Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rempah dan Peran Kita Merevitalisasi Warisan Kekayaan Bangsa (Bagian 1)

4 November 2021   17:43 Diperbarui: 9 November 2021   01:25 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rempah-rempah, warisan kekayaan bangsa Indonesia | sumber: dokumentasi pribadi/YANTI NAI

Dari tempat asalnya yang jauh di pulau tropis, rempah-rempah tiba di pasar Venesia, Belgia dan London dengan melewati jalur yang berliku-liku, hampir mengelilingi setengah planet Bumi... Di setiap tahap selama perjalanan dari Timur ke Barat, makelar rempah yang berbeda akan terus meningkatkan harga sehingga setelah tiba di Eropa, harganya sudah meroket hingga 1.000%--bahkan lebih besar. (Jack Turner, 2011)

***

Pada awal abad ke-15 dia berhasil menarik kapal-kapal Bangsa Eropa mengarungi samudra ribuan mil jauhnya ke Asia, lalu mencapai Nusantara. Enam abad lalu, ia membuat Indonesia dijuluki "Si Raja Rempah" dengan kekayaan alamnya. Dia juga yang sempat memikat perhatian kita---meski sebentar---saat pandemi Covid-19 menyapa Bumi Pertiwi. Dialah rempah-rempah.

Benda ajaib yang menciptakan aroma lezat, menjadi obat, penghangat badan, serta pengawet makanan. Harganya murah, tersedia melimpah di Nusantara. Oleh sebab limpahnya, kita menganggapnya benda biasa, bahkan menyia-nyiakannya. Kita sudah senang rempah kita dihargai sangat murah. Padahal di masa itu, harganya berkali lipat lebih mahal dari emas.

Mulanya Bangsa Eropa berniat berdagang. Lalu didorong nafsu serakah, mereka berusaha menguasai dengan cara merampas, membunuh dan menjajah bangsa kita. Hampir dua abad (1602-1799), bangsa Belanda melalui kongsi dagangnya, VOC, meraup keuntungan berlimpah dengan berdagang rempah-rempah. Berikutnya, keberadaan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara menggoreskan jejak penjajahan selama 3,5 abad.

Namun setelah VOC runtuh, penjajah sudah hengkang dari tanah air, dan kemerdekaan diproklamirkan, kita tak juga 'bersinar' dengan rempah. Bagaimana nilai rempah Indonesia saat ini di mata dunia? Seberapa besar kontribusinya bagi perekonomian Indonesia? Mungkinkah bangsa kita berjaya dengan rempah-rempah?

Mengutip pernyataan Bram Kushardjanto, pendiri Yayasan Negeri Rempah, kita berhutang budi pada rempah-rempah. Lantaran rempah, bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara. Tanpa peristiwa kolonialisasi, kita tetap menjadi Kerajaan Ternate, Tidore, dan kerajaan-kerajaan kecil. Kita bisa bersatu karena dijajah dan bersama membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, selayaknya kita membalas budi dengan mengembalikan kejayaan rempah-rempah.

Tantangan rempah di abad ke-21

Beda zaman, lain pula tantangannya. Dari 7.000 jenis rempah yang ada, sejauh ini baru dimanfaatkan 4%. Kondisi memprihatinkan, jika tidak mau dikatakan kemunduran. Ada hambatan di dua faktor utama, yakni produksi dan konsumsi.

Dari faktor produksi, menurut Deputi Dewan Rempah Nasional Lukman Basri, perdagangan rempah Indonesia saat ini jauh menurun dibandingkan masa pendudukan Belanda. Sebab pertama, produk rempah kita belum memenuhi syarat perdagangan internasional, yakni perihal sustainability, mutu, standar higienis, dan informasi akurat tentang asal barang.

Kedua, tidak ada pelabuhan-pelabuhan untuk ekspor seperti di zaman pendudukan Belanda. Dulu, tiap daerah punya pelabuhan sehingga bisa langsung mengirim barang ke negara tujuan. Saat ini ekspor rempah harus ke Surabaya dulu. Ketiga, ketiadaan sumber finansial untuk mendanai ekspor rempah seperti halnya di zaman Belanda yang punya banyak bank. Mewujud apa dana 5,5 Triliun dari pemerintah melalui Kementrian Pertanian (www.pertanian.go.id) untuk mendongkrak potensi rempah dan holtikultura di Indonesia?

Senada dengan itu, Sekda Provinsi Jateng Sri Puryono menilai, tugas penting kita adalah menjaga kuantitas, kualitas dan kontinyuitas. Karena kalau (rempah) sudah laku, muncul 'penyakit' kita mengabaikan kualitas. Ini menjadi penghambat untuk jangka panjang. Di lingkup lokal, harusnya ada mutualisme antara pelaku industri dan petani rempah. Pabrik ada jaminan pasokan bahan baku, petani punya jaminan pemasaran. Di lingkup global, harusnya rempah-rempah kita bernilai lebih tinggi dibanding negara lain.

Kondisi perkebunan rempah rakyat saat ini juga sangat memprihatinkan, ungkap Ketua Dewan Rempah Indonesia serta mantan Direktur Jenderal Perkebunan 2009-2016, Gamal Nasir. 

Pada umumnya kebun-kebun tersebut kurang terawat, usia tanaman melewati batas tanam; menyebabkan produktivitasnya menurun. Ditambah kondisi cuaca yang tidak kondusif, menyebabkan serangan hama meningkat, akhirnya kualitas produksi juga menurun. Di mana peran ribuan sarjana pertanian yang 'dicetak' negeri ini?

Pada periode 2017-2020 volume ekspor terus meningkat, tapi nilainya justru menurun. Sebabnya, rempah diekspor dalam bentuk mentah (curah). Bandingkan dengan Vietnam, yang mengekspor rempah dengan mengolahnya terlebih dahulu.

Dari faktor konsumsi, tantangan utamanya adalah masyarakat Indonesia sendiri tidak terbiasa dan tidak banyak mengonsumsi rempah-rempah. Akibatnya pasarnya kurang menggeliat di Indonesia. Jika di negeri sendiri rempah tidak diminati, bagaimana mau berjaya di negeri orang?

Berkaca dari peristiwa di awal pandemi Covid-19. Sebagian kelompok masyarakat takut kalau terpapar virus, sehingga mencari cara melindungi diri. Mereka meyakini empon-empon (rempah-rempah) bisa menangkal virus Corona. Pemikiran ini tentu baik. Tapi, masyarakat menjadi latah, lalu belanja berlebih. 

Tren ini dikenal sebagai panic buying, belanja karena panik. Masyarakat mengonsumsi rempah karena takut terpapar virus, bukannya mengadopsi menjadi pola hidup sehat. Akibatnya, pertama kali dalam sejarah harga empon-empon melambung berkali lipat. Jahe misalnya, biasanya berkisar Rp. 20.000 di pasaran, bisa mencapai Rp. 100.000, bahkan lebih.

Petani dan pedagang empon-empon sempat mengecap untung. Tapi, tidak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu dan manusia mulai terbiasa hidup di tengah pandemi, pola konsumsi rempah-rempah kembali menurun. Seolah-olah rempah hanya penghilang rasa takut.

Sungguh disayangkan, mengonsumsi rempah-rempah ini hanya musiman. Bukan dari kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan. Pola pikir semacam ini yang harusnya dirombak. Kalau mau sehat dengan mengonsumsi rempah, tak harus menunggu pandemi Covid-19 dan jangan anget-angetan.

Bagaimana harus melanjutkan perjuangan?

...bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun