Bagaimana kalau pengidap gangguan kepribadian narsistik dengan perilaku toksiknya ini berada di tempat kerja?
Tulisan ini tidak berpretensi membahas teori psikologi, hanya sekadar catatan tentang perilaku narsistik dan toksik yang saya lihat sebagai seorang awam. Teori yang dikutip hanya untuk menjadi pijakan bagi tulisan ini. Â
Saat rehat bersama rekan kerja, kami duduk minum kopi atau teh. Di saat itu kami berbincang soal-soal ringan. Ada yang berbicara tentang ramalan cuaca belakangan ini meleset melulu.Â
Ada juga yang sekadar mengomentari rekan kerja lain, "Rambutmu sudah kepanjangan, Fred. Kapan kamu ke tukang cukur?"
Kemudian perhatian kami tertuju pada seorang ibu. Ia mengeluh tak bisa bertemu anaknya beberapa bulan ini. Anaknya sedang sakit di Rusia, tapi ia tak bisa menjenguknya. Dan karena Rusia bukan negara anggota Uni Eropa, ia tak bisa begitu saja melakukan perjalanan spontan dari Belanda ke Rusia. Ia mengalami kesulitan dengan pengurusan visa.
Mendengar keluhan ibu itu, seseorang dari kami, sebut saja Ben, terlihat sigap mencari solusi. Ia membuka ponsel, mencari info di Google.
Ben memberi saran, hubungi lembaga anu, mungkin ini dapat membantu. Ibu yang berkaca-kaca bercerita tentang anaknya itu, mengucapkan terima kasih. Kemudian ia pamit untuk mengerjakan sesuatu.
Ketika ibu itu pamit, Ben berkata padanya, "Kalau ada apa-apa, hubungi saya saja. Kapan saja, saya selalu siap membantu."
Yang mengejutkan, begitu ibu itu sudah menghilang dari pandangan, Ben mengatakan sesuatu pada kami semua.
"Huuhhhh... untung dia tidak jadi pindah rumah ke dekat rumah saya. Bisa-bisa saya ikut direpoti persoalan dia yang setumpuk itu!"
Deg! Saya hampir tidak bisa percaya mendengar ucapan Ben. Baru saja ia mengucapkan siap membantu. Begitu ibu itu berlalu, ia malah bersyukur. Sebab tak jadi bertetangga dengan ibu yang dijanjikannya "siap dibantu kapan saja". Saya membatin, memang lidah tak bertulang. Lain di bibir, lain di hati.