Pertama kali saya mengenal Ben, ia tampak sebagai seorang yang berkharisma. Ia mampu meyakinkan orang dengan deretan kebaikan yang telah dilakukannya. Kalau ia bercerita tentang hal ini di depan orang banyak, saya masih menganggapnya ingin berbagi pengalaman.
Kalau ia bercerita bahwa ia bisa melakukan sesuatu lebih baik daripada orang lain, saya menganggapnya ini karena kepercayaan dirinya yang besar.Â
Ia begitu percaya diri menguraikan bahwa orang lain telah melakukan kesalahan, sementara ia dapat melakukan hal yang sama dengan tepat dan benar.
Tak jarang ia bercerita tentang kehebatan anak-anak dan keluarganya yang terus diulang. Saya pikir, mungkin semua orangtua yang sukses akan melakukan yang sama. Tanpa sadar suka membanggakan anak dan keluarga.
Karena ia suka memancing, ia pernah menawarkan akan membawakan saya ikan besar hasil pancingannya. Ia pandai membuat seseorang merasa berarti. Ini membuat orang mudah bersimpati dengannya pada pandangan pertama.
Sampai suatu ketika intuisi saya merasakan sesuatu yang janggal. Setiap ada orang yang berbicara tentang kebanggaannya, maka Ben seakan selalu siap menjatuhkan. Padahal orang itu jarang berbicara. Tapi sekali buka mulut, kebanggaannya itu "dibanting" oleh Ben.
Saya juga mulai melihat bahwa Ben gemar menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Kalau ada orang yang berbicara tentang pengalaman dan kebanggaannya, Ben seakan tak mau mendengar. Dan mengubah topik yang dibicarakan seseorang menjadi topik tentang dirinya.
Seseorang bercerita, "Saya baru kembali berlibur di Spanyol. Kami ke pantai pasir putih di Alicante."
Ben menjawab, "Kamu tidak ke negara yang lebih jauh lagi? Saya sudah mengunjungi hampir semua tempat di dunia ini."
Yang lain bercerita, "Tahun lalu kami sulit cari hotel. Untunglah hotel kami tempat menginap di London sangat nyaman dan indah sekali."