Mohon tunggu...
Cerpen

Dunia Jungkir Balik

31 Mei 2016   06:58 Diperbarui: 31 Mei 2016   07:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini benar-benar pagi yang membosankan, hem aku terlambat bangun. Tak kudengar suara ayam berkokok, maklum aku tinggal di desa. Tak kudengar pula suara adzan subuh berkumandang, padahal rumahku dekat dari mesjid. Aku benar-benar tertidur pulas, lelah, letih itu yang kurasakan. Mungkin karena perjalanan yang terlalu jauh.

Kemarin aku baru pindah dari rumahku yang dulu di kota. Aku merasa ini terlalu konyol, tak pernah kubayangkan tinggal didesa yang sangat terpencil.  Dengan kelimpahan materi yang kumiliki, kini hanya jadi sebuah kenangan. Hidupku berubah, 1800.

Aku yang dulu selalu melakukan sesuatu dengan bantuan bibi, sekarang aku harus melalukannya sendiri. Aku yang kesekolah dengan mobil pribadi, sekarang aku harus naik angkot ditambah lagi dengan jalan kaki sekitar 1 km. Dan yang paling membuatku jengkel, aku harus bangun sebelum adzan subuh berkumandang, agar tidak telat kesekolah. Aku benar-benar merasa hidupku seperti neraka. Jiwa dan ragaku menolak semua keadaan ini.

Pakaian yang aku kenakanpun tak seperti dulu lagi, aku yang selalu menggunakan baju yang bermerek, dengan harga yang mahal. Sekarang harus menggunakan baju yang kusut, tak distrika. Menyebalkan.

Rumah yang kutempati pun, sangat berbeda. Rumahku yang dulu berisi perabot mahal, luas, dan yang jelas rumahku sangat indah dipandang mata. Berbeda dengan rumahku yang sekarang, sumpek, berdinding kayu dan yang lebih parah lagi tak ada listrik untuk penerangan, hanya lampu pelita. Benar-benar membosankan. Keadaan ini membuatku benar-benar terpuruk, ditambah lagi ayah harus mendekam dikantor polisi karena tuduhan penipuan. Ini semua karena rekan kerja ayah yang curang, mengkambing  hitamkan ayah. Aku benar-benar benci kepadanya. 

Sekarang aku hanya tinggal bersama ibu. Dirumah alm. Kakek orang tua ibu. Aku dan ibu hidup dengan sisa-sisa tabungan, hasil kebun pemberian kakek untuk ibu. kebun itu berada tepat dibelakang rumah tempat tinggal kami. Kebun itu luas berisi banyak jenis tanaman buah. Dan halaman rumah yang luas ibu, sulap jadi kebun sayur.

Setiap hari ibu kekebun, merawat semua sayur dan buah-buahan. Jika sudah di panen sebagian di makan dan sebagian dijual kepasar. Dan aku hanya terdiam, melihat semua pekerjaan itu. Jujur sampai saat itu aku masih belum biasa menerima semua keadaan itu.

Sikapku pun belum berubah, aku masih gadis yang sombong, manja, pemarah, pemalas. Walaupun aku tinggal dikalangan orang yang ramah, sopan dan saling menghargai. Sampai suatu ketika ibu jatuh sakit, beliau pingsan dikebun. Tak ada rumah sakit, atau pun puskesmas. Hari itu aku tidak kesekolah. Aku menjaganya, aku benar-benar takut kehilangannya.  Aku sangat menyanyanginya.

Sejak saat itu, sikapku berangsur-angsur berubah. Aku mulai shalat memohon kesembuhan ibu, dan kebebasan ayah. Aku pun mulai bergaul dengan tetenggaku, dan aku pun mulai menggantikan semua pekerjaaan ibu. 1 lagi, aku tak pernah lagi terlambat bangun.

Tetanggaku yang menjaga ibu, ketika aku harus kesekolah dan ketika aku menjual sayur dan buah-buahan dipasar. Disitulah aku merasakan bahwa aku tak sendiri dan aku punya orang-orang yang mau membantuku, bukan karena harta yang kumiliki. Mereka membantuku dengan sepenuh hati. Dulu aku selalu menganggap uang adalah segalanya. Ternyata itu tidak benar.

Setelah beberapa hari, ibu pun mulai memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan. Aku sangat senang melihatnya. Aku tak membiarkan ibu melakukan semua pekerjaanya lagi. Setelah kejadian itu aku benar-benar berubah, bukan cuma sikapku, tetapi prestasiku pun berubah. Aku yang dulunya hanya peringkat terbawah dikelas, kini aku yang jadi peringkat pertama dikelasku. Waw,,, pencapaian yang sangat menakjubkan. Ibu sangat senang dengan semua perubahanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun