Ada yang mengutarakan kebanggaan tentang anaknya yang berhasil mengadakan pameran barang daur ulang yang diolah menjadi menarik dan bermanfaat. Kami semua memuji kreativitas dari pameran tersebut.
Tapi apa kata Ben? Ia memuji, lalu merendah, tapi untuk meninggikan diri.
"Barang daur ulang? Wow! Itu menarik. Tapi keluarga kami memang menyebalkan. Selalu gengsi menggunakan barang bekas, meskipun itu sudah diolah menjadi menarik." Semua pembicaraan tentang diri seseorang, selalu dipantulkan ke dirinya.
Selanjutnya, orang yang akan mulai berbicara itu, tidak jadi meneruskan kisahnya. Karena percakapan sudah disabotase oleh Ben. Topik pembicaraan akhirnya menjadi topik tentang bagaimana hebatnya dirinya.
Ben tidak bodoh. Ia dapat menceritakan kehebatannya dengan gaya "low profile". Seakan-akan begitu rendah hati. Tetapi yang mendengar juga tidak bodoh. Kami paham bahwa itulah caranya menonjolkan diri. Ujung-ujungnya, seperti selalu terjadi, semua topik pembicaraan akhirnya terpusat pada Ben.
Hidup adalah kompetisi, seolah menjadi falsafah bagi orang-orang seperti Ben. Ia harus selalu berada di  atas yang lain. Kalau ada yang berkarya lebih dari dirinya, orang itu akan dicari-cari kekurangannya.
Ibaratnya, jika ada seseorang yang akan berjalan tanpa disertai hambatan, Ben seakan siap menjulurkan kakinya untuk menghalangi jalan. Brak! Orang lain pun bisa terjengkang karenanya.
Kerbau Punya Susu, Sapi Dapat Nama
Bagaimana kalau orang seperti Ben ada dalam lingkungan pekerjaan yang perilakunya sampai mengganggu profesionalitas?Â
Prestasi seseorang di tempat kerja bisa menjadi tak berarti. Karena ada orang yang tanpa segan bisa mengecilkan, menjatuhkan prestasi, bahkan merusak reputasi rekan kerja yang lain.
Perilaku di atas adalah salah satu contoh dari perilaku narsistik, Biasa juga disebut "orang narsis". Â
Menurut Wikipedia, "Seorang yang narsis biasanya terlihat memiliki rasa percaya diri yang sangat kuat, tetapi apabila narsisme yang dimilikinya sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri yang kuat tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang tidak sehat, karena hanya memandang dirinya sebagai yang paling hebat dari orang lain tanpa bisa menghargai orang lain."