Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hariku bersama Kinan

15 Mei 2018   15:04 Diperbarui: 17 Mei 2018   05:47 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: shutterstock

Mungkin hari ini hanya aku yang bersikap berlebihan. Tetapi entah. Perasaanku seperti gemuruh ombak. Mengalun menuju pantai tapi tak pernah sampai ke tepian. Hanya pantai saja. Aku menunggunya. Biasanya pada jam sekarang, ia telah ada di hadapanku. Berceloteh banyak hal, seolah menggambarkan bahwa dunia tak akan sepi jika ada dia. Bahkan burung perkutut depan rumah yang biasanya bersenandung, masih kalah merdu oleh suara berisiknya.

Ah, ia pasti hapal, bahwa hari ini adalah hari istimewaku. Dan biasanya di hari istimewa, akan ada sedikit perayaan dan ucapan yang bisa membuatku tersenyum lebar. Mengenang masa lampau, lalu tertawa berderai, berdua.

Dering telepon tak berbunyi. Padahal jika ia tak bisa mengunjungiku, akan ada pemberitahuan lewat telepon. Ada apa dengannya? Apakah karena peristiwa kemarin, ketika aku sedikit menumpahkan kekesalanku, hanya karena ada rekan yang menyalahi janji, melalui telepon. Pada saat itu, hanya ada dia dihadapanku. Tak sengaja, aku berteriak dan membuatnya kaget. Dirinya sedikit ketakutan. Selama ini, tak pernah satu kalipun aku membentaknya. Aku begitu sayang padanya. Tetapi, bukankah aku telah meminta maaf dan ia mau memakluminya?

"Maafkan aku, Kinan. Aku tak sengaja."

Dan jawabannya hanya sedikit nyengir karena masih ada rasa takut padaku. Memang tak biasanya aku berbicara keras di hadapannya. Ia berjiwa lembut, seperti...

"Tak apa, ayah. Kinan ngerti. Ayah lagi bingung."

Dan Kinan adalah putriku satu-satunya. Ia yang telah beranjak dewasa, kemudian harus lebih condong ke suaminya. Ia tinggal bersama suaminya dan hanya bisa menjengukku saat ada waktu istirahat di sela jam kerja. Kebetulan, tempatnya bekerja hanya berjarak satu blok dari rumah. Ia seperti back to go home. Meski hanya sebentar.

Ia akan membawakanku sedikit oleh-oleh untuk makan siangku. Untuk menjadi teman ujung-ujung text yang ada di layar laptop. Text yang senantiasa menemani hari-hariku. Bahkan pernah seharian aku tak pernah keluar rumah, hanya karena text yang berharap padaku untuk disentuh. Temanku sekaligus pemberi secercah gemericik masa depan.

***

"Ayah harusnya tak keras hati." katanya pada suatu hari. "Atau ayah memiliki pandangan lain?"

"Tidak, Kinan. Ayah akan seperti ini. Ayah tak akan mengubahnya. Kamu mengerti itu kan?"

"Lalu?"

"Tidak ada lalu, seperti inilah ayahmu."

Kemudian Kinan akan sedikit menggerutu, yang entah berbicara tentang apa, karena aku tak ingin mendengarnya. Aku mengerti, ia menginginkan sesuatu, agar aku menjadi bahagia. Tetapi aku memiliki pengertian tersendiri tentang bahagia, yang mungkin sedikit berbeda dengannya. Bukankah aku cukup bahagia? Batinku.

***

Memang kuakui, bahwa pernah aku mencintai wanita lain, selain mamanya Kinan. Tetapi aku tak pernah berani untuk mengatakannya. Keberadaan jiwa wanita yang kucintai yang pernah melahirkan Kinan, masih saja membelenggu. Tak pernah bisa aku pergi darinya. Tak pernah bisa. Aku cukup bersyukur masih memiliki Kinan, mesti tak bisa seutuhnya karena harus berbagi dengan Dananjaya suaminya dan Aurora, si mungil yang membuatku gemas. Sering aku meminta Kinan agar membawa Aurora saat mengunjungiku. Tetapi ia selalu beralasan, bahwa tak bisa membawanya, karena ia ke sini langsung dari tempat kerjanya.

"Tak bisa, Ayah. Aurora ada di rumah. Repot jika aku kembali ke rumah, lalu ke sini dan mengembalikan Aurora ke rumah lagi, baru ke kantor. Jika ayah menginginkannya, Kinan janji nanti hari minggu berkunjung kemari," sergahnya saat itu, ketika aku merajuknya, karena kangen Aurora. Baiklah, aku memakluminya. Dan aku tak cukup kesepian, karena Kinan mampu membawa suasana yang bisa membuatku bahagia.

Kemudian anganku melayang pada sosok berbeda. Maya. Ia adalah wanita lembut, yang bisa mengisi hatiku. Meski hingga sekarang masih belum bisa menoleh kepadanya utuh. Pernah aku dekat dengannya. Soal perasaan, aku tak bisa menebaknya. Tapi aku bisa merasakan getarannya. Bagai sebuah radar, ia bergetar dan menyala selalu. Entahlah. Aku hanya bisa mereka-reka, dan tak berani memastikannya.

Wanita ini, yang diinginkan Kinan agar aku mau menerimanya di rumah ini. Aku menyukainya. Ia hampir mirip dengan Dena, mama Kinan. Tetapi Dena lebih disayang Tuhan. Dan tak bisa menemaniku lagi.

"Tante Maya itu baik loh, yah. Kinan nggak promosi. Tetapi ayah akan bahagia jika ada tante Maya di sini menemani ayah. Kinan rela, jika harus berbagi kasih sama tante Maya. Toh, ayah tetap ayah Kinan. Ayah pasti tetap sayang sama Kinan." Celotehnya. Dan pasti setelahnya aku sedikit menjambak rambutnya gemas.

"Kamu ah, cerewet. Memang cinta mama mau di kemanain?" Kinan terbahak. Jika ia sedang dihadapanku, adalah seorang anak gadis, seperti dulu saat masih menemaniku di rumah ini. Tetapi ia tetap tak bisa memungkiri sang waktu, bahwa ia juga seorang ibu bagi Aurora.

***

Kembali anganku terpental seperti mesin waktu. Ke masa kini. Jam sekarang. Kinan belum datang menjengukku. Layar laptop masih menyala. Kedip-kedip kursor tak berhenti. Ujung-ujung text stagnan. Jemariku hanya terlunglai.  Harusnya Kinan telah ada di sini. Aku menunggunya.

Tiba-tiba suara pintu berderit. Pasti dia. Pasti Kinan. Benar saja, ia Kinan. Entah mengapa rasaku sedikit lebih ringan, seperti terlepas dari beban yang berton-ton menerpa.

"Ayah, maafkan. Kinan terlambat." katanya.

"Tak apa, yang penting kamu nggak papa." Jawabku cemas dan segera menujunya. Kinan mencium pipiku setelah sebelumnya mencium tanganku. Salim. 

Ia memandangku. Memegang tanganku. Ada apa? Seperti menyimpan sesuatu. Dan ia sedikit cemas.

"Ayah, kali ini maafkan Kinan. Jangan marah. Hari ini Kinan membawa seseorang. Semoga ayah berkenan. Kinan bertujuan baik. Kinan nggak bermaksud lancang. Kinan berharap ayah senang dan bahagia." Kinan terus saja berceloteh seperti biasa. Tetapi mataku tertuju pada pintu depan.

Seseorang itu...

"Selamat ulang tahun, Aji," sapanya.

Dan suara lembutnya itu, seketika mampu membuat hatiku bahagia.

Semarang, 15 Mei 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun