Sama halnya, kita selalu menciptakan rencana pada ekspektasi yang berlebihan. Kita tak lagi menggunakan pola hiberpola pada fikiran dan tindakan tersebut, semua konsep akan mengarah pada tindakan dan fikiran kita tersebut memiliki konsekuensi pada akhir yang seperti apa. Jika ada sesuatu yang diperoleh dari sebuah kehendak diri untuk orang lain ataupun untuk diri sendiri. Maka pilihan itu kembali pada bagaimana kita sendiri yang menjalaninya.Â
Apakah kita bisa mewujudkan ekspektasi dengan nyata?. Tentu jawaban ini tidak secara hierarki terjawab pada tulisan ini. Akan tetapi, kita bisa menemukan satu jawaban bahwa kita tidak harus dan tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Kita tidak bisa hidup tanpa orang lain jika kita masih ada di dunia, kita membutuhkan mereka untuk menjalani apapun. Dari hidup hingga mati kita membutuhkan orang lain untuk Menjalaninnya.Â
Akan tetapi, hidup bukan tentang kenyataan yang lain, bukan tentang kebutuhan orang lain semata ataupun kebahagiaan orang lain. Tentu kita semua akan bersepakat bahwa kita adalah diri yang hidup dengan keinginan di balik kebutuhan individual. Sesuatu yang selalu kita harapkan sejak awal adalah kita bisa menemukan tawa dan bahagia dengan kita sendiri mengawalinya.Â
Tak perlu berakit ke hulu untuk bersakit dahulu, dan tak perlu berenang kemudian untuk bersenang kemudian. Yang kita perlukan adalah berenang dahulu untuk mencari makna hakikat kehidupan dan pergi ke hulu untuk mencapai kebahagiaan. Kita hanya perlu melakukan jeda pada kegagalan, tentunya kita tak membantah bahwa kegagalan tidak pasti. Ia mewujudkan dan memanifestasi secara ada pada kenyataan hidup, tetapi setidaknya kita memiliki proyek besar bahwa realita kita adalah tentahg pilihan dan tanggung jawab.Â
Banyak hal yang tak kita ketahui dan sedikit tentunya yang ada di dalam kantong pengetahuan kita. Kita tak perlu mengeceknya, karena tentu kita memahami bahwa hidup adalah misteri bagi kita dan bagi yang lainnya. Bermanfaat atau tidaknya kita bukan rumusan yang difikir kan secara holistik.Â
Perlu dilakukan adalah tindakan dan fikiran kita haruslah saling terarah, hierarki, seimbang dan seiras. Ekspektasi tak bisa mendahului realisasi. Ekspektasi adalah fiksi yang di rencanakan dalam fikiran, namun ia menjadi nyata ketika di aplikasi kan dengan optimis. Tidak ada kewajiban mengetahui akibat, tentu tak semua orang memiliki keberhasilan.Â
Kemenangan tak pernah menghianati hasil dan usaha tak pernah menghianati hasil. Sejauh apapun kita mulai menjadi manusia yang lebih baik lagi, membuat rencana begitu perfeksionis. Tetap saja itu semua adalah ekspektasi yang di rencanakan. Mengulang kalimat kutipan sebelumnya;
"Seseorang akan terjebak pada pertanyaan apakah dirinya saat ini mampu melakukan hal yang diinginkannya. Kadang sesuatu ekspetasi jika di wujudkan mendapat banyak resistensi. Kenyataan banyak hal, tetapi impian menjadi sejuta hal yang selalu diharapkan".Â
Dengan satu konklusi bahwa kita selalu mengarah pada tindakan yang semestinya diinginkan. Tentunya pengharapan pada ekspektasi atau rencana selalu didepankan, namun yang lebih dari itu semua adalah kenyataan. Bahwa kegagalan tidak bisa dihapus, takdir tidak bisa dikontrol untuk tidak akan berhadapan pada kita, melainkan kita bisa meminimalisir kehadiran nya.Â
Sebuah ekspektasi tentang dunia dan hidup menjadi ekspektasi berlian, ia tidak di selami sedalam palung mariana maupun tidak setinggi gunung. Melainkan ekspektasi adalah prarencana yang begitu sempurna, namun kecacatan akan terlihat didepan mata ketika di realisasikan. Ekspektasi adalah kunci ketidaktahuan pada pengetahuan yang kita miliki, sehingga segala tentang hidup mengartikan banyak hal, banyak cerita, banyak pertanyaan dan banyak jawaban.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI