Mohon tunggu...
Wawan Kuswanda
Wawan Kuswanda Mohon Tunggu... Guru Ekonomi, Pelatih Pembina Pramuka, NSBPB, NSBO, Trainer, MyViewBoard Ambassasor, Pengurus KPPD Kab.Ciamis, Pengurus PSLCC PGRI Kab.Ciamis, Pengurus MGMP Ekonomi SMA Kab.Ciamis, Pengurus RAPI Daerah Provinsi Jawa Barat.

Saya seorang guru yang memiliki tekad setiap hari harus membuat sebuah prestasi baik itu untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Moto: Berprestasilah sebelum prestasi itu dilarang, jangan menua tanpa prestasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Reformasi Keserentakan Pemilu: Menuju Pemilu yang Lebih Demokratis dan Efisien

27 Juni 2025   17:40 Diperbarui: 27 Juni 2025   17:45 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
to Ilustrasi Menelaah Putusan Hakim MK tentang Pemilu dan Pemilukada


Jakarta, Kompasiana.com- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menandai babak baru dalam sejarah demokrasi elektoral Indonesia. Melalui keputusan ini, MK menegaskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum nasional dan pemilihan umum daerah harus diselenggarakan secara terpisah. Artinya, sistem "Pemilu 5 kotak" yang selama ini berlaku, di mana pemilih memilih lima jenis jabatan dalam satu hari, tidak lagi konstitusional dan akan diganti dengan model pemilu yang lebih sederhana dan terfokus. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada aspek teknis pelaksanaan pemilu, namun juga menyentuh jantung persoalan demokrasi substansial: kualitas pemilu, pelembagaan partai politik, pembangunan daerah, dan efektivitas kedaulatan rakyat.

Salah satu dasar kuat dari putusan ini adalah pentingnya memberikan ruang yang cukup bagi pemilih untuk menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional sebelum menentukan pilihan dalam pemilu daerah. Selama ini, rentang waktu yang berdekatan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah cenderung menenggelamkan isu-isu lokal di tengah riuhnya isu nasional. Akibatnya, pembangunan daerah sering kali tidak mendapat perhatian yang layak, padahal realitas kehidupan rakyat banyak lebih dekat dengan kebijakan yang diambil oleh pemimpin daerah ketimbang pusat. Dengan memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal, diharapkan para pemilih dapat lebih fokus menilai dan memilih calon pemimpin berdasarkan kebutuhan dan dinamika lokal.

Lebih jauh, MK juga mengangkat persoalan yang selama ini menjadi titik lemah demokrasi elektoral Indonesia, yakni pelemahan partai politik. Dalam sistem serentak lima kotak, partai politik dipaksa untuk melakukan rekrutmen besar-besaran dalam waktu yang sangat singkat dan nyaris bersamaan untuk berbagai posisi politik. Akibatnya, partai politik cenderung jatuh ke dalam jebakan pragmatisme: memilih kandidat berdasarkan popularitas alih-alih kapabilitas atau kedalaman ideologi. Kondisi ini menghambat proses pelembagaan partai politik, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun demokrasi yang sehat dan berkesinambungan.

Kualitas penyelenggaraan pemilu juga menjadi perhatian utama MK dalam putusannya. Tumpang tindih tahapan pemilu nasional dan daerah, seperti yang terjadi pada Pemilu 2024, menciptakan beban kerja yang luar biasa bagi penyelenggara pemilu. Ini berdampak langsung pada kualitas teknis pelaksanaan pemilu, dari kesiapan logistik hingga akurasi data. Selain itu, penyelenggara pemilu hanya aktif dalam masa-masa pemilu dan tidak memiliki cukup waktu untuk evaluasi dan peningkatan kapasitas antar pemilu. Dengan adanya jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah yaitu paling sedikit dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan, diharapkan proses penyelenggaraan pemilu menjadi lebih efisien, terencana, dan bermutu tinggi.

Dari sisi psikologis pemilih, sistem lima kotak terbukti menyulitkan. Banyaknya surat suara dan calon yang harus dipilih dalam waktu yang terbatas menyebabkan kejenuhan dan kebingungan. Dalam banyak kasus, ini berujung pada meningkatnya jumlah suara tidak sah dan menurunnya kualitas partisipasi politik rakyat. Dengan memisahkan waktu pemilu nasional dan daerah, pemilih diberi kesempatan untuk lebih memahami calon dan isu yang diusung, sehingga dapat menggunakan hak pilihnya dengan lebih bijak dan bertanggung jawab.

Namun demikian, perubahan besar ini tentu memerlukan masa transisi yang terukur dan terencana. MK dengan bijak menyerahkan penentuan masa transisi tersebut kepada pembentuk undang-undang, melalui mekanisme rekayasa konstitusional yang tetap menjunjung prinsip demokrasi dan keadilan. Ini termasuk pengaturan masa jabatan hasil pemilu 2024 yang harus disesuaikan agar selaras dengan sistem keserentakan yang baru.

Secara keseluruhan, Putusan MK ini tidak semata-mata bersifat teknis atau administratif, melainkan mencerminkan arah pembaruan sistem pemilu yang lebih demokratis, rasional, dan konstitusional. Pemisahan antara pemilu nasional dan daerah memberikan ruang bagi pendalaman isu, penguatan institusi politik, serta perlindungan terhadap kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan. Ke depan, tantangan terbesar bukanlah pada penerimaan ide ini, melainkan pada kemampuan semua pihak terutama legislatif dan pemerintah untuk mengimplementasikannya secara konsisten, inklusif, dan berpihak pada rakyat.

Dengan begitu, reformasi sistem pemilu bukan sekadar soal kotak suara dan jadwal, tapi tentang meletakkan fondasi yang kokoh bagi demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan berdaya tahan. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun