Refleksi tentang jarak, sistem, dan cara kembali mendengar
Pagi di pasar tradisional: seorang ibu pedagang mengeluh karena harga bawang naik, anaknya menunggu kursi puskesmas, sopir angkot berdehem menahan napas menatap bensin yang kian mahal. Di sudut lain kota, ada kantor pemerintahan megah, kendaraan dinas berjajar, dan agenda resmi yang rapi---rapat, foto, pelepasan bantuan, lalu resepsi. Dua dunia ini berjalan beriringan, namun ritmenya berbeda; yang satu jenuh oleh kebutuhan sehari-hari, yang lain berjalan dalam protokol dan kenyamanan.
Kenapa jurang ini melebar hingga membuat pemimpin "tak peka"? Jawabannya bukan satu saja---ia berlapis: psikologis, struktural, sosial, dan politik. Berikut pembacaan yang berusaha memotret sebab, konsekuensi, dan jalan keluar.
1. Kenyamanan yang mematikan rasa peka
Kenyamanan hidup memberi efek yang halus namun kuat: ketika kebutuhan primer mudah terpenuhi---rumah aman, akses layanan cepat, kebutuhan pribadi dilayani---kebiasaan merawat masalah sendiri menjadi pudar. Rasa simpati tak cukup jika tak ditopang pengalaman hidup yang sama; empati sering lahir dari kemiripan pengalaman, bukan hanya niat baik. Kondisi "hidup terlindungi" membuat banyak pemimpin kehilangan kontak langsung dengan ketidaknyamanan yang dialami mayoritas rakyat.
2. Sistem membangun tembok informasi
Birokrasi dan protokol bertindak sebagai penyaring. Laporan yang sampai ke meja pimpinan sering sudah disunting agar "aman" dan layak tampil; masalah yang tajam dipelintir agar tidak menimbulkan kegaduhan. Dalam literatur politik, ada kajian tentang bagaimana aktor politik memperkuat insulasi kebijakan---yakni usaha untuk melindungi kebijakan dan aktor dari tekanan politik eksternal---yang berimplikasi pada keterbatasan arus informasi ke puncak pengambilan keputusan.Â
3. Hidup dalam ekosistem sosial berbeda
Pemimpin sering bergaul dalam jaringan elite: pengusaha besar, pejabat, konsultan, akademisi tertentu---lingkaran yang mayoritas berasal dari strata ekonomi dan kultural yang serupa. C. Wright Mills sejak lama menulis tentang bagaimana elite membentuk "dunia sendiri" yang berbeda dari pengalaman rakyat biasa; gagasan ini menjelaskan mengapa persepsi realitas bisa berbeda drastis antara pemimpin dan rakyat.Â
4. Politik transaksional dan orientasi pada kekuasaan
Banyak keputusan politik terbungkus logika transaksi---siapa berkontribusi, siapa memberi dukungan, siapa yang perlu dilunakkan. Ketika orientasi politik bergeser dari pelayanan publik ke pengelolaan dukungan, prioritas kebijakan cenderung mengikuti kepentingan yang memelihara kekuasaan, bukan kebutuhan warga. Dalam konteks Indonesia dan banyak demokrasi lain, praktik patronase dan clientelism memperkuat hubungan transaksional ini sehingga perhatian kepada kebutuhan kolektif berkurang.Â