Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Guru itu Berat, Kamu Tak Akan Kuat (1)

25 Februari 2020   19:54 Diperbarui: 2 Maret 2020   07:48 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jangan tersinggung. Saya tak bermaksud pongah. Juga bukan niatan mengkultuskan profesi guru atau menganggap hanya saya dan segelintir orang yang layak menjadi guru.

Jika ada pekerjaan yang lebih baik, besar kemungkinan orang memilih tidak menjadi guru.

Tugas seorang guru itu berat. Mengajarkan baca-tulis-hitung dan berbagai pengetahuan, membentuk karakter, membukakan wawasan, mengajarkan disiplin...ringkasnya: mencetak generasi. Demi mengemban tugas semulia itu, banyak guru di Indonesia yang masih hidup prasejahtera. Jika gurunya saja belum sejahtera, bagaimana mau menyejahterakan murid?

Saya coba mendeskripsikan beratnya menjadi guru.

Penyiap Generasi, tapi Minim Apresiasi

Jika di dunia seni ada penghargaan untuk artis atau penyanyi terbaik, adakah penghargaan untuk guru terbaik?

Boro-boro apresiasi. Bagaimana masyarakat memperlakukan guru? Sebagai mitra, atau orang yang dibayar untuk menjaga anak mereka—istilah saya, babysitter

Guru adalah profesi paling mulia, katanya. Peran gurulah yang mengantar seseorang berwujud tentara, pilot, sampai presiden. Sedangkan tuntutan administrasinya digaung-gaungkan berat melebihi tugas utama, mengajar. Bagaimana guru jadi produktif jika dibebani banyak administrasi?

Tugas paling berat sebenarnya bukan menjadikan murid mahatahu. Teknologi komputer dan internet bisa melakukannya. Namun membekali murid dengan karakter, keterampilan dan akhlak unggul, agar kelak berguna bagi kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, bahkan dunia.

Apresiasi tidak berhenti pada upah, tapi apakah pribadinya dimanusiakan. Pernah, ada guru SMA dikeroyok murid dan ayahnya hanya karena si murid ditegur karena bermain saat pelajaran. Di mana akalnya, saat guru melakukan tugas justru dianiaya? Atau jika ada guru mencubit murid untuk disiplin, malah diprotes, dilaporkan ke polisi. (Generasi 90-an akan berteriak: LEMBEK!) Lalu dibuat undang-undang yang “mengebiri” guru. Kalau guru mencubit murid bisa dipidanakan. Kalau murid tidak boleh didisiplin, sekolahkan saja di rumah. Diajari sendiri. Beri nilai sendiri. Buatkan ijazah sendiri.

Pemerintah berupaya mengapresiasi kaum pahlawan ini. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 36 ayat (1) penghargaan diberikan kepada “Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/ bertugas di daerah khusus”. Menurut Princess Maha Cakhri Award (PMCA) Founfation, penghargaan diberikan kepada guru beredukasi optimal.[1] Niat yang mulia. Tapi, penghargaan macam ini belum seberapa dibanding usaha ratusan ribu guru menghadapi polah-tingkah murid setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun