Mohon tunggu...
Walkhot Silalahi
Walkhot Silalahi Mohon Tunggu... Guru - Mencerdaskan generasi penerus bangsa

Menuangkan ide dalam bentuk cerpen juga dalam artikel dalam hal pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Hati Si Kecil

5 November 2021   11:24 Diperbarui: 23 April 2024   22:00 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup dan kehidupan silih berganti ada yang lahir, ada juga yang meninggal disaat bersamaan. Daun hijau, tidak lama kemudian layu dan kering berakhir di pembakaran sampah pekarangan. Aku si kecil mungil tak lebih dari dua sentimeter tubuhku, namun jangan salah sekalipun aku kecil, aku perkasa, kuat dan tangguh. Si mungil kecil lincah dan cekatan duapuluh kali dari berat badanku mampu ku angkat, jika tak bisa maka secepat kilat teman sebangsa setanah air datang berkerumun membantu meringankan bebanku. Inilah aku hidup dari kehidupan di semua lini. Terkadang istana raja tempatku berajibaku mencari remah-remah nasi, juga remah-remah roti. Semua jenis makanan adalah favoritku manis tak ku tolak, asam tak kubuang.  

Aku sebagai pengamat bawah tanah terkadang dan lebih sering kasihan melihat calon cendikiawan yang memegang corong berjas warna-warni menyuarakan "Turunkan pemimpin negeri ini. Tujuh tahun memimpin yang ada ekonomi negeri ini bukannya meningkat malah menurun." Aku si kecil tertawa mendengar suara itu. Sahabatku pernah bercerita, "Yang berjas warna-warni itu adalah calon cendikia yang aktif meneliti kegagalan orang lain" Aku termangu mengingat hal itu. Kembali calon cendekia berjas warna-warni bersuara, "Batalkan undang-undang hak cipta kerja" "Sangat aneh sekali pernyataan calon cendikia berjas warna-warni ini" hati kecilku bergumam. "

Supaya kamu cekatan dan terampil bekerja ya belajarlah dari sistem manajemen kami yang kecil ini. Dimana prinsip pelayanan manajerial kami adalah ringan sama dijinjing berat sama dipikul." Hati kecilku kembali bersuara sementara aku berupaya keluar mencari makan diantara himpitan kaki-kaki raksasa calon cendikia di pelataran taman pemimpin negeri.

Setelah ku melangkah beberapa meter kutemukan tumpukan roti boleh jadi lupa atau malas dimakan oleh manusia kelompok calon cendekia seluruh pelosok negeri ini. Setelah kutemukan makan kesukaan walau sudah dibuang tetap makanan ternikmat bagi kami kaum si mungil kecil berbadan dua sentimeter ini.

Kucium, ku telusuri kenyamanan dari himpitan bahkan serangan calon cendikia anak negeri maka setelah ku pelajari tingkat keamanan maka tanpa dikomando kucari teman dan sahabat sesama mungil dan kecil untu bergotong royong mengangkat makanan persediaan sebelum hujan. 

Supaya cepat mendapat teman maka alat yang ku gunakan sebagai pelacak keberadaanku keluar yaitu feromon. 

Ini adalah jejak kimia yang ditinggalkan kaumku saat mencari makanan. Di sini, feromon tersebar di seluruh taman bahkan jembatan kecil pemimpin negeri ini. Disaat feromon menguap dengan cepat maka putuslah komunikasi satu dengan yang lain. Untuk itulah, kaumku selalu berupaya mencari makan tidak lebih dari dua ratus meter. Kaumku selalu mencari jalan paling pendek. Karena semakin panjang jaraknya, risiko makin banyak dan aroma feromon semakin lemah. 

Alat ini lebih canggih dari mesin panggil manusia tanpa di cas ulang yang penting tidak jauh maka akan segera berhimpun. Betul saja, teman dan sahabat sekaum ku sudah datang berkumpul mengangkat makanan kesukaan kaumku.

Sementara aku dan kaumku lagi bersemangat bergotong royong kembali lagi suara calon cendikia berkumandang, "Menuntut dan mendesak pemerintah untuk mengembangkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalam negeri. Wujudkan kebebasan sipil seluas-luasnya sesuai amanat konstitusi dan menjamin keamanan setiap orang atas hak berpendapat dan dalam mengemukakan pendapat.  Wujudkan Supremasi Hukum dan HAM yang berkeadilan, tidak tebang pilih dan tuntaskan HAM masa lalu." Apalah aku dan kaumku yang kecil dan mungil ini, hanya bisa dikebas, diinjak, bahkan dipukul. Aku dan kaumku hanya bisa berlari menghindari kejamnya manusia ganteng dan cantik yang sadis juga suka meringis.

"Berhentikan Fiba sebagai Ketua KPK,menuntut pemimpin negeri untuk memberikan afirmasi PPPK guru berusia di atas 35 tahun dan masa mengabdi lebih dari 10 tahun untuk diprioritaskan kelulusannya, serta mengangkat langsung guru honorer yang berusia di atas 50 tahun." Aku tak tahu berapa usiaku demikian juga kaumku yang tetap semangat menyediakan makanan ratu dibawah tanah.

Aku dan kaumku hanya bisa bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja sebelum musim hujan tiba. Aku dan kaumku terbiasa menyapa lewat beradu antena dan beradu bibir sebagai rasa kekeluargaan. Memang sangat jauh sekali budaya simungil dengan anak-anak negeri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun