Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memilih Hidup di Kampung, Emang Enak?

6 Juli 2020   07:23 Diperbarui: 7 Juli 2020   02:25 2384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan langit di kampung, foto: KRAISWAN

Hidup di kampung, mau jadi apa? Desak orang tua teman saya, setelah menyelesaikan kuliah jauh-jauh ke Jawa. Kehidupan desa lekat keterbelakangan, kelambanan. Bukan lahan subur "membajak" rupiah. Apalagi penyandang sarjana.

Dalam banyak sisi, hidup di kampung lebih baik. Para urban mudik di tengah pandemi, buktinya. Selain itu, ada beberapa ke-enak-an hidup di kampung.

"Bebas" Buang Sampah. Seorang pemuda mengeluhkan tagihan Pak RT di mana beberapa kamar rumahnya di pinggiran kota dikos-kan. Dia sendiri tinggal di kampung. Mau buang sampah saja bayar tiap bulan. Untuk penghidupan pinggiran kota, ini wajar. Namun, bagi pemilik isi kepala yang terlanjur mengakar di desa, keluhan juga.

Nah, kalau di desa sampah bisa dikelola mandiri. Di rumah saya, misalnya. Sampah plastik dibakar bertahap di api tungku. Sampah organik tinggal ditimbun di bawah pohon, atau di lubang galian. Bisa dibuat pupuk.

Udara Segar. Setahun mengadu nasib di Surabaya, tak terhitung berapa kali saya mudik. Panas, penuh polusi, macetnya Surabaya hanya bisa diobati dengan menengok rumah.

Dulu, sewaktu kecil, waktu badan dan pikiran masih "dalam tempurung", kehidupan di desa terasa monoton. Tidak menarik. Tidak ada tantangan. Setelah mengecap dunia luar, tidak betah untuk tidak pulang.

Di kampung udaranya segar, sejuk dan memantik banyak inspirasi untuk berkarya. Sekadar untuk menulis artikel di Kompasiana, misalnya.

Konon, banyak orang tua yang tinggal di kampung umurnya panjang. Karena terbiasa menghirup udara segar. Pikiran pun jadi tenang. Di kota besar mana Anda bisa temukan langit jernih yang mengharu biru. Kalau pun ada, mungkin 1:1000.

Sumber Daya Melimpah. Bagikaum vegetarian, hidup di kampung adalah "surga". Meski harga sayuran di Indonesia masih terjangkau, khususnya di Salatiga; di kampung dedaunan GRATIS. Sebutlah daun singkong, daun talas Sumatra (menurut ibu saya, demikian namanya), labu siam, daun pepaya.

Dalam situasi paling krisis sekali pun, orang tinggal di kampung mustahil mati kelaparan. Habis beras, minta pada tetangga. Perlu sayur, tinggal petik di kebun. Sumber karbo yang lain juga mudah didapat. Singkong, ubi, talas. Kalau mau menanam.

Memasak dengan tungku, foto: dokpri
Memasak dengan tungku, foto: dokpri

Sebelum gas LPG menggeser kompor minyak, orang kampung hidup bersahaja dengan tungku untuk mengepulkan belanga. Kayu bakar melimpah. Demikian juga sumber air. Sampai dihamburkan untuk membasahi sawah. Semua itu masih gratis.

Piknik Gratis. Semuamanusia butuh piknik. Apalagi mereka yang kesehariannya makan-ngantor-macet-tidur. Bisa stres kalau tidak piknik. Pemilik usaha tahu dong, akibat kalau karyawannya "tumpul". Tidak produktif. Sering melakukan kesalahan. Bisa merugikan perusahaan.

Pemandangan memukau di pedesaan. Gratis, foto: KRAISWAN
Pemandangan memukau di pedesaan. Gratis, foto: KRAISWAN

Setelah berbulan-bulan terkurung dalam rumah, banyak orang ingin "ke luar kandang". Bersepeda salah satu alternatifnya. Di sekitar Salatiga, banyak pesepeda yang merambah kampung-kampung. Melintasi hutan karet, persawahan dan jalanan aspal membelah perkebunan. Selain olahraga, sekaligus jadi "piknik gratis". Anti macet. Tak perlu bayar tiket.

Hidup di desa juga lebih tinggi tingkat keselamatannya. Tidak ada berita, setahu saya, orang diserempet karena "mengaspal" di  daerah desa.

Tempat Parkir Luas. Hidupdi desa menyajikan kemewahan tersendiri dibanding di kota. Apalagi mereka yang punya jiwa wirausaha. Entah industri makanan, mebel, beternak, jasa transportasi, bahkan pengelola rongsok. 

Daftar terakhir bukannya merendahkan. Jangan salah, banyak orang banting setir jadi pencari rongsok. Pemasukannya lebih pasti. Tak perlu malu. Asal tidak mencuri. Jika dilakoni dengan tekun, mencari rongsok pun bisa berkah.

Sebagian orang kota punya mobil tapi belum tentu punya lahan parkir. Di desa, kalau mobil memang jadi kebutuhan lahan parkirnya luas. Tak harus makan badan jalan. Soal tersendiri kalau orang desa punya mobil hanya untuk diparkir, hehe.

Tidak Ketahuan Kalau Berantem.S Satulagi keuntungan hidup di desa. Kalau misalnya ada suami istri berantem, tidak ketahuan oleh tetangga. Secara, antarrumah di desa berjeda dengan sejumlah pekarangan. Kalau teriak atau lempar piring pun paling dikira ulah "meooong..." mencuri ikan asin.

Bayangkan jika itu di kota. Bertengkar sambil berbisik pun, bakal ketahuan. Secara semua tembok punya telinga.

***

Tidak berarti hidup di desa terus enak. Idealnya, orang desa adalah bos atas diri sendiri betapa pun roda ekonominya lambat. Yang lebih mengerikan dari membabu di kota adalah jadi babu di kampung sendiri.

Seperti dikutip Mahbub. Ada tidak enaknya hidup di desa, karena tidak memiliki apa-apa lagi. Seorang pemuda merantau ke Jakarta. Pulanglah ia waktu lebaran. Menurut Perda No. 11, pedagang asongan kini dilarang berjualan di lampu merah. 

Mengganggu lalu lintas. Bisa ditangkap dan didenda. Niatnya pemuda ini tinggal saja di kampung, membantu bapaknya mengurus sawah. Bapaknya menolak. "Kami sendiri di sini susah payah. Tanah sendiri sudah tidak punya, terpaksa memburuh di tanah orang." (Asal Usul, Mahbub Djunaidi, halm. 396)

Jadi, hidup di desa syukurilah, tinggal di kota nikmati saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun