Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hariku bersama Kinan #2

25 Juli 2018   08:22 Diperbarui: 26 Agustus 2018   19:34 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusrtrasi: shutterstock

Cerita sebelumnya.

Mengapa aku begitu bahagia? Sedang lara baru saja hadir. Tetapi aku tak dapat menghindarinya, saat bahagia dan lara datang bersamaan. Lalu, mana yang harus kupilih? Haruskah aku memilih lara yang membawa kenangan masa bahagiaku dulu? Atau bahagia, yang menutup laraku hari ini?

Terus terang, jika aku lebih memilih laraku, memang akan membuatku sedih. Tetapi sedih itu mengingatkanku pada seseorang. Yaitu Dena, bahagiaku di masa lalu.

Dena adalah wanita yang aku cintai. Selamanya. Aku menyebutnya cinta sejatiku. Ia tak akan tergantikan oleh siapapun. Dena adalah Dena. Yang telah memberikanku Kinan. Seorang gadis kecilku, meskipun sekarang tak lagi kecil. Bahkan telah menjadi seorang mama bagi Aurora.

Tetapi...

Dena tak ingin menemaniku. Ia memilih untuk meninggalkanku lebih dahulu. Ia pergi. Ia lebih dicintai oleh-Nya. Aku berharap ia akan menungguku di alam keabadian. Alam di mana aku akan bersamanya. Selamanya. Tak ada yang bisa merubahnya. Aku sangat mencintainya.

Aku tahu, Dena telah menungguku. Di alam keabadian. Sesuai janjinya dulu. Tak akan ada cinta yang lain selain diriku. Hatinya hanya untukku.

Dan kini...

Ketika hadir rasa bahagiaku. Saat dalam menunggu waktu untuk bertemu Dena. Seseorang datang memberikan bahagia. Dengan hati yang tulus. Beserta rasa pengabdiannya. Bahwa ia datang hanya untukku.

Ya, ya. Aku mengakui. Aku bahagia dengan kehadirannya. Meskipun mungkin tak akan bisa sempurna menggantikan kedudukan Dena dalam hatiku. Tetapi ia mampu menutup rasa perihku. Menggantikannya dengan sebuah rasa. Efek rasa suka. Dan bahagia?

Bahagia, karena sejenak menutup laraku. Tentang Dena, yang sedikit terhapus ketika aku berhadapan dengannya. Meski tak sepenuhnya. Masih ada rasa bersalah, bahwa aku merasa, telah meninggalkan Dena. Tapi bukankah keabadian akan menjemputku kelak? Sedang aku masih ada di alam yang berbeda dengannya. Alam yang telah membawa Dena menjauh dariku.

***

Maya. Wanita lembut. Usianya jauh di bawahku dan Dena. Ia masih muda. Tetapi jiwanya keibuan. Mampu menjadi sahabat buat Kinan. Bagai mamanya sendiri. Maya mampu menggantikan posisi Dena. Maya adalah teman kerja Kinan. Memang usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Kinan. Tetapi ia bisa menjadi ibu dan kakak buat Kinan, yang sangat merindukan sosok mamanya.

Ia bagai menjeratku dalam lingkaran labirin yang membuat bingung. Tetapi Maya membuat aku bahagia yang menutup lara. Oh, begitukah?

Ketika aku bertanya pada hatiku, kadang kehadiran Dena dalam benakku, membuat diriku menolak kehadiran Maya. Tetapi Maya juga telah mengambil sebagian hatiku untuk ia sembunyikan di dalam hatinya. Ia telah mencurinya. Dengan kelembutan hatinya. Ketulusan hatinya.

Saat aku bertanya padanya, apakah ia mau menerimaku apa adanya? Apakah ia tak takut padaku? Sedang aku adalah begini adanya. Seorang penyendiri. Seorang yang lebih suka bersahabat dengan teks yang bergerak di atas layar laptop?

Maya mengangguk. Ia mau menerimaku.

Tetapi ada rasa ketakutan dalam hatiku. Suatu saat, ia akan pergi. Kalah oleh hatiku yang tak sepenuhnya bisa luluh. Maafkan aku Maya. Tak sepenuhnya aku bisa menerimamu. Ketakutan ini, membuat hatiku menjadi bimbang.

***

"Ayah sudah siap? Buruan ya, yah. Jangan kelamaan. Tante Maya telah menunggu. Suatu saat, Kinan akan sangat bahagia jika Kinan bisa memanggilnya Mama. Dan Aurora akan memanggilnya... Nenek. Hem," kata Kinan sambil tersenyum. Merasa lucu pada dirinya sendiri. Dan merasa menjadi orang yang paling bahagia. "Pokoknya ayah nggak boleh nolak untuk kali ini. Tante Maya itu orangnya baik banget." sambungnya.

Seperti biasa, Kinan selalu cerewet dan banyak bicara. Meskipun aku selalu kangen pada kehadiran dan kecerewetannya, tetapi saat ini aku lebih suka jika ia diam saja. Hatiku sedang kacau. Aku butuh tenang.

Aku akan melamar Maya. Datang ke rumah orang tua Maya. Mereka telah menyetujui hubunganku dengannya. Awalnya memang tidak. Tetapi demi Maya, anaknya yang telah memiliki keputusan untuk melabuhkan hatinya padaku. Akhirnya mereka membuka pintunya untukku.

"Aji, ayah dan ibuku memanggilmu untuk datang ke rumah." katanya pada suatu hari.

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Kau harus mengatakan bahwa kau serius."

"Tentu saja aku serius. Kamu meragukanku, Maya?" kataku menggodanya.

"Suasana hatimu, yang membuatku takut." sahutnya.

"Tak usah takut. Aku akan datang ke rumahmu. Untuk memintamu menjadi istriku." kataku sambil memeluknya. Ia merasa bahagia dan nyaman.

***

Satu jam. Aku masih terpaku. Kinan yang sedari tadi menelponku. Hampir tiap menit berlalu. Untuk segera bersiap. Dan selalu kujawab, "Iya, Ayah siap, Kinan. Nanti Kinan temani ya? Aurora juga. Dananjaya juga harus ikut menemani ayah."

Kinan tergelak melihat kepanikanku.

"Ayah bagai anak muda aja. Seperti Dananjaya saat mau melamar Kinan dulu." godanya.

"Hush.. kamu ngeledek ayah, ya?"

Dan Kinan semakin tergelak.

***

Dan kini. Di waktu sekarang. Jam sekarang. Aku harus datang ke rumah Maya. Harus. Ia telah menungguku. Tetapi kakiku terasa berat. Seperti beban berton-ton menghalanginya. Telepon yang berdering dari tadi aku biarkan berbunyi. Aku tahu, itu dari Kinan. Aku tak peduli.

Hatiku berdetak kencang. Dena seolah hadir di sini. Ia seperti sengaja menemani. Suaranya berbisik, "Aji, aku mencintaimu."

Aku terbawa arus. Dena seolah mengajakku untuk pergi.

"Dena, tunggu aku. Kita akan pergi, kan? Bersamamu adalah suatu kebahagiaan. Aku menunggu momen seperti ini sejak lama. Tunggu aku, Dena."

"Kemarilah, Aji. Datanglah kepadaku. Mari kita pergi bersama." kata Dena sambil memberikan tangannya kepadaku. Mengajakku untuk pergi. Segera kusambut tangannya.

"Tunggu aku, Dena."

Tetapi mengapa ia semakin menjauh? Ketika aku berusaha untuk meraihnya, ia segera berlalu. Lalu aku mengejarnya. Ia berlalu sambil berkata, "Aji, ikutlah denganku."

Ia mengajakku, tetapi mengapa tak mau menungguku? Membiarkanku berusaha meraihnya dan tetap berlalu? Mengapa Dena? Bukankah kau ingin bersamaku? Selamanya? Tunggu aku, Dena. Tunggu aku!

Aku mulai putus asa. Nafasku kian terengah. Aku melupakan segalanya. Pandangan mataku kian buram. Lalu gelap.

***

"Syukurlah, ayah sudah siuman."

Suara itu terdengar jelas di telingaku. Dan, saat ini. Entah di mana diriku.

Lalu Dena? Kinan? Maya?

________


Semarang, 25 Juli 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun