Mohon tunggu...
Wahid kurniawan
Wahid kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Insya Alloh akan jadi seorang writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Serigala

13 Juli 2019   14:47 Diperbarui: 13 Juli 2019   15:01 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/

Mereka mengatakan, aku bukan anak manusia. Tapi anak setan, iblis, atau keturunan Genderuwo. Dan aku kira, itu cukup beralasan mengingat penampilanku sedikit berbeda ketimbang manusia pada umumnya. Sebab aku memiliki rambut halus yang lebih tebal ketimbang lelaki mana pun di dunia ini. Rambutku itu memenuhi sekujur pori-pori tangan, dada, dagu, sebagian wajah, dan di belakang leher. Warnanya hitam legam. Serupa rambut serigala.

Aku juga memiliki mata yang menyorot tajam seperti tatapan harimau yang menggetarkan. Di atas kedua mataku pun anggun bertengger alis yang cukup tebal. Dan itu jelas menambah kesan ngeri atas diriku. Lalu tak sampai di situ, sepasang gigi taringku tumbuh hingga mencuat dari mulut. Persis seperti vampir-vampir di mitologi Eropa. Aku juga tumbuh menjadi anak yang lebih menyukai gelap ketimbang ruang penuh cahaya. Kegelapan bagiku seperti pelukan Ibu yang selalu membuatku tenang dan enggan beranjak. Aku tidak suka sinar dan panas matahari. Aku hidup di malam hari, menyusuri malam-malam dengan sinar bulan dan keremangan lampu jalan.

Bahkan Ayah mengakui kalau aku anak setan, pernah juga memanggilku anak iblis, tapi belakangan lebih sering memanggilku dengan keturunan Genderuwo. Aku tak membenci Ayah hanya karena dia menganggapku bukan keturunannya. Sebab itulah yang selalu ditekan Ibu pada diriku. Ibu senantiasa mengingatkan, untuk jangan sampai membenci Ayah, betapapun pria itu memakiku puluhan kali dengan label seperti itu.

Dan aku menurut saja. Sebab bila diingat-ingat, Ayah tak terlalu terjun langsung dalam mengawasi pertumbuhanku. Sejak aku bisa mengingat sekujur ruangan rumah dan mengeja nama Ayah dan Ibu dengan benar,  aku amat jarang mendapati keterlibatan Ayah dalam keseharianku. Aku tumbuh menjadi anak yang seperti iya seperti tidak memiliki ayah. Sekali waktu, ia hanya memandangku sekalis, dengan mata yang enggan, sebelum berlalu pergi.

Ayah suka sekali pergi. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya itu. Ia bahkan sering meninggalkan kami di rumah selama berbulan-bulan lamanya. Namun Ibu tak pernah sekalipun memprotesnya. Ibu selalu terlihat baik-baik saja atas kebiasaan Ayah. Dan melihat laku Ibu demikian, aku pernah bertanya padanya suatu ketika, saat Ibu menemaniku tidur di kamar yang hanya bercahaya lilin:

"Ibu tidak kesepian?" tanyaku. Usiaku sepuluh tahun ketika itu.

"Hmm?"

 "Ibu tidak kesepian? Ayah kan jarang menemani Ibu. Ia pergi melulu."

Dan Ibu akan menjawabnya sambil mengelus rambutku dengan, "Kamu obat kesepian Ibu, Sayang."

Sejak itu aku tak pernah menanyakan lagi perihal hubungan mereka. Hingga aku tumbuh menjadi remaja yang kerap dirisak di sekolah, sampai aku jatuh cinta dengan seorang gadis untuk kali pertama di usiaku yang ke-empatbelas, Ayah tetap dengan laku sering perginya, dan Ibu juga masih berlaku dengan sikap segalanya baik-baik saja.

***

Aku tak ingin menjadi seperti Ayah.

Di usiaku yang kesembilan belas, aku mendapat satu cerita mengenai diriku dari Kakek ketika pada suatu kali aku mengunjunginya dan menceritakan laku Ayah yang tak kunjung berubah.

Begini ceritanya:

Kabar itu menjadi petir yang menyambar dada ayahmu. Malam itu, di usia pernikahan mereka yang baru menginjak setahun setengah, ia pulang sebagaimana sudah menjadi jadwal rutin kepulangannya selama enam bulan sekali. Ia pulang membawa wajah yang riang sebab tak lama lagi ia akan menanggalkan kerinduan yang ia tahan selama enam bulan lamanya. Ayahmu seorang supir truk, oleh karena itu ia sering bepergian lama dalam ekspedisi yang jauhnya sungguh tak kira-kira. Kau tahu, perjalanannya selalu menuntut umur bulan sebagai pengukurnya. Begitulah, waktu berbulan lamanya cukup membuat rindu menumpuk di dadanya. Ia merindukan ibumu lebih dari siapa pun.       

Namun, kabar itu datang dan kedatangannya sungguh merontokkkan wajah riangnya. Ia benar-benar berang tatkala mendengar penuturun ibumu bahwa perempuan itu hamil. Tiga bulan usia kandungannya. Dan tanpa perlu kutegaskan lagi, jelas hal itu mampu mendidihkan darah ayahmu sebab ia teramat tahu, selama enam bulan belakangan itu, ia sama sekali tak menyentuh ibumu.           

 "Kau selingkuh," ucap ayahmu dingin yang berdiri membelakangi ibumu yang separuh terisak di atas ranjang.

"Tidak. Ini bayimu," sahut ibumu, pelan.

"Kau selingkuh."

"Kau ayahnya. Dia bukan anak orang lain."

"Kau selingkuh," tandasnya, masih dingin, yang kemudian melangkah ke arah pintu.

"Bukankah selama ini, tiap sebulan sekali kau pulang? Dan kita tak pernah alpa bercinta?"

Ayahmu membalik tubuh. "Apa maksudmu?"

Ibumu disergap kebingungan yang sarat. Isak tangisnya meluruh seketika. Di kepalanya berputar malam-malam panas ia dengan ayahmu. Betapa lelaki itu lebih beringas dan kuat. Lebih liar dan tak sabaran. Dan ia benar-benar kelabakan menghadapinya. Sampai satu kesadaran mencuat dalam kepalanya, ia merasa, lelaki yang selama ini mengetuk pintu kamarnya itu, terasa asing baginya.

"A-aku, aku tak yakin, tapi ... kau sungguh pulang. Mengetuk pintu kamar itu. Dan kita bersenggama hebat. Dan ini, dia anakmu."

Ayahmu mendengus keras. Tak menggubris penjelasan ibumu. Ia justru balik badan dan hendak keluar kamar. Tetapi saat tiba di ambang pintu, tanpa menoleh ia berkata, "Ia bukan anakku, tapi anak setan, iblis, keturunan Genderuwo."

***

Semenjak itu aku sadar, barangkali benar aku bukan anak Ayah. Tetapi anak setan, anak iblis, keturunan Genderuwo. Lihat aku, kataku kepada refleksi diriku di cermin, kini anak setan ini sudah dewasa. Ingatkah kau, hari-hari di sekolah yang kau habiskan di lorong, gudang, dan selalu absen dari praktik di lapangan ketika jam olahraga. Hey, lelaki serigala, lihat dirimu, yang sehari-harinya mengenakan jaket di sekolah dan ke mana pun kau pergi, gadis itu, gadis itu sungguh mencintaimu.

 Aku mencintainya. Gadis itu. Yang bernama Jelita. Ia satu-satunya gadis yang dapat menerima keberadaanku. Satu-satunya yang mau mengobrol lama bersamaku. Yang menjadi alasan keduaku hidup di dunia ini selain Ibu.

Dan aku ingin menikahinya.

"Bila itu yang kau inginkan, lakukanlah. Jadikan ia wanita paling bahagia di dunia ini," pesan Ibu ketika aku mengutarakan niatku.

"Bocah sialan! Kau mau menikahi lonte, hah?! Sudah sinting kau!" rutuk Ayah meluap-luap.

***

Ia dapat kutemukan di tempat ini. Lihat, gadisku tengah menari-nari di atas panggung meliak-liukan tubuhnya yang berpegangan pada satu tiang besi. Aroma alkohol bercampur asap rokok menguar di ruangan penuh lampu saling beradu ini. Dentam musik cepat mengocok adrenalin. Para pria yang tertawa dan menganga. Dan gadis-gadis hilir mudik menggoda dengan suara manja.

Aku memandangnya agak jauh. Gadisku, kekasihku, ia menyambut mataku. Kami berpelukan dalam pandangan.

Sebentar lagi jam kerjanya usai, dan itu artinya sisa waktunya sampai pagi nanti dihabiskanya bersamaku. Tunggu sebentar, begitu kata matanya yang mengerling kepadaku. Ia masih melakukan pekerjaannya, menari dengan pakaian setengah telanjang. Masih berputar, melekukan tubuh, memainkan kaki, menggoda dengan lidahnya yang serupa jambu air itu. Kesemuanya ia lakukan mengikuti irama musik yang menenggelamkan siapa pun di ruangan ini dalam gerak kepala dan nikmat tiada tara.

Aku keluar, menunggunya di belakang bar. Di koridor tadi, beberapa orang memandangku kaget dan sedikit enggan. Mungkin mereka baru kali pertama bertemu denganku. Aku kira itu kali pertama bagi mereka mendapati pria serupa serigala berbulu hitam, bertaring vampir, dan bersorot mata tajam.

Malam membungkus tubuhku dengan selimut dingin yang menggigit kulit. Aku menggigil, merapatkan jaket. Mengedarkan pandangan. Belakang bar ini cukup sepi. Pun suara musik dari dalam hanya terdengar sayup. Sekonyong sejoli keluar tergesa-gesa, tanpa mengindahkan keberadaanku, keduanya segera melancarkan niat berahi mereka. Di pojokkan berciuman liar, saling memagut, kemudian menanggalkan kain satu per satu di tubuh masing-masing. Lain waktu seorang wanita keluar, dengan rambut acak-acakan, dari tubuhnya menguar aroma alkohol bercampur parfum yang sengak. Sama tergesa-gesanya, ia segera berjongkok di lain pojokkan, kemudian, hueek! Isi lambungnya berceceran di sana-sini.

Aku tak memalingkan muka seperti halnya tadi ketika mendapati sejoli muda dibalut birahi gila, pemandangan gadis itu menarik ingatan masa laluku. Aku memandanginya, mengabaikan udara tempatku berdiri yang kini direbaki aroma sengak dari muntahan di lantai dan aroma dari tubuh gadis itu.

Sekitarku terlihat mengabur, suara desahan sejoli keparat itu perlahan melesap, musik dari dalam bar sama sekali tak terdengar, pun 'hueek' dari mulut gadis itu hilang gemanya di peredaran udara. Sekitarku berubah, bukan lagi belakang bar penuh botol terserak dan putung rokok tersebar acak.

Aku melihat jembatan, jalanan yang lengang, dan lampu jalan yang muram. Telingaku dilewati desisan angin yang membawa dingin menusuk kulit. Di langit, bintang tersaput awan. Bulan separuh menggatung jemu.

Mengabur lagi. Aku mendapati diriku berdiri di pinggir jembatan. Memandang ke bawah, ke tempat permukaan air yang beriak tenang dalam gelap. Aku ingat malam itu. Apa yang kulakukan di sana, sampai alasan yang membuatku terdampar di jembatan itu.

Aku ingin mati. Secepatnya.

Huuueeeeek! Aku menoleh. Terkesiap oleh suara serak yang serta-merta ada. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi sama sekali tak mendapati sebentuk tubuh pemilik suara itu. Aku mulai berpikir, apa itu panggilang kematianku?

Huek! Aku menoleh ke belakang. Herggg! Aku menoleh ke kanan. Heeerrrg! Aku mulai berjalan ke arah kanan. HUUEEEKK! Kudapati tubuh wanita berjongkok di dekat tiang lampu pinggir jalan.

Aku teringat kopi botolan di tanganku, kemudian dengan sedikit ragu-ragu menyodorkan kepadanya sebelum lebih dulu menepuk bahu kirinya.

Ia hanya menoleh sekilas, lalu sigap menyambar kopi botol pemberianku. Memutar tutupnya cepat, dan menenggaknya lekas-lekas. Alih-alih menjadi lebih baik, ia justru muntah kembali. Kali ini lebih deras. Suaranya menggergaji udara malam.

"Anjing!" makinya keras.

Menyadari kebodohanku, aku bingung sendiri. Pikiran bunuh diri di kepalaku lenyap direnggut kelapak kelelawar yang melintas.

"Air, air putih!" pintanya dengan suara masih serak.

"Ha? Tunggu sebentar, aku .... "

"Susu, susu saja!" rentetnya cepat.

"Sebentar, akan kucarikan." Aku balik badan, hendak memenuhi permintaannya.

"Bego! Kembali kau!"

Aku mendatanginya lagi.

"Bantu aku berdiri."

Kupapah tubuhnya, membantunya berjalan ke sisi lain jembatan dan mendudukkannya.

Disinari remang lampu jalan yang menanti ajal, tubuhnya tampak amat kacau. Rambutnya acak tak keruan. Baju minimnya yang berbelahan rendah agak melorot, dan sialnya aku dibuat beberapa kali mesti memalingkan wajah dari pemandangan kurang ajar itu.

Ia agak menggigil, kakinya yang hanya terbalut rok mini merapat. Napasnya terdengar memburu. Ia terlihat tengah berusaha keras mengatur tenggorokannya yang masih dikuasai gejolak dari lambungnya.

"Nama?" tanyanya, serak, dingin.

"Hmm?"

"Siapa namamu?"

"AJAK."

"Ha?"

"A-J-A-K."

"Anjing?"

Aku mengangguk.

Tawanya seketika pecah. Keras. Serak. Kemudian berganti batuk-batuk hebat. Keras. Serak.

"Nama yang konyol. Sesuai penampilan, hmm."

Aku terdiam.

"Ah, maaf. Bukan maksudku menyinggung." Ia mengulurkan tangan. "Jelita. J-E-L-I-T-A. Sesuai penampilan, hmm."

***

"Hey!"

Aku menoleh. Ia datang. Memeluk. Mengecup sekilas bibirku.

"Whoa, sialan!" decaknya ketika pandangannya mengarah ke pojokkan, ke tempat sejoli muda keparat itu masih melenguh dan bermandikan keringat.

 "Pantas kau betah di sini."

Aku menggeleng. "Tidak, aku hanya menunggumu."

Ia meninju pelan bahu kananku. "Ayo, pulang, Ajakku Sayang." Ia melingkarkan tangannya ke lenganku, menarikku keluar.

Kota seperti kuburan sepi. Jalanan memanjang yang baru diempas gerimis mengilat diterpa cahaya lampu di pinggirannya. Satu-dua kendaraan melintas jarang-jarang. Kota serasa milik kami berdua. Sebab orang-orang yang keluar dini hari di jalan yang kami lalui kelewat sedikit jumlahnya.

Sepanjang jalan di trotoar, ia merapatkan tubuhnya padaku. Angin malam terlampau kejam. Mengiringi perjalanan kami. Sengaja aku tak mengajaknya langsung pulang ke kontrakan yang kusewa. Ini malam yang spesial. Aku butuh tempat yang lumayan berarti selain kontrakan sempit dan pengap itu. Jembatan kota, aku kira itu tempat yang cukup berarti bagi kami. Mengingat kami kali pertama dipertemukan di sana.

"Kita mau ke mana? Kontrakanmu kan ke sana arahnya."

"Kita ke jembatan sebentar. Ada yang ingin kubicarakan."

"Itu bukan tempat yang tepat untuk bercinta."

"Ada yang lebih penting dari bercinta."

"Apa?"

"Ikut saja."

Kami berjalan lagi. Menembus udara malam yang menggigit. Menjejak jalan semen yang di beberapa tempat berlubang di sana-sini.

***

"Pergi!" gertakku kepada anak-anak yang berkumpul di pinggir jembatan itu. Aku menggeram. Mataku nyalang menyorot sempurna. Kutampilkan sepasang taring yang benar-benar terlihat seperti taring serigala ini.

Melihat itu, Jelita tertawa menyaksikan gerombolan remaja yang terbirit-birit pergi tanpa perlawanan itu. Kini kota benar-benar milik kami. Jembatan ini sepenuhnya kami kuasai.

Kami duduk di alas kardus yang anak-anak tadi tinggalkan. Dini hari makin turun. Udara malam kian menusuk. Melihatnya tampak menggigil, kututup punggungnya yang separuh terbuka itu dengan jaketku. Ia tersenyum. Terlihat merasa lebih baik.

Saat-saat seperti inilah, aku merasa kami dua orang manusia yang baik-baik saja. Tanpa embel-embel tersisihkan oleh sebagian masyarakat. Gadisku tersenyum manis. Jelita-ku berpipi ranum. Kekasihku berwajah menawan. Aku seolah lupa bahwa kami adalah sepasang manusia yang tak baik-baik saja. Tubuhku dicap seram dan berbeda. Sedang ia perempuan yang telanjur berjibaku di gemerlapnya dunia malam. Kami sama-sama manusia yang hanya memiliki malam sebagai dunia kami. Laiknya serigala yang hanya memiliki waktu malam untuk mengaum, kami pun demikian.

Siang hari adalah waktu yang mengharuskan kami pulang, melesak, ke ruang yang hanya dihuni kami sendiri. Ruang yang sama-sama dipertautkan oleh kesepian. Mungkin, seperti itulah tangan takdir bergerak mempertemukan kami. Ketika selepas malam kudapati dirinya di jembatan ini, kami di bertemu kembali. Dengan 'pakaian' malam melekat di tubuh masing-masing.

"Eh, Ajak, kan?"

Sekonyong ia sudah berdiri di hadapanku. Seorang lelaki merangkul bahunya. Wajah si lelaki sempoyongan. Keduanya baru saja keluar dari ruang pesta yang ingar-bingar.

"Siapa dia, Sayang?" racau lelaki itu. Matanya mengerjap beberapa kali, tubuhnya berdiri tak seimbang.

"Hanya kenalan."

"Oh, ayo pergi. Aku ngantuk sekali." Lelaki itu segera menariknya berjalan. Akan tetapi, sebelum benar-benar meninggalkanku, ia melempar selembar kartu ke arahku. Sebelum pada akhirnya berlalu setelah mengerling dan memberi kode dengan jarinya yang berkata, "Telepon aku."

***

"Aku selalu bertanya-tanya, dari mana asal keberbedaan pada tubuhmu ini." Ia menggeliat bangkit. Duduk di atas ranjang, memasang kembali beha-nya.

"Hmm?" Aku tak berselera membahas itu. Aku pura-pura memejamkan mata, berharap dengan begitu ia tak melanjutkan pertanyaan yang bagiku, sungguh tidak tepat dibahas di atas ranjang. Mengingat rumah adalah jarum yang menyerang isi dada. Dan aku tak ingin merasakan sakit itu. Tidakkah kau tahu, Jelitaku, bahwa bersamamu adalah waktu yang sejenak membuatku lupa kalau selama ini aku tersisihkan, tak dianggap, tak diingin kehadirannya kecuali oleh Ibu dan kakekku?

"Umurku sepuluh tahun ketika aku diperkosa pamanku sendiri," ucapnya, pelan.

"Aku terlalu ketakutan untuk bilang ke orang lain, bahkan mengadukannya pada Ayah atau Ibu." Ia bangkit dari ranjang, berjalan menuju muka jendela kamar yang kami pesan ini. Setelah menyibak tirainya, ia berdiri memandang ke luar. Ke arah kota yang menjelma kotak-kotak persegi dengan bintik-bintik cahaya di permukaannya.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengancam akan membunuhku bila aku berani mengadukan kelakuan bejatnya itu. Kau tahu, berapa lama aku memendamnya?" Ia membalik tubuhnya, memandangku sarat.

Aku sudah membuka mata sejak tadi, sejak kata pertama yang ia ucapkan. Tapi aku tak kuasa menanggapi, aku bergeming.

"Bertahun-tahun. Bertahun-tahun itu pula aku harus menahan tangis tiap sebulan sekali ketika ia datang ke rumah dan mengajakku pergi. Hingga satu benih hidup dalam rahimku di usiaku yang ke-empat belas, hidupku serasa runtuh. Kelakuannya ketahuan. Tapi bayiku tak terselamatkan.

"Semenjak itu, perhatian Ayah dan Ibu seperti ditarik dari kehidupanku. Ia membiarkanku terperosok jatuh, tapi tak juga berusaha menarikku keluar. Sampai aku tiba di titik paling dalam, mereka tak juga hadir."

"Sudah, aku paham." Aku mendekatinya. "Jangan diteruskan. Aku di sini bersamamu." Kurengkuh ia dari belakang. Daguku bertopang di bahunya yang langsat.

Ia menggeliat. "Geli, ah."

"Biarkan saja."

"Jadi, apa jawaban atas pertanyaanku tadi?"

"Aku bukan anak manusia. Aku setengah setan."

***

"Bajingan! Apa aku bilang, untuk apa kau membesarkannya? Dia itu anak setan! Tak pantas hidup! Tahu begini kubunuh saja ia malam itu." Ayah menendang sofa di ruang tamu. Wajahnya memerah. Amarah menguasai dirinya.

Ibu memelukku. Aku meringkuk di pelukannya yang hangat. Ia menangis. Aku berurai air mata, tapi bukan menangis. Aku marah. Marah pada Ayah. Marah pada diriku. Marah pada dunia.

"Untung anak itu tidak mati, hah! Dasar bajingan cilik, kemari kau!" Ayah menarik tanganku keras. Pelukan Ibu terlepas. Ibu menjerit memelas. Tubuhnya melorot di lantai, tangannya menggapaiku. Tapi Ayah lebih gesit membawaku ke arah gudang. Aku meronta. Menggeram. Tapi Ayah lebih seperti monster ketimbang diriku. Tenaganya juga kuat. Aku kalah tenaga. Aku terseret hingga masuk ke dalam gudang. Gelap menyambut kami.

Ayah mengambil tali. Aku didudukkan di atas kursi. Ayah mengikatku. Aku menggeram. Berusaha menjerit, tapi lakban hitam lebih dulu menutup mulutku.

Hingga tengah malam, Ayah menyambitku dengan rotan penggebuk kasur. Sepanjang malam, tangisan Ibu terdengar lebih kesakitan dibanding blaret merah dan biru di kulitku.

***

"Aku butuh uang."

"Untuk apa?"

"Untuk menikah."

 Lelaki itu tergelak keras. "Ada yang mau menikah denganmu, hah?"

"Aku butuh uang."

"Baiklah. Aku ada banyak proyek pesta untukmu."

"Aku butuh uang, sekarang!"

"Dibayar di muka, maksudmu? Bajingan! Untung reputasi dan tampilanmu bagus. Aku ingat, cerita awalmu dulu ketika kali pertama datang padaku, apa? Oh, kau hampir membunuh seorang anak dengan taringmu itu di usia empat belas, kan? Cuma gara-gara cemburu karena gadis yang kausukai malah jalan bersamanya, kan? Sialan! Untuk apa aku mengingatnya?"

"Sekarang atau kuputus urat lehermu itu, Bangsat?!" Aku menggeram.

"Baik, baik. Tenangkan dirimu. Joy, ambilkan uang untuk Tuan Serigala ini."

***

"Aku tak keberatan jika kau ingin bernostalgia," katanya sambil menarik lututnya, memecah lamunanku.

"Aku ingin kita selalu bersama."

Ia tertawa kecil. "Bukankah kita sekarang sedang menjalaninya?"

"Tidak seutuhnya. Aku, aku selalu takut tiap kali kau pergi ke tempat itu."

"Maksudmu, kau tidak percaya kepadaku?"

"Bukan, bukan. Aku selalu percaya. Hanya saja .... "

"Hmm?"

" ... hanya saja, aku khawatir bila kita tak segera mengikatnya."

"Kau bicara apa, sih?"

"Menikahlah denganku, J-E-L-I-T-A."

Ia terdiam lama. Menarik lututnya hingga benar-benar merapat ke tubuh.

Aku menunggu tanggapannya.

"Kau tahu?" Ia membuka suara.        

"Ya?"

"Kau satu-satunya lelaki di dalam hidupku yang menghargaiku seutuhnya. Bukan saja soal tubuhku ini. Lebih dari itu, kau menghargai hatiku."

  Setelah mengatakan itu, kami menjadi sepasang serigala yang saling mengaum dan melenguh di bawah atap langit yang menatap iba atas nasib kami.

***

"Kontrak ini berlaku selama empat bulan. Tapi kau ingin pulang sekarang? Sialan, kau sungguh serigala cengeng, Jak!"

"Aku rindu rumah."

"Kau baru dua bulan kerja."

"Aku rindu rumah."

"Bajingan! Baik, baik. Demi melihat taring keparatmu itu, kuizinkan kau pulang. Tapi kau mesti segera kembali setelah masalah rindu-rinduanmu usai."       

Aku akan menjadi seorang ayah. Ayah yang baik. Ayah yang penuh kasih sayang. Kukatakan padanya di hari pernikahan kami, aku tak akan mengulangi kesalahan ayahku. Aku tak ingin menjadi ayah yang teramat kurang memberi perhatian untuk anaknya. Sebab itu, aku akan lebih sering pulang awal dari kota tempatku bekerja. Aku tak ingin meninggalkannya lama-lama.

Bis ini berjalan seperti setahun saja lamanya. Padahal aku tahu hanya butuh sehari hari semalam bagiku terperangkap tanpa bisa ke mana-mana di kotak persegi panjang yang muatannya terlampau penuh ini. Barangkali kerinduan membuatku menghitung waktu perlahan demi perlahan. Menenggelamkanku dalam kemelut gelisah tak terperi sepanjang perjalanan ini. Membuatku senantiasa menanyakan 'ini sudah di mana dan butuh berapa lama lagi untuk sampai di tempat tujuan' kepada sang sopir atau keneknya.

"Sabar. Setengah hari lagi," jawab si kenek suatu kali, wajahnya ogah-ogahan, setelah sejenak meneliti penampilanku yang aku kira dinilainya menyeramkan ini.

Aku bersabar. Bersabar. Bersabar lagi. Lagi. Dan lagi.

 Hingga bis ini berhenti di tempat pemberhentiannya di kotaku, aku segera meninggalkan terminal dengan terburu-buru. Sebab kontrakanku letaknya tak jauh dari terminal, aku tak perlu repot mencari tumpangan lain untuk bisa sampai di sana. Jalan kaki sebentar, masuk di beberapa gang, kemudian aku sampai.   

Selepas azan Isya' aku tiba di halaman kontrakan. Selangkah lagi rindu yang dua bulan lamanya tertanggungkan ini akan luruh di ambang pintu. Jelitaku menungguku di sana. Perempuanku menanti di dalam sana. Kekasihku menunggu untuk kupeluk penuh kasih sayang.

Kudapatkan lampu di halaman belum menyala. Keremangan mengikat udara di halaman sampai ke beranda. Hanya pijar jarang-jarang yang keluar dari celah jendela menjadi peneranganku. Tiba di muka pintu, kuketuk daun pintu itu. Sekali, dua kali, sampai ketiga kali, dan itu tak beroleh jawaban sama sekali. Pintu di hadapanku bergeming. Lamat-lamat, kudengar lenguhannya dari dalam.

Bangsat! Kutendang pintu itu hingga hancur. Aku masuk selangkah. Dan sejenak tak menyangka mendapatinya tengah ditindih seseorang di atas sofa. Menyadari kedatangan seseorang, Jelita menoleh dan menampilkan wajah banjir peluh yang kebingungan.

Keparat itu akhirnya menghentikan tindakan bajingannnya, tanpa beranjak dari posisi di atas istriku, ia menoleh dan tersenyum.

Darahku yang sedari tadi tersirap naik amblas seketika. Aku mengenalinya. Keparat ini. Dia, dia tampak seperti diriku sendiri. Sungguh serupa. Berambut hitam lebat di tangan, dagu, dada, sebagian wajah, dan tengkuknya. Matanya pun nyalang menyorot tajam. Dengan sepasang  gigi taring mencuat dan sejenak berkilau ketika lampu dari luar serta-merta masuk menerpanya.

"Ah, kau pulang lebih awal, Anakku. Maaf, aku lebih dulu mendatangi menantuku."

Jelita memekik keras. Mendorong keparat itu dengan keras hingga terlonjak ke belakang. Namun keparat itu justru tertawa. Keras. Membahana. Menggema di sekujur ruangan.

Aku menggeram. Darahku terpompa lagi ke ubun-ubun. Aku menggeram. Kurasakan gejolak hebat mengalir di seluruh aliran darahku. Aku menggeram. Dorongan untuk membunuh kian mengencang. Aku menggeram. Kakiku sigap menolak di lantai, tubuhku loncat, dan aku menerkamnya.

Sayup-sayup kudengar Jelita merintih kesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun