Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akar Pancasila Itu Marhaenisme

7 Januari 2018   16:30 Diperbarui: 7 Januari 2018   16:36 4413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (gmnibanjarmasin.blogspot.com)

Dari sebegitu banyak rakyat Indonesia, mungkin buat masa kini, hanya sedikit  yang mengetahui bahwa akarnya Pancasila itu sebenarnya adalah Marhaenisme, suatu ideologi yang mendahului Pancasila. 

Di masa penjajahan Belanda dahulu ideologi Marhaenisme itulah yang lebih dahulu dikenal orang karena Pancasila pada waktu itu belum ada.  

Konsep ideologi itu kemudian diangkat kembali oleh Bung Karnodalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, sewaktu Bung Karnomenyampaikan Pancasila sebagai ideologi Negara dan ideologi Bangsa didepan sidang terbuka Dokuritsu Zyunbi Tyoosakaiyang lebih dikenal pula dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Tetapi, pada waktu itu nama Marhaenisme tersebut tidak diperkenalkannya. Hanya dia memasukkan rumusan ideologiMarhaenisme itu ke dalam ideologiPancasila yang ditawarkannya dalam sidang tersebut, yaitu Socio nasionalismedan Socio demokrasi.

Pada awalnya Ketuhanan Yang Maha Esaitu belum lagi muncul didalam ideologiMarhaenisme. Sila itu baru ditampilkan di dalam Pancasila dan setelah dinyatakan bahwa Marhaenisme itu identik dengan Pancasila barulah sila Ketuhanan Yang Maha Esa tadi masuk kedalam ideologiMarhaenisme.

Begitulah prosesi sejarah dari ideologiMarhaenisme tersebut dan informasiini tak perlu diperdebatkan mengapa sila Ketuhanan itu terlambat diinventariskankedalam ideologi Marhaenisme, mengapa tidak dari awalnya.

Kalau hal itu masih mau diperdebatkan juga maka sebelumnya perlu diingatkan disini bahwa tak pernah ada suatu ideologi, ideologimanapun,yang datang sekaligus lengkap. Semuanya berangsur-angsur ! Jangankan ideologi, ajaran agama saja pun diturunkan berangsur-angsur, tak ada yang sekaligus lengkap.

Apalagi yang namanya ideologihasil buah karya pikiran manusia, tentu saja pada awalnya tidaklah sempurna. Setelah diolah lagi oleh pikiran barulah disitu datang pemikiran baru guna melengkapi yang terdahulu.

Cuma disini yang dapat mengundang tanda tanya ialah mengapa dikatakan kedua ideologitersebut identiksementara, ideologiMarhaenisme itu hanya terdiri dari tiga silasaja dan ideologi Pancasila silanya ada lima. Tiga sila ideologi Marhaenisme itu ialah :

1) Socio Nasionalisme,

2) Socio Demokrasidan

3) Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mengupas masalah tersebut kita harus melihat kebelakang ke sejarah awal mulanya Pancasila itu (digagaskan) pada tanggal 1 Juni 1945. Bung Karnowaktu itu dalam pidatonya mengatakan ; "Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme -- kebangsaandan perikemanusiaan-- saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan sosio nasionalisme."

Dan selanjutnya dalam pidatonya Bung Karno mengatakan pula : "Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demokratie -- yaitu politieke demokratiedengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan-- saya peraskan pula menjadi satu : inilah yang dulu saya namakan Sosio Demokrasi.

Jadi, setelah Pancasila itu diperas dari lima menjadi tiga sila didapatlah rumusan yang sama antara Pancasila dengan Marhaenisme sehingga dikatakanlah kedua ideologiitu identik. Oleh karena Marhaenisme tersebut lebih dahulu lahir akhirnya dapatlah dikatakan "Akarnya Pancasila itu adalah Marhaenisme".

Namun, apakah persoalannya berhenti sampai disitu saja, tentu saja tidak. Biarlah Marhaenisme itu menjadi suatu keyakinan ideologisasalkan Pancasila menjadi suatu keyakinan konstitusional.Memang, kemudian Marhaenisme itu diadopsimenjadi ideologi partai oleh Partai Nasional Indonesia (PNI).

Apakah pembahasan kita akan parkirdi partai politik tersebut, tentu saja tidak sebab, PNIitu sendiri kini sudah tidak ada lagi, sudah dijebloskan kedalam PDIoleh Soehartodi tahun 1973. Oleh PDIsendiri Marhaenisme itu tidak diteruskan menjadi ideologinyasehingga Marhaenisme itu sekarang ini tinggal namanya saja lagi dan nyaris masuk dokumensejarah.

Walaupun begitu penganut-penganutnya yang selalu disebut kaum Marhaenis sampai sekarang ini masih banyak tetapi mereka nyaris tidak terpelihara lagi. Entah apa sebabnya kita sendiri tidak tahu. Mungkin mereka sudah kehilangan semangat.

Kalau begitu konduitenyaberarti kaum Marhaenisitu sudah melupakan apa yang pernah dikatakan Soekarno yaitu triple prinsipperjuangan : geest -- wil -- daad.  Kata-kata itu diambil dari bahasa Belanda yang artinya : semangat -- kemauan -- perbuatan.

Silahkan saja kaum Marhaenis untuk merenungkannya dan kalau menyadari akan kekeliruannya di dalam situasi sekarang ini maka tak ada alternatif lain bagi kaum Marhaenis selain menggalang dirinya dalam satu wadah yang kumulatif artinya, bukan sekedar satu wadah saja tetapi wadah itu juga merupakan satu kekuatan.

Menurut estimatekita pada saat ini kaum Marhaenis itu kurang olah diridan kurang olah ideologi, kurang self actualitydan kurang ideology actuality, sehingga wajarlah kalau kemudian kita tidak melihat kiprahnya lagi.

Self actualitymasih bisa digalang dan diperbaiki tetapi yang menyangkut ideology actuality itu sudah pasri saat ini sepi dari perhatian padahal, relevansinyaMarhaenisme itu pada situasi sekarang ini berada didalam skala yang tinggi tetapi tidak disadari.

Untuk menapak ideology actualityitu kita akan mulai melangkah kedalam korelasi ideologi interaktif antara Marhaenisme dan Pancasila. Berbicara korelasi ideologi interaktifbiarkanlah ideologi-ideologiitu mempertahankan jumlah sila-silanya sendiri. Pancasila tetap 5 sila dan Marhaenisme begitu pula, tetap 3 sila. Sebab, kalau sama jumlah silanya tak perlu lagi bicara soal korelasi ideologi.  

Maka dalam kedudukan seperti itu perlu digaris bawahi adanya perbedaan antara Socio nasionalisme dan Socio demokrasi ketika dua sila ideologitersebut akan dikorelasikandengan sila-silayang ada didalam Pancasila.

Socio nasionalisme itu adalah suatu sila ideologiyang dapat dianggap statis jika dibandingkan dengan sila ideologi Socio demokrasi tetapi, kedua sila ideologiitu tetap saja dinamis.

Setelah sila keduadan sila ketiga dari Pancasila diperas menjadi satu yang disebut Socio nasionalisme maka sila ideologi tersebut menjadi dinamis, segera bekerja. Begitu pula dengan sila keempatdan sila kelimadari Pancasila itu setelah diperas menjadi satu yang disebut Socio demokrasi maka sudah pasti sila ideologiini juga menjadi dinamis, segera bekerja.

Bedanya diantara kedua sila ideologiitu terletak pada aktualisasinya. Sila ideologi Socio nasionalisme itu mungkin lebih banyak pada sisi teoritisnyaketimbang aktualisasinya.Sementara pada sila ideologi Socio demokrasi tersebut akan banyak direpotkan oleh aktualisasinya daripada teoritisnya.

Dengan kata lain, Socio nasionalisme itu lebih difokuskan kepada pembangunan bangsa untuk membentuk sikap mental yang nasionalistis.  Kita menyadari bahwa belakangan ini bangsa kita sudah hampir kehilangan jati dirinya sebagai suatu ras yang berdaulat disebabkan adanya gapyang menganga lebar diantara kepercayaan dan peri kehidupan. Bangsa kita sedang mengalami krisis ideologi.

Untuk Socio demokrasi itu kita harus menangkap maksudnya bahwa disitu yang ditekankan bagaimana mengantarkan bangsa ini untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan oleh Proklamasi kita. Tetapi, disini sepertinya bangsa kita itu sendiri semakin jauh jaraknya dari cita-cita Proklamasi tersebut. Tentu saja disini terjadi apa yang dinamakan krisis kepercayaan yang membebani krisis ideologi tadi.

Maka untuk itu, baik Socio nasionalisme maupun Socio demokrasi, yang tadinya bersifat dinamisitu haruslah menjadi sila-sila ideologiyang sensisitifatas semua perkembangan yang ada dikalangan masyarakat bangsa. Cepat tanggap dan cepat jawab, begitulah seharusnya.

Meskipun Socio nasionalisme itu dikatakan statistetapi sila ideologiini haruslah cepat tanggap. Apa lagi dengan Socio demokrasiyang dikatakan dinamisitu haruslah lebih pekalagi atas semua perkembangan.

Mengapa bisa seperti itu ?  Tiada lain disebabkan, baik Socio nasionalisme mau-pun Socio demokrasi, kedua sila ideologiitu bersifat pedang bermata dua.Kalau pada Socio nasionalisme mata pedang yang satu sila kedua dan mata pedang yang satu lagi sila ketigadari Pancasila. Analogdengan itu terdapat juga pada Socio demokrasi. 

Pandangan lebih jauh tentang kedua sila ideologi tersebut rasanya tak mungkin bisa dilanjutkan lagi mengingat ruangannya terbatas. Jika Anda mengaku dirinya seorang Marhaenissilahkan saja menyibukkan diri mengolah selanjutnya. Pribadi saya, selaku penulis risalah ini, hanya bisa mengantarkan sampai disini saja.

Karena masih ada satu persoalan lagi yang belum tuntas maka perlulah ideologiMarhaenisme tersebut diklarifikasidengan adanya tuduhan yang mengatakan bahwa Marhaenisme itu adalah ideologi komunis.

Tentu saja tudingan itu beralasan, karena dahulu sewaktu Soekarno berkuasa sempat Marhaenisme tersebut dirumuskan dengan "Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi di Indonesia".

Lalu, oleh mereka yang menganut paham Marhaenisme pada waktu itu sempat mengatakan bahwa "Marxisme yang diterapkan"tersebut hanyalah sebagai "pisau analisa"saja untuk membedah situasidan kondisiuntuk mendapatkan fait accomplidari semua hal sehingga bisa dijadikan sebagai ukuran.

Sebelumnya, terlebih lagi sewaktu Marhaenisme itu dilahirkan, tak pernah kita mendengarkan adanya rumusan seperti itu. Rumusan itu baru datang belakangan sesudah Revolusi Soekarno mengalami eskalasi.

Timbul pertanyaan, kalaulah memang Marhaenisme itu adalah "Marxisme yang diterapkan", mengapa pada masa Orde Barudahulu tidak sampai dilarang oleh Soeharto dan PNItidak dibubarkan. Jangan mengatakan Soeharto masih punya belas kasihan, yang demikian itu bukanlah bicara politik.

Selama PNImasih hidup semasa Orde Baru dahulu rumusan tentang "Marxisme yang diterapkan"itu dihapus dari ajaran Marhaenisme. Kaum Marhaenissendiri tidak mempersoalkan karena situasinya berbeda. Bukan zamannya melakukan debat politikkarena Penguasa pada waktu itu otoriter.

Tetapi, dari segi teoritis, kita melihat "Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi di Indonesia"itu tidaklah secara total"Marxisme"tadi diterapkan. Sisi yang lain dari ajaran "Marxisme"tersebut tidak digunakan untuk melakukan analisismelainkan hanya sebatas "Historis Materialisme"saja.  

Kalau tidak secara total"Marxisme"tadi diterapkan, mengapa harus ribut. Tidak ada diadopsifaham "Materialisme"yang ada didalam ajaran "Marxisme"itu.Sebab, sudah jelas-jelas faham "Materialisme"itu antiagama. Sudah pasti tidak mungkin diakuisisikarena didalam Marhaenisme tersebut ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Walaupun begitu tanpa "Marxisme yang diterapkan"tadi Marhaenisme itu tetap saja validkarena dia saat ini sedang mencari bentuk baru, mencari rumusan baru, untuk mengembangkan Marhaenisme tersebut menjadi suatu ideologi alternatifjika Pancasila mendapat tantangan berat.

Kita yakin, masa depan Marhaenisme akan mendapat tempat lebih validlagi dari yang sekarang ini karena ideologiitu mewakili masa lalu, masa kini, masa depan, yang tidak diragukan lagi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun