian semata kalau tak sanggup untuk membayar. Kecuali misalnya dijalankan untuk berbisnis, malah bisa mendapat keuntungan.

Maka, jawaban atas pertanyaan di atas, boleh, asal sanggup membayar.

Tren Utang lewat pinjol

Aku menceritakan kisah beberapa rekan yang tersandung kasus pinjol (pinjaman online). 

Kerabatku (perempuan) mengajukan pinjol awalnya untuk membeli HP dan laptop baru. Alasannya sih HPnya untuk berdagang (beda dengan HP pribadi loh!). Sedang laptopnya untuk mengerjakan tugas kuliah. 

Mungkin karena tergiur dengan nominal pinjaman yang besar, dia ketagihan. Meminjam lagi untuk membeli barang dagangan seputar pakaian wanita.

Tanpa perhitungan jangka panjang, dia tersandung. Dagangannya masih menggunung, kondisi pandemi pula, sedang tagihan makin dekat jatuh tempo. Konon, denda pinjol ada yang sampai Rp 100.000 per hari. Mateng!

Ilustrasi utang | Sumber: unsplash.com/sharon
Ilustrasi utang | Sumber: unsplash.com/sharon

Aku sendiri geram dengan picik isi kepalanya. Orang tidak setiap hari beli baju. Sedang dendanya sebesar itu. Belum tertutup pokok utang, bunga hariannya mencabik lebih dalam. Info dari teman dekat kerabatku, utangnya mencapai puluhan juta!

Wah, memang dipakai untuk belanja apa saja? Ternyata dia berprinsip gali lubang tutup lubang. Utang ke sana untuk menutup utang di sini. Dan Anda bisa tebak, bunganya bertebaran di mana-mana, beban bunganya lebih besar dari utangnya sendiri. Ngeri.

Jika Anda berminat atau tergiur dengan pinjol, saranku: jangan. Daripada menyesal kemudian.

Pengalaman serupa dialami teman istriku, perempuan pula. Teman istriku ini hobi berbelanja online dengan metode bayar kemudian (pay later). 

Dalam kondisi pandemi, pekerjaannya sepi. Tagihan dan gaya hidup bertambah, pendapatan berkurang. Jadilah lubang menganga lebar, mencapai puluhan juta juga.

Kakak teman istriku itu sampai harus ikut menambal lubang itu. Syukur kakaknya ini perhatian. Aku mau menambal lubang yang dibuat kerabatku? Wong untuk keseharian saja sudah engap, haha.

Ada lagi teman dekat istriku. Sejak lulus kuliah, dia sudah terbiasa pinjam-meminjam uang dengan istriku. 

Istriku pun pernah meminjam uang padanya karena memang sedang belum ada pekerjaan. Namun bergegas melunasi saat mendapat kerja, dan tidak mengulangi utang.

Bertolak belakang dengan istriku, temannya itu terbiasa berutang dari nominal ratusan ribu sampai jutaan. Bahkan saat dia sudah menjadi CPNS, sudah menikah, sedang istriku hanya mengurus rumah tangga dimintai pinjaman. Helo... situ sehat? 

Meski selama ini utangnya dibayar, tapi kebiasaan berutang ini jadi sesuatu yang tak baik. Apalagi sudah menikah. Nanti kalau sudah punya anak apa kabar? Lagipula istriku tak ada yang mau dipinjamkan.

Satu lagi pengalaman temanku tentang utang. Bedanya, temanku ini segera bertobat dan belajar hidup sehat. Dia seorang pria, pekerja swasta di kota kecil. Nampaknya, masa kecilnya kurang bahagia sebab tak bisa bermain game di HP. Maka, setelah kerja dia ingin "balas dendam" dengan membeli PC (Personal Computer) khusus untuk gaming. Namun dengan metode bayar kemudian, dan onderdilnya dia beli terpisah.

Untuk beberapa bulan dia menikmati impiannya yang tercapai: punya komputer untuk nge-game. Masalahnya, tagihan tiap bulan bikin nyesek. Padahal dia juga perlu menabung buat menikah. 

Akhirnya dia jual PC itu agar bisa menutup utang. Kasihan juga ya. Setidaknya, impiannya pernah tercapai. Aku salut dengan kawan ini, sadar sejak dini dan mau belajar dari kesalahan.

Lalu, bagaimana supaya tidak terjerat utang? Berikut ini beberapa nasihat yang perlu dicerna dan diendapkan dalam kepala.

Bergayalah sesuai isi dompetmu. -- Bob Sadino

Aku tak setuju dengan pengusaha gokil ini. Jutawan lansia berkumis putih, sedikit botak ini bergaya tak sesuai dompetnya. Masa iya, dia jutawan tapi bercelana pendek dilipat? Tapi orang kaya mah bebas!

Maksud kutipan Mbah Bob tentu saja kalau mau bergaya sesuaikan dengan pendapatan. Lagi pula, kalau Anda orang kaya tidak harus menutup raga dengan benda-benda branded. Kalau bisa sisihkan rezeki untuk sesama yang membutuhkan, lebih bermanfaat.

Aku pun begitu. Hampir tak pernah beli pakaian baru. Kalau pun ada diberi orang. Atau harus beli untuk keperluan pekerjaan. Apalagi selama pandemi, mau dipakai ke mana baju baru?

Demikian pula dalam hobi. Semasih lajang, sebulan bisa beli minimal satu buku. Kini, dengan tanggungan tiga kepala, mau servis motor pun nunggu THR, haha.

Hidup paling tenang kalau tak punya utang. -- Ibuku

Guru, pahlawan dan inspirasi pertamaku adalah ibu. Biar tak punya ijazah, dia salah satu yang terus mendukungku sampai mendapat ijazah sarjana. 

Dalam salah satu "mata kuliah" ibu pernah berujar, "Tak apa makan seadanya, yang penting gak punya utang." Menyentuh, karena ada yang bahkan untuk makan enak, suka jajan tapi banyak utang. Tidur pun tak tenang.

Seumur-umur, aku hanya punya utang sepeda motor. Meski dengan cicilan ringan, jadi beban juga karena aku pernah jobless sekitar enam bulan. Sambil tiarap menyeret kaki, lunas juga dengan menguras tabungan yang sejimpit. Tapi setelahnya lega karena tak punya utang.

Berutang boleh, asal ada tanggung jawab membayar

Utang menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia. Negara pun perlu berutang untuk melakukan pembangunan. Banyak dikupas Denny Siregar di YouTube. Lagi pula ada pihak atau lembaga yang menawarkan pinjaman atau utang. Baik personal, bank, maupun pinjol yang marak hari-hari ini. Namun harus jelas untuk apa uang yang diutangi ini.

Jika untuk modal usaha, artinya untuk memutar roda ekonomi dan nantinya sukses, pasti indah rasanya. Jika untuk memenuhi kebutuhan, asal ada gaji atau pemasukan tetap untuk membayar aman. 

Jika untuk gaya hidup hedon, sebaiknya tahan. Sebab, setinggi-tingginya gaji, biasanya lebih tinggi gaya hidup. Daripada nanti diteror dan dicari-cari debt collector, benda-benda kita disita, dimasukkan ke daftar hitam, bahkan sampai kerabat atau kenalan kita juga diteror, kan nambah menyusahkan orang. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun