Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Indah Kerlip Bintang Abadi, Itu Milikku

19 Februari 2019   12:07 Diperbarui: 20 Februari 2019   16:57 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Bintang-bintang telah kembali. Nyala lampu mulai bertebaran. Langit gelap, sensasi kerlip di sana. Semakin lelah tubuh ini, kusandarkan dalam bidang bahumu.
Kamu dalam diammu, aku dalam diamku.

Telah lama aku membuai nikmatnya cinta dan sayangmu. Terlukiskan segala keindahan yang tak berkesudahan. Kita, aku dan kamu tersenyum. Tertawa. Berteriak. Menyapa. Bercanda. Manyun. Marah. Cemburu. Cemberut. Lalu terbahak-bahak.

Mengingat semua peristiwa itu yang mengelibat tiba-tiba. Beberapa waktu lalu, sekilas wajah cantik rupawan menjelma dewasa. Ia dulu kecil mungil lucu dengan rambut ikal panjang sebahu. Oh, sebentar lagi ia sweet seventeen. Ia bertanya padaku, "Bunda, apakah aku telah dewasa?"

Tentu saja mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dan tak disangka, aku menjadi jengah. Lalu aku tersadar. Ia mulai bertumbuh dan menuju dewasa. Aku berusaha bijak menjawab, "Nak, kau semakin matang, jaga dirimu baik-baik, ya."

Ia menganggukkan kepala. Tak membantah. Sorot matanya bening. 

"Ah nak, kau adalah tambatan hati bunda." kataku diam-diam tanpa menoleh ke wajahnya lagi. Air mata merembes pelan di sudut mata. Hanya sedikit. Aku tak ingin ia melihatnya.

Sang ayah tak mau kalah, menggodanya, "Awas, ada cowok temanmu kemari, hadapi dulu ayahmu."

Ia yang dulu kecil lucu dengan rambut ikal panjang sebahu hanya tersenyum. Lalu iapun berkata," Ah, ayah, aku kan bisa jaga diri." Hanya jawaban ringan yang ia berikan. Pipinya yang kemerahan, tanda bahwa ia malu pada godaan Sang Ayah.

Hanya aku saja. Mengingat. Saat itu, kamupun ~Sang Ayah~ dulu pernah mengalaminya. Menghadapi Bapak yang galak tapi bijak. Untung saja hatimu baik. Lemah lembut bak pualam. Meski kadang garang oleh amarah, saat suasana hati yang sedang gundah oleh masalah lain. Tetapi kepadaku, hatimu selalu baik.

Akhirnya hati Bapak luluh karena kehalusan budimu. Menerimamu tanpa syarat. Mengikhlaskkan putrinya kepadamu. Aku.

"Terimalah cintaku," begitu katamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun