Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tentang Kesetiaan

10 Desember 2019   13:36 Diperbarui: 10 Desember 2019   13:51 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyayangi jiwa tarian. Sebenarnya aku ingin kedua-duanya berjalan tanpa kendala. Tetapi kadang Sandi suka merajuk. Padahal ia sendiri juga punya jiwa seni dan aku belajar darinya. Rupanya ia beberapa kali merasa stagnan.

Sandi sekarang memang fokus ke hal lain. Ia berbisnis ternak. Yang sangat jauh dengan hobinya dulu. Menari. Pantas saja dulu ketika aku pertama kali datang dari belajar tari di negeri tetangga, tak kutemui lagi sanggar tarinya. 

Ia merasa kehilangan sebagian nyawanya di tarian ketika aku pergi selama tiga tahun. Akhirnya ketika teman kuliahnya menawari bisnis ternak, ia mengiyakan. Sandi yang sarjana peternakan, merasa mendapatkan jalurnya kembali untuk menekuni bidang peternakan. 

Sandi kadang masih ikut menari, melatih anak didikku di Sanggar Icha. Tidak sering, hanya ketika waktu sela, dan saat ia kangen dengan tarian.

Aku sering memandangnya tak putus ketika ia menari. "Inikah lelaki yang aku cintai?" tanyaku dalam hati kepada diriku sendiri. Sosok yang baik dan amat mengertiku. 

Lalu aku melihat diriku sendiri. Sungguh sangat kontras dengannya. Aku lebih bersifat egois dan jarang mengertinya. Bodohnya aku. 

Itu disebabkan karena aku memiliki cita-cita tinggi, ingin membesarkan sanggar. Dan bakat yang aku miliki, tak bisa kubendung. Apakah salah jika aku lebih fokus ke sanggar?

Beberapa kali Sandi meminangku dan aku mengatakan belum siap. Bukankah sebuah persiapan pernikahan juga membutuhkan banyak hal? Belum lagi aku memikirkan Intan. Ia masih membutuhkan biaya yang banyak untuk sekolahnya. Intan menjadi tanggung jawabku penuh sejak papa mama tiada. 

Untunglah Intan sangat dewasa dan sering membantuku di sanggar. Ia juga memiliki bakat sepertiku. Tetapi ia bercita-cita menjadi ahli obat. Ia ingin kuliah di Farmasi. Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Aku bagai orang tua pengganti untuk Intan. Bahkan sering mencemaskan Intan. Juga pergaulan dengan teman-temannya. Tak jarang aku menasehati agar ia tetap menjadi anak yang santun. Padahal Intan anak yang baik. Ia sering memprotes atas proteksiku. 

"Kak, aku bisa jaga diri, okay? Kakak nggak usah terlalu cemas, deh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun